Penyesalan

111 12 6
                                    

Aku berdiri dekat persimpangan jalan, berpijak pada kepercayaan yang telah pupus. Menanti sosokmu lewat di depan mataku sambil membisikkan bahwa akulah hidupmu, akulah bahagiamu. Hush! khayalan busuk apa yang terlintas tadi, hatiku terus mengacau, terus mengagungkanmu seolah-olah memang kaulah Cleopatra-ku. Angin menepuk pundakku, menyentuh halus bagian leherku, mengingatkan pada nafasmu yang pernah terasa dekat di pundakku.

Aku sadar berdirinya aku dekat persimpangan itu tidak ada gunanya, sama seperti mengharapkanmu kembali bersamaku, tidak ada gunanya. Kau sudah bahagia dengannya. Panas, membakar kulit tanpa tabir surya ini. Sama seperti hatiku yang terbakar saat tahu kau kini miliknya.

Aku merindukan hadirmu bagaikan hujan merindukan pelangi. Semua orang percaya selalu ada pelangi sehabis hujan, berarti akan ada kebahagiaan sehabis hujan air mata. Tapi sepeninggalanmu itu, bukan bahagia yang aku dapat tapi hanya luka yang membuatku semakin dewasa. Kau bukan guru honorer yang berjuang mendapatkan status PNS sehingga rela memberiku pelajaran seperti ini.

Cukup!

Tak perlu lagi kau ajari aku untuk terbiasa tanpamu. Jangan, aku tak akan pernah bisa. Tak usah kau ajari aku untuk mencari penggantimu, jangan pernah. Biarkan aku belajar otodidak, hatiku tak bisa kau paksa. Di sekolah aku selalu didoktrin oleh guruku, untuk terus mengingat dan sedikit melupakan. Itu sebabnya, dalam kepergianmu aku selalu mengingatmu, seolah-olah besok adalah ulangan mata pelajaran mencintaimu.

Kau adalah sejarah, yang tetap ada namun sebatas masa lalu. Namun kau bukan pahlawan, yang harus aku kenang dalam tiap diamku. Aku lebih ingat kapan kita pertama kali bertegur sapa, dibanding kapan tepatnya Kerajaan Majapahit runtuh. Aku lebih mengingat semua hal yang kau janjikan, dibanding apa isi sumpah palapa.

Sebentar, aku teringat sesuatu.

Ilmu fisika yang tadi siang aku pelajari, Hukum III Newton. Kira-kira berbunyi seperti ini "Jika benda pertama mengerjakan gaya terhadap benda kedua, maka benda kedua akan mengerjakan gaya terhadap benda pertama yang besarnya sama, tetapi arahnya berlawanan". Jelas, memang alam telah menakdirkan kita seperti ini. Jika rasa yang aku beri kau balas dengan rasa yang sama, sudah pasti kita akan berlainan arah. Buktinya sekarang, aku sendiri dan kau bersama pria itu.

Still WaitingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang