Rumah Sakit

115 21 4
                                    

Ketika kau sedang merangkak untuk terbebas dari penderitaan dan rasa sakit yang kau dapatkan sebelumnya. Sembari mencoba mengumpulkan serpihan hatimu yang telah hancur berkeping-keping dulu. Mempersatukan hati yang telah remuk tak berupa hati yang selayaknya rumit memang, tapi di tangan yang tepat maka hal itu sangat lumrah terjadinya. Butiran air mata yang terjun bebas menuju muara di pipi kini berubah menjadi hangatnya tawa dalam bahagiamu. Aku, turut bahagia, senyum telah terbit di bibirmu itu. Tak perlu kemewahan, tak perlu perhiasan yang bertahtakan emas dan permata. Ketika kebahagiaan merekah di wajahmu, merona merah pipimu memancarkan semangat kebahagiaan.

Tetap sinari hariku dengan gelak tawamu itu, dengan senyuman manis yang rasanya terus menempel di ujung lidahku. Biar hanya senyummu saja yang terlampau manis hingga berakibat diabetes. Tak masalah, asal bukan janjimu yang manis namun sebenarnya terselubung busuk di dalamnya. Tiada wajahmu, tanpa senyummu hariku terasa hampa. Seperti di ruang angkasa, kau adalah bintang paling bersinar di semesta. Kau seseorang yang aku harapkan saat aku melihat bintang jatuh dahulu. Apakah benar kepercayaan yang sudah terngiang jelas di kepalaku ini.

Masih belum terjawab juga pertanyaan yang telah lama mengorbit pada pikiranku. Kau seolah-olah mengiyakan jawaban atas doaku itu sambil tetap berkata tidak. Rumit memang, bukan hanya rumit, tapi juga membingungkan. Mengapa masalah perasaan selalu serumit ini. Ini bukan matematika yang harus menggunakan kejeniusan logika berpikir, tapi masalah cinta, yang diperlukan hanya keseriusan perasaan mencinta. Sudah aku lakukan segenap hati mencintaimu, apakah kau juga melakukan hal yang sama kepadaku? Entahlah, bola matamu kini berubah menjadi tanda Tanya besar, kau diam seribu bahasa. Bungkam, menyuruhku untuk memecahkannya sendiri.

Sepertinya ketakutan terbesarku akan terjadi. Kau akan pergi meninggalkanku ketika lukamu yang sudah aku rawat dengan segala cinta kasihku dulu. Kau terbang bak seekor anak burung yang sudah bisa mencari makanan sendiri, yang sudah bisa terbang menembus cakrawala. Kau datangi aku ketika hatimu sedang terluka, saat hatimu sedang berdarah-darah. Aku yang merawatnya, aku yang menyayanginya mengapa dia yang menjadi pilihanmu? Lantas segala pengorbanan dan perjuanganku selama ini kau anggap apa? Hanya kasih sayang seorang orang tua kepada anaknya? Aku terlalu muda untuk menjadi orang tua bagi hati yang sedang terluka. Aku juga bukan rumah sakitmu, yang hanya kau kunjungi ketika hatimu sedang terluka, ketika kembali pulih kau tinggalkan begitu saja tanpa pamit bahkan tanpa berterimakasih kepadaku. Memang aku tidak pamrih tapi apa artinya mencintai tulus namun hanya dianggap sebagai serpihan debu yang hanya mengotori kehidupanmu.

Segumpal harapan menyumbat pebuluh nadiku, mengeras dan kian hari akan menjadi kerak penyesalan. Pasokan oksigen dari paru-paru menuju otakku sedikit terhambat. Mungkin ini sebabnya saat aku jatuh cinta padamu sehingga otakku kehilangan sedikit fungsi pada umumnya. Mungkin itu penyebabnya aku menjadi bodoh karena cinta. Tapi berkat kebodohan itu aku dapat menemukan kebahagiaanku di dunia ini.

Still WaitingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang