Salam hangat (lagi)

148 9 0
                                    

Pertemuan setiap hari kini berubah menjadi penantian setiap hari. Kini alasanku duduk dibangku taman benar-benar berubah, hanya untuk menantimu menghampiriku. Tak lagi ada buku, mataku sibuk melihat sekeliling, mencari sosokmu.
"Hai, Ra,"seseorang datang dari belakang. Hatiku berdetak kencang, ku mau itu kau. refleks aku berdiri dan berbalik.
"Fahmi?" ternyata bukan kau, Tuan. Detik itupun aku semakin rindu, meski tak bisa ku pungkiri begitu marah aku padamu karena cemburu pada Ira.
"Lama gak ketemu, sehat?"tanyanya dan duduk dibangku.
"Sehat,"jawabku singkat, dan kembali duduk disampingnya.
Ini orangnya, Tuan. Orang yang kataku mendekatiku selain kau. Dia tiba-tiba datang menggantikan kau duduk disini. Tapi dia bukan orang yang ku nanti, segera aku ingin pergi.
"Mi aku duluan ya, Marisa udah nungguin,"aku pergi tanpa mendengarkan apa yang ingin Fahmi sampaikan.
Sesampainya di kosan, nomor baru masuk menelponku. Itu kau! Kau ucapkan salam hangat setelah satu bulan menghilang. Tanpa dosa kau menanyakan keberadaanku.
"Hei, Kamu dimana, saya ditaman," baru saja aku pulang dari taman untuk menghindari Fahmi.
"Dikosan," ku jawab tanpa bertanya siapa yang menelponku, begitu baik aku mengenal suaramu.
"Kamu ga pernah bilang jelas kosanmu sebelah mana."
"Emang harus?" Tanyaku ketus. s
"Kalo harus ditanya dulu, saya nanya sekarang, dimana alamat lengkap kosan kamu ?" katanya agak sedikit tegas.
Setelah ku beri tau, dan menutup telponnya. Tak lama kau datang dan duduk diteras. Seperti biasa, tanpa ku tanya kau menceritakan apa yang mau kau ceritakan.
"Penelitiannya beres, tinggal rapihin skripsi, revisi terus sidang deh."
Aku pikir, kau membutuhkan ku untuk memperjuangkan skripsimu, ternyata tidak. Kehadiranku tidak berpengaruh untukmu, tuan. Kau datang dalam keadaan lemah, dan membutuhkan pertolonganku. Tapi setelah menghilang, kau menceritakan keberhasilanmu tanpaku. Entah kekuatan dari mana yang kau dapatkan setelah ku lihat keputusasaanmu.
Apa permintaan tolongmu itu palsu? Kau berhasil, bahkan tanpa sedikitpun kuucapkan 'semangat Kedira'.
"Selamat ya," jawabku.
Mungkin, bukan semangat dariku yang kau butuhkan, Tuan. Tapi dari perempuan yang bertahun-tahun bersamamu itu kan?
Sudah kuduga, hubungan selama itu tak akan mudah kandas. Ketergantungan satu sama lain sangat sulit untuk dilepas.
Kau bercerita sesuka hati, padahal aku enggan mendengarkannya. Ceritamu hari itu tentang penelitianmu di jakarta, tapi tak sedikitpun kau mengucap nama Ira. Dan tak mungkin kutanyakan tentang itu. Kau menyembunyikannya.
Hari itu berlalu begitu saja, ditutup dengan ucapan selamat malam darimu.
"Selamat malam Hera, aku pergi, suatu hari nanti kita gak perlu berpisah, cukup ku bisikan selamat tidur ditelingamu."
Haiszzz.
Apa kalimat kalimat seperti itu menjadi senjatamu, Tuan? Untuk mewakili perasaanmu untukku. Bahkan sekalipun kau tak pernah mengutarakan cinta. Hanya kata-kata gombal saja yang selalu kau ucap diakhir cerita.
***
Keesokan harinya, seolah tak sabar kau ingin melanjutkan ceritamu kemarin.
"Disana seru banget her, kita bersepuluh nyewa kontrakan bareng, padahal tempat penelitian kita beda-beda."
Ternyata, mereka bukan jalan berdua, tapi bersepuluh. Tapi tidak menutup kemungkinan Kedira dan Ira berdua-duaan disana. aku melamun.
"Engga ko," kau menyenggol bahuku, seolah menjawab pertanyaanku didalam hati. Lalu kau lanjut bercerita, tak ada yang aneh dari ceitamu. Sepertinya kau semangat dan sibuk, sedikit tidak mungkin ada moment berduaan dengan Ira.
"Jangan berfikiran buruk tentang saya ya her, nanti kamu nyesel."
"Engga ko, so tau deh."
"Saya lihat disorot mata kamu, kamu selalu menduga-duga dan tidak percaya," jelasnya sembari menatap mataku.
"Ah perasaan kamu aja kali."
"Ohh, kalo perasaan kamu?" kau tersenyum menggoda.
Entah apa maksudnya, aku memalingkan muka dan tersipu, lagi.

Durasi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang