Keputusanku

122 9 3
                                    

#keputusanku

Jam tanganku menunjukan pukul 7 sabtu malam. Waktunya tiba dia mendapatkan jawaban dariku. Tapi aku masih diam di taman fakultas.

Rasanya malas sekali untuk beranjak menuju cafe, rasanya aku ingin pergi jauh dan melewati hari ini tanpa beban dan kebingungan.

Setelah mengulur waktu 10 menit, aku pergi dengan sepeda motorku menuju cafe tempat yang kau tentukan itu. Aku harus meyakinkan diriku bahwa ini benar, dan semua akan baik-baik saja.

Sepanjang jalan aku bergumam, bagaimana jika kau datang disaat aku dengannya; bagaimana jika aku mencintainya saat kau datang; bagaimana jika aku tak mencintainya bahkan jika kau tak datang; bagaimana jika ini salah ?

Sampailah aku di depan cafe, terlihat Fahmi sedang duduk menunggu di meja luar. Melihat wajahnya, ada rasa bahagia namun tertahan.

Aku kesulitan mendeskripsikannya. Aku menyukainya, aku akan beruntung memilikinya, tapi mengapa begitu sulit melupakan kau, Tuan.

Aku menghampirinya dengan sedikit senyuman, ia membalas senyumanku dengan sangat manis.

"Maaf ya, udah lama?"

"Engga ko, harusnya tadi aku jemput kamu, kenapa dilarang sih kan jadi kena macet," dia menatapku dengan merasa bersalah.

Begitulah Fahmi, selalu positif thinking terhadap apapun. Bahkan dia tak pernah berfikir macam-macam tentangku. Kali ini dia berfikir bahwa aku terkena macet.

Tak lama makanan yang dipesan Fahmi datang, berjajar menemani bunga mawar ditengah meja. Suasana cafe yang romantis dengan minim cahaya lampu, menambah suasana semakin tegang bagiku.

"Ra, gimana kabar mama papa kamu ? Kapan kamu balik ke karawang" tanya fahmi sembari menyantap makanannya.

"Baik alhamdulillah, minggu depan aku pulang, lumayan seninnya aku free ga ada dosen."

"Oh, perlu aku antar?"

"Ga usah lagian aku mau bareng Marisa."

Setelah makanan kami habis, kami jalan menuju taman pinggir parkiran cafe itu. Dengan menghadap air mancur kecil, Fahmi menagih janjiku.

"Jadi gimana keputusannya, Ra? Sejauh ini aku ga punya gambaran apa kamu suka sama aku atau engga. Selama ini kamu tak banyak bertanya apalagi menuntut. Tapi justru itu yang bikin aku suka sama kamu. Kamu sederhana Ra, aku yakin kamu wanita yang bisa melengkapi kebahagiaan aku setelah berbahagai hal yang aku dapat ditahun in," jelasnya panjang.

Aku masih diam memandangi bintang yang berserakan mengindahkan langit. Dia memandangiku dalam, menanti kata 'iya' dari bibirku.

"Kenapa aku sih, Mi?"

"Harus ada alasan? Aku juga ga ngerti," katanya, lalu memalingkan muka pada bangku kosong disebrang air mancur.

"Kesana yuk?" ajaknya. Kami jalan memutari air mancur.

"Aku seneng Mi, kamu memprilakukanku sespecial ini. Aku cuma takut aja Mi."

"Takut apa? Aku ga macem-macem ko, aku bukan laki-laki brengsek kaya mantan-mantan kamu."

"Aku percaya itu, tapi bukan itu maksudku."

"Apa?" Fahmi mendekatkan wajahnya dihadapanku.

"Aku takut perpisahan, Mi. Sebaik apa pun seseorang, sesetia apapun, mereka akan tetap pergi dengan berbagai alasan." entah apa yang sebenarnya aku takutkan.

"Kamu jangan terlalu mengjawatirkan apa yang akan terjadi nanti. Untuk saat ini aku ingin bersamamu, kesempatan itu ada kan buat aku?" Fahmi menarik nafas dalam, "Aku akan mencintaimu seterusnya, meski mungkin nanti kesempatanku menjagamu akan habis. Sekarang, kenapa kita harus sendiri-sendiri kalo kita bisa bersama, Ra?"

"Iya aku mau! aku sayang sama kamu, Mi," seperti terburu-buru aku mengatakan itu. Entah mengapa, aku ingin mengatakannya, aku menyukainya beserta jalan pemikirannya.

Fahmi terlihat senang, wajahnya samakin tampan. "Aaakkk!" teriaknya diiringi suara tawa renyah. Aku ikut hanyut dalam bahagianya, aku ikut tertawa melihat tingkahnya.

Dia memegang tanganku dan menciuminya berkali-kali. Aku mengelus rambutnya sembari mengucap berbagai do'a dalam hati.

Mulai malam ini, aku usaha keras melupakanmu, Tuan. Lihat bagaimana dia mencintaiku. Sepertinya tak begitu sulit melupakanmu jika setiap hari ku coba jatuh cinta pada Fahmi, dan dia juga pandai membuatku senang.

***

#ku jalani dengannya

Dia datang untuk menjemputku, lalu pergi kemanapun aku mau. Dia selalu memberi greentea kesukaanku, mengucapkan selamat pagi dan malam setiap harinya. Mengingatkanku makan, ibadah dan sebagainya. Klasik.

Lama sudah, aku tak pernah merasa diperlakukan sespecial itu. Aku bahagia.

Hingga jalan satu minggu, aku menyadari bahwa ada yang belum aku selesaikan, maksudku ada yang masih mengganjal di dalam hati.

Apa aku harus menyelesaikan semuanya, atau melupakan saja ?
Aku selalu meyakinkan diriku untuk melupakan apa yang sebenarnya menggantung itu.

Sikapnya menahanku untuk menyelesaikan semuanya, Tuan. Dia tidak mengizinkan aku sedetikpun lepas. Maksudku, dia mengetahui penuh apa yang aku lakukan dalam 24 jam. Dia tau aku tak pandai berbohong. maka setiap laporan yang ku buat untuknya adalah benar.

24 jam dia ada untukku, Tuan. Sedangkan kau, satu hari hanya beberapa menit, paling lamapun hanya 3 jam. Kadang tak setiap hari kau datang, hari minggu yang selalu ku tunggu untuk bertemu, namun tidak. Satu dua minggu yang kadang menghilang semaumu.

***

Durasi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang