Bab 4

32.2K 2.3K 38
                                    

Repost

Cerita lengkap sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa

Akun Karyakarsa: carmenlabohemian

Akun Karyakarsa: carmenlabohemian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luv,

Carmen

_______________________________________________________________________________

Sekarang ia tahu kenapa ayahnya ingin menikah.

Ketika Amara duduk di depan pasangan menjijikkan itu - yah, termasuk ayahnya - dalam acara makan malam yang sama sekali tidak ingin dihadirinya, ia akhirnya mengetahui alasan ayahnya ingin menikah lagi. Dan alasan itu menjadi salah satu pendorong besar bagi Amara untuk lebih cepat mendapatkan pasangan. Because she needed to save her old guy. Seriously? Apa ayahnya buta? Wanita yang duduk di sebelah pria itu jelas-jelas wanita mata duitan. Hanya sekali lirik, Amara sudah mengetahui tipe seperti apa Paris LeBlanc.

Cantik? Oh ya cantik sekali. Wanita itu bak model, langsing yang mendekati kurus, tinggi dengan kedua kaki jenjang yang anehnya mengingatkan Amara akan jerapah. Kulitnya bersih seperti porselen pucat, cocok dengan helaian panjang rambut pirangnya yang bahkan lebih pucat. Mata wanita itu tajam, bola matanya juga berwarna biru pucat seperti langit di hari yang paling panas. Pucat, pucat dan pucat... terlalu banyak pucat menurut Amara. Ia tidak tahu kalau selera ayahnya seburuk ini. Tapi, Amara tidak mempersoalkan hal tersebut. Amara mungkin akan belajar untuk setidaknya berbahagia karena bagaimanapun ia tidak akan menentang pernikahan ini jika ayahnya benar-benar menginginkannya - asalkan WintersCorp menjadi milik Amara, tentu saja - tapi Paris LeBlanc hanya lebih tua beberapa tahun darinya. Lima tahun... yah selamat, ia akan memiliki ibu tiri yang hanya lebih tua lima tahun darinya.

Amara nyaris mencibir ketika melihat kelakukan mereka berdua. Wanita itu terkikik geli ketika ayahnya membisikkan sesuatu dan Amara berharap seandainya ia bisa menenggelamkan dirinya di kursi yang kini tengah didudukinya. Ia tidak seharusnya datang. Amara tidak ingin melihat ini. Oh Tuhan... such a nightmare. Ia meraih gelas anggurnya dan menyesapi minuman itu, berusaha keras untuk mengalihkan perhatian dari pasangan berbeda generasi tersebut.

"Kami tidak bisa menunggu lagi, sayang."

Amara tersedak - ia benar-benar tersedak ketika mendengar kalimat itu tiba-tiba keluar dari mulut ayahnya. Air mata Amara nyaris menyembur ketika ia berusaha keras menahan sedakannya agar tidak membuat suara berisik yang menarik perhatian sementara Paris buru-buru mengulurkan serbet makannya.

"Are you okay, dear?"

"Kau tidak apa-apa, Amara?"

Amara masih terbatuk ke dalam serbet ketika ia mengangkat telapaknya untuk meminta mereka berdua duduk kembali di tempatnya. Setelah beberapa detik, setelah Amara yakin ia berhasil mengendalikan tubuhnya dan kembali bernapas normal, ia menurunkan serbet sialan itu dan melotot pada mereka berdua.

"Kau tidak apa-apa, sayang?"

"Ya," Amara nyaris membentak.

"Well..." ia melihat ayahnya mengangkat bahu dan Amara nyaris melengos keras.

"Apa? Apa yang tidak bisa kalian tunggu, Dad?" Amara bertanya kasar, tidak yakin ia ingin mendengar jawabannya. Ini benar-benar menjijikkan. Ia bahkan tidak bisa membayangkan wanita itu dengan ayahnya... Good God, a little help, please?

"Kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi." Ayahnya tersenyum tolol, lengannya merengkuh bahu kurus wanita itu dan menariknya agar merapat. Mereka berdua menatap Amara dengan ekspresi bahagia yang berlebihan sementara Amara tegang menunggu di tempat. "Kami akan segera mengumumkan pertunangan kami, sayang."

Really? Apakah ayahnya benar-benar sudah gila? Tetapi, Amara mendapati dirinya tidak bisa berkata-kata.

"And we can't wait to give you a little brother."

Rasa ngeri itu perlahan menyelinap kembali, menelusup di sepanjang tulang punggung Amara dan mengendap di sana. Adik lelaki kecil? Belum-belum wanita tamak ini sudah mulai mengklaim posisinya. Amara sekarang yakin kalau semua ide pernikahan dan bahkan ide untuk memiliki seorang anak lain - semua itu pasti datang dari wanita mengerikan yang kini tengah tersenyum padanya.

"Selamat mencoba, kalau begitu." Amara memaksa dirinya beraksi datar dan bahkan menampilkan senyum dingin pada wanita itu.

"Oh, we will," jawab wanita itu yakin.

Amara sama sekali tidak melirik ayahnya sampai panggilan pria itu mengalihkan perhatiannya.

"Dan bagaimana denganmu?"

"About what?"

Alis cokelat ayahnya terangkat tinggi. "Kau bilang kau juga akan menikah. Well, kau sudah mendapatkan calon suami?"

"Oh, kau juga akan menikah, dear?" Amara berani bersumpah kalau ia menangkap nada mengejek dalam suara lembut Paris yang mendayu-dayu itu.

She hated this woman. But she hated her father more. Teganya!

"Ya, aku sudah mendapatkannya," sembur Amara.

Ayahnya kembali tertawa seolah Amara baru saja mengatakan hal yang paling lucu di dunia. Mata cokelat tua itu berbinar geli ketika dia menatap Amara kembali. "Well, introduce us, Amara. Dad tidak sabar lagi."

Amara menggeretakkan giginya ketika ia berusaha menjawab tantangan tersebut. Jadi, ayahnya pikir ini persaingan? Ayahnya pikir Amara tidak sanggup mendapatkan seorang pria yang bersedia menjadi suaminya? Well, Amara akan membuktikan pada ayahnya bahwa dia salah.

"Of course, I will. I even plan to do it soon."

Hah, ia akan membawa kejutan tersebut ke hadapan ayahnya.

Sial!

Their Marriage Agreement (The Wedlock Series #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang