Bab 11

28.7K 2.4K 110
                                    

"Maaf?"

Amara sudah tahu kalau respon Liam akan seperti itu, jadi ia dengan senang hati mengulanginya hanya untuk sekedar menikmati ekspresi pria itu.

"Inseminasi buatan," ujarnya pelan-pelan.

"No way!" Liam berdiri cepat dengan kedua tangan menekan meja dan menunduk untuk menatap Amara seolah ia sudah gila. "Kalau itu solusimu, kau benar-benar bersikap tidak masuk akal, Amara."

"I said no sex," Amara merasa harus mengingatkan pria itu.

"Situasi sudah berubah."

"But not my term."

"Aku juga tidak menyukainya, Amara. Jadi, jangan salah paham. Tapi, apakah kau pernah berpikir bahwa di menit kita memasuki klinik sialan itu, words will spread."

Amara mengangkat kedua bahunya dan mendongak untuk menatap mata hitam Liam. "Kalau itu sampai terjadi, kita akan mencari alasan yang bagus."

"Sialan, Amara." Liam mengetuk meja dengan buku-buku jarinya yang dikepalkan lalu pria itu menegakkan tubuh sambil berkacak pinggang, matanya melekat pada Amara yang masih bersandar di punggung kursi, bergeming membalas tatapan Liam. "Kau tahu, bagian inilah yang paling kubenci. Aku sudah pasti tidak akan membiarkan orang-orang berpikir kalau aku tidak mampu memberimu seorang anak. Aku tidak akan mengizinkanmu mencoreng reputasiku, Amara."

"Jadi, hanya itu yang kaupikirkan?" Amara bertanya ketus. "Kau dan reputasimu yang menjijikkan itu."

"Dan Amara, apa yang membuatmu berpikir kalau aku bersedia melakukannya? Aku tidak akan membiarkan bayiku tercipta dengan cara seperti itu. I prefer the natural way. And it's my only term."

Amara bereaksi cepat. Mungkin pemikiran tentang keharusannya untuk tidur dengan Liam demi memenuhi permintaan tolol ayahnya telah membuat Amara panik. Ia mendorong kursi yang didudukinya dan berdiri tegak dalam hitungan detik. Giliran tangan Amara yang menumpu tubuhnya ketika ia mencondongkan badan agar bisa menatap Liam lebih lekat. Ia tidak akan membiarkan pria itu untuk sekedar memikirkan kemungkinan tersebut. "Don't forget, Liam. You don't get a choose in this."

Ia terkesiap ketika tiba-tiba tangan pria itu berlabuh di dagunya dan mengangkatnya pelan sehingga Liam bisa memandang Amara dalam-dalam. "Kau salah. This time, you have to play by my rule. Atau silakan mencari pria lain. Apapun itu, bagiku tidak masalah, Amara."

Amara menepis tangan Liam kasar dan ia menarik tubuhnya menjauh. Kedua lengannya terkepal di sisi tubuh ketika ia menjawab tantangan pria itu. "Kau pikir aku tidak berani membatalkan perjanjian kita?"

Liam menatapnya dengan kilat humor di kedua mata. Pria itu mengangkat bahu dan kedua tangannya mengisyaratkan bahwa Amara bebas melakukan apa saja. "Tentu saja kau berani, kau Amara Winters. Tapi biar kuingatkan padamu, kau harus memberi penjelasan yang panjang kepada Daddy dan mungkin lain kali dia tidak akan percaya bila kau datang ke hadapannya dengan calon suami yang lain. Tapi pantas dicoba kalau kau tidak menyetujui syaratku."

"Jangan lupa, kau juga ikut ambil bagian dalam menipunya," Amara memperingatkan pria itu dan ia benci karena suaranya ikut bergetar sementara Liam tetap bergeming, tak tersentuh, tampak setenang setan jahat.

"Ya, itu benar," Liam mengakui dengan ringan. "Tapi, untuk saat ini, Daddy tidak akan mendepakku keluar."

"Kau memang menginginkan ini, ya kan? Kau menikmatinya," tuduh Amara.

"Apa?"

"Mempermalukanku!" sembur Amara. Tapi, ia terlalu marah untuk bisa menilai kata-katanya sendiri. Persetan, silakan saja pria itu menerjemahkannya sesuka hati. "Oke, aku akan menerima syaratmu. Tapi, begitu aku hamil - you are out. Kita akan bercerai."

Their Marriage Agreement (The Wedlock Series #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang