Tatapan matamu mengalihkan duniaku, awal pertemuan kita adalah Tuhan yang merencanakan karena aku yakin tidak ada kejadian yang kebetulan, semua telah terencana. Aku ibarat sebuah boneka salju yang perlahan-lahan mencair terkena paparan kharismamu. Aku, hanya pengagum yang tak berani sekalipun bertegur sapa denganmu, apalagi untuk saling melempar canda. Malu, adalah jurang pemisah antara rasa yang bersemayam dihatiku dengan dirimu. Bibirku kelu jika harus disandingkan untuk saling bertukar obrolan denganmu atau bahkan hanya sekadar menyapa. Semuanya terasa begitu berat, tanganku dingin membeku tak berani menyentuh pundakmu atau sekadar bersalaman. Sama seperti sikapmu yang sangat dingin itu, untung hangatnya cinta tapat cairkan semua dalam hatiku.
Hasrat untuk ingin selalu dekat denganmu terus muncul dalam benak ku. Otakku terus berputar mencari cara agar bisa senantiasa berada di dekatmu, meski aku yakin kau bahkan tidak sadar akan keberadaanku. Berbagai alibi telah aku keluarkan demi untuk bisa berada di sampingmu sejenak, tanpa pernah berharap kau akan hiraukan aku saat itu.
Entah terbuat dari apa hatiku ini, sehingga mampu menyimpan cinta yang telah lama bersemayam, yang telah lama menunggu membukakan pintu untuk tuannya nanti, yaitu kamu. Tanpa pernah sedikitpun terbayang untuk terucap kata bosan menanti, bosan menunggumu yang entah menunggu datangnya siapa. Hampir empat semester sudah rasa ini masih gigih bertahan dalam hatiku ini, entah aku bodoh atau memang hatiku yang terlalu berupa batu. Namun sekeras-kerasnya batu nanti akan terkikis juga, batu juga bisa rapuh, seperti hatiku ini.
Bagaimana tidak rapuh jika seseorang yang selama ini aku dambakan telah menyimpan hatinya untuk orang lain. Seseorang yang selama ini aku tunggu untuk hidup bersamaku ternyata bertentangan denganku. Dia telah mendambakan seseorang yang selama ini aku kenal sebagai temanku sendiri. Sial, masalah rumit apalagi yang terlahir akibat mencintaimu. Entahlah, hatiku terlalu sedih untuk memikirkan hal seperti itu. Meski ragaku berpenampilan seperti apa yang ku sajikan biasanya, tapi sebenarnya di dalam hatiku kini terdapat genangan air mata, dimana tempat itu adalah celah patahan akibat hatiku yang retak mendengar kabar itu.
Melihat kenyataan bagaikan aku yak bisa bangun dari mimpi buruk dalam tidurku. Kini segala mimpi indah yang sudah tertanam dalam khayalanku buyar begitu saja. Di dalam hatiku ada sebuah cinta yang akan bermetamorposa menjadi luka yang mendalam. Mungkin aku yang salah karena hanya membiarkan dan menyaksikan pertumbuhan cintaku yang tidak diiringi oleh pupuk senyumanmu itu. Mungkin aku sendiri yang secara tidak langsung menggoreskan luka pada hatiku ini.
Sudahlah, aku tidak ingin menyalahkan lagi
Cinta memang tidak bisa disalahkan, karena pada dasarnya cinta tidak hanya sekadar memiliki. Meskipun tanpa memiliki namun tetap bisa saling melempatr canda dan tawa itupun sudah sangat berarti. Tapi sekali lagi, buah imajinasiku tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang aku dapatkan kini. Bukan semakin dekat meski hanya sebatas sahabat yang aku dapat, melainkan kecanggungan yang bahkan tak satu katapun pernah terucap lagi beberapa waktu belakangan ini. Entahlah, mungkin hatiku masih butuh waktu untuk membiasakan diri, menerima getirnya realita yang telah tersaji di depan mataku. Aku bukan siapamu, diriku hanya seperti bunga anggrek dan kau pohon inangnya, tanpamu aku mati, tanpamu aku tak berdaya. Tapi dirimu tanpaku, kau baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still Waiting
PoetryMenunggu adalah kebiasaan baru dalam hidupku, menunggu kembalinya kau kepelukanku dan menjadi milikku seutuhnya. Meskipun berbagai luka dan sakit hati akan aku alami namun jika untuk menjadikanmu milikku aku rela. Dan yang paling aku ingat adalah ha...