Ketika Amara keluar dari kamar, ia mendapati pria itu sudah menyiapkan sarapan. Ia sungguh berharap Liam akan kelihatan konyol dalam balutan celemek dan bukannya seperti koki seksi.Seksi? Yang benar saja, Amara. Apa kau sudah kehilangan otakmu?
"Apa yang kau lakukan?" Amara mengerutkan kening dan bersandar di ambang dapur sambil melemparkan tatapannya pada piring-piring yang dibawa Liam ke atas meja.
"Ah, Amara..." Liam menyapanya sambil melepaskan celemek yang dikenakannya, membiarkan tatapan Amara jatuh pada dada bidang Liam yang hanya terbalut kemeja - dada yang digilai-gilai para karyawan wanitanya, dada yang sudah menghabiskan banyak waktu dan uang Liam di tempat gym. Amara mencibir pelan apalagi ketika ia mendengar ucapak setengah hati Liam ketika mengomentari penampilan Amara. "Kau tampak... cantik."
"Tidak usah berbasa-basi," potong Amara. Ia berjalan masuk pelan dan berhenti di samping meja sementara Liam menarik kursi di dekatnya lalu mengisyaratkan Amara untuk duduk.
Amara sengaja melemparkan tatapan bertanya pada pria itu.
"Kita akan sarapan, Amara. Aku harap ini sesuai dengan seleramu."
Amara mengalihkan perhatiannya kembali ke isi piring, dengan sengaja mengerutkan hidung ketika menatap sosis dan telur goreng buatan Liam. Ia mengangkat bahu dan beranjak mundur. "Aku tidak ingin sarapan. Menumu bukan seleraku."
Itu bohong. Tapi, Amara sengaja melakukannya. Ia mengangkat wajah dan menaikkan alis untuk menatap Liam - ekspresi wajah pria itu tidak tertebak, senyum kecilnya masih terpasang di wajah walau senyum itu tak pernah sampai di mata biru Liam yang dalam.
"Cobalah dulu," Liam menarik punggung kursi lebih jauh. "Aku akan membuat menu sarapan kesukaanmu besok. Sarapan itu penting. Lagipula, kau harus menjaga kesehatan tubuhmu supaya kau subur."
Oh, sialan. Tidak itu lagi. Amara ingin muntah mendengar pernyataan tersebut. Liam selalu saja menggunakan alasan itu sehingga Amara merasa muak.
"Ayolah, rasanya tidak seburuk itu," bujuk Liam. Nada suaranya, senyum pria itu, sopan santun palsu yang ditunjukkannya - Amara tidak akan bisa ditipu. Namun, ia juga malas berdebat dengan pria itu mengenai hal remeh seperti sarapan.
Jadi, ia bergerak maju dan memutari meja untuk meraih kursi. Liam tidak berkomentar apa-apa ketika Amara memilih untuk duduk di kursi lain.
"Setelah sarapan, kita akan berangkat bersama."
Amara baru saja akan meraih garpu dan pisau ketika ucapan Liam menghentikannya. Sebagai gantinya, Amara menolah pada Liam.
"Kenapa harus?" tanyanya.
"Karena kita suami-istri, Amara," Liam menjelaskan dengan sabar seolah-olah pernyataan itu menegaskan semua hal yang dilakukan Liam.
Amara memutar bola matanya pelan sembari menatap Liam muak. "Berikan alasan yang lain, Liam. Kau semakin tidal kreatif."
"Aku mengatakan yang sebenarnya," ujar Liam tenang. "Amara, coba kau pikirkan. Kita tidak ingin orang-orang curiga bahwa hubungan kita sudah buruk sejak awal dimulai. Dengan begitu, saat kita bercerai, kita tidak akan menciptakan banyak spekulasi."
Amara tidak suka bila harus mengakui bahwa Liam cukup beralasan. "Kau selalu saja menggunakan pernikahan kita sebagai alasan, lama-lama hal itu menjadi lelucon," tandas Amara.
"But, i got a point, right?"
Kalaupun iya, apakah Liam benar-benar berharap Amara akan mengakuinya? Namun, pada akhirnya ia tetap membiarkan pria itu mengantarnya ke kantor. Amara berkata pada Liam bahwa waktunya terlalu berharga untuk dihabiskan dengan mendebat pria itu. So, yeah... he can do whatever he wants. Bahkan, Amara membiarkan pria itu membuntutinya hingga ke kantor, menciptakan sandiwara berlebih dengan memberikan pelukan singkat dan janji makan siang romantis sebelum berderap pergi menuju kantornya sendiri.
Well done, Liam. What a great actor.
Ketika Amara berbalik dan melihat sekretarisnya menatap balik dengan ekspresi iri yang tidak repot-repot dia sembunyikan, Amara membentak pelan agar wanita muda itu agar kembali fokus pada pekerjaannya.
"Kembali ke layar komputermu, Becca."
Wanita muda itu mendesah pelan dan bahkan mengabaikan perintah Amara. "Selamat, Ms. Winters untuk pernikahanmu - aku kaget semua terjadi begitu mendadak. Aku bahkan tidak tahu kalian berkencan. You are such a lucky woman. Mr. Blackburn benar-benar pria idaman semua wanita."
Salah! Liam-lah yang beruntung.
Dan Amara harus menghentikan sekretarisnya sebelum pujian wanita itu semakin berlarut-larut dan hanya akan membuat Amara semakin kesal pada Liam. Ia melirik tajam pada wanita itu. "Just mind your own work." Lalu, seakan merasa perlu, Amara kembali menambahkan," Don't lay eye on him, he's taken."
Oh Tuhan, Amara! Kau memang tolol!
Kenapa ia harus berkata seperti itu?
___________________________________________
Cerita lengkap sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa. Ada paketnya juga, cari saja di bagian paket.
Buka via website ya untuk pembelian seperti biasa: www.karyakarsa.com
Top up via website lebih murah.
Luv,
Carmen
KAMU SEDANG MEMBACA
Their Marriage Agreement (The Wedlock Series #3)
RomanceSudah tamat dan sudah diterbitkan! Tersedia dalam Google Play : https://play.google.com/store/books/details?id=ppFRDwAAQBAJ Bagi Amara, Liam itu player berengsek yang harus dijauhi Tetapi ironisnya, ketika ayahnya memberi ultimatum pada Amara, ia m...