Aku, Hera Mahesa

580 19 2
                                    

1. Hai, tuan
Ijinkan aku bercerita tentangmu, Tuan. Untuk membagi rasa yang berdurasi ; untuk menyadari bahwa rasa akan hilang atau bersarang jika tuhan menghendaki ; untuk menyadari bahwa memaksakan kehendak rasa hanya akan melukai hati.

Bandung, 10 agustus 2016.
"Happy birthday to you... Happy birtday to you..." nyanyian marisa yang keluar dari kamar kos-an dengan membawa kue ulang tahun lengkap dengan lilin yang tegap terbakar.
"Makasih sa," aku memeluknya erat sebelum ku tiup lilin yang hampir habis terbakar.
"Yuk tiup dulu," ku tiup dengan penuh doá.
Dua puluh tahun sudah aku hidup sebagai seorang anak, kini aku beranjak dewasa, dan menjadi wanita biasa. Mungkin orang tua ku agak sedikit lega melihat perkembangan anaknya baik-baik saja, normal.
"Selamat ulang tahun sayang, sehat-sehat disana ya, cepet pulang," sederhana saja, ucapan ulang tahun dari ibu via whatsapp dengan penuh cinta tanpa terlihat. Ayah juga mengirim ucapan senada.
Aku bukan anak nakal yang bisa membuat kedua orang tuaku kecewa. Aku juga bukan anak pandai dengan limpahan prestasi yang bisa membuat kedua orang tuaku merasa bangga. Tapi suatu hari nanti akan ku buat mereka merasa begitu. Seperti Marisa yang selalu membuat kedua orang tuanya bangga dengan segala prestasinya.
Ya, Marisa zahirawati, teman masa kecilku, tetanggaku, sahabat terbaikku, dan segalanya bagiku. Kami kuliah di kampus yang sama, beda jurusan saja, kami tinggal di kosan yang sama, menyukai idola yang sama, selalu makan malam sama-sama, tidur dan bangun dijam yang sama.
***

Satu tahun yang lalu aku bersama Marisa pindah ke Bandung, menyewa kos-an yang sedikit lebih besar untuk ditinggali berdua. Letaknya dibelakang kampus, hanya perlu beberapa langkah saja untuk sampai kampus lewat gerbang belakang. Setidaknya tak terlalu khawatir kesiangan karena macet.
Satu tahun yang lalu menjadi waktu yang tepat untuk aku meninggalkan Karawang, meski mungkin hanya sementara. Ada banyak hal yang memberatkan disana, kuharap akan menjadi ringan setelah aku jauh dari rumah dan isinya.
Entah kepercayaan atau ketidak pedulian yang kudapat dari kedua orang tuaku. Ayah dan ibuku resmi bercerai ketika aku kelas 2 SMA. Jauh sebelum mereka bercerai, mereka telah menjalani hidup masing-masing, bersama pasangan barunya.
Mudahkah untuk dibayangkan bagaimana perasaanku sebagai anak tunggal mereka? Ini lebih sulit dari bayangan. Setiap hari rasanya berat untukku jalani, setiap minggu pindah dari rumah ayah ke rumah ibu, dari rumah ibu ke rumah ayah. Rumah ibu yang kumaksud adalah rumah kami, ya, rumah ayah dan ibuku, dulu. Rumah ayah yang ku maksud adalah rumah ayah yang baru bersama istrinya.
Ayahku telah menikah dengan seorang pramugari cantik sebelum bercerai dari ibu. Sedang ibu telah menjalin kasih dengan teman sekantornya, yang katanya sebentar lagi akan menikah.
Jika semua anak tak ingin melupakan masa kecil yang begitu indah bersama ayah dan ibunya, mungkin aku satu-satunya anak yang ingin lupa bahwa mereka pernah mencintaiku dengan amat sangat. Karena semakin ku ingat, semakin ingin aku kembali dicintai sepenuh hati oleh mereka, yang kini tak mungkin lagi.
***

Bandung, 30 Agustus 2016.
Sore itu ditaman fakultas. Seseorang menujuku, laki-laki tampan dengan topi hitam dan kemeja hitam kotak-kotak, lengkap dengan ransel dan sepatu boots yang terlihat lusuh. Kedira Nugraha, nama yang aneh kataku dalam hati, saat kau menyebut namamu sembari menjulurkan tangan.
"Kamu?"
"Hera," kataku. Kau melihat tanganku yang menggenggam buku dan menganggukan kepalamu, matamu seolah berkata, ayo sambut tanganku. Aku menjulurkan tangan untuk menyambut tanganmu.
"Sampai bertemu lagi," aku mengangguk dan bingung.
Sesederhana itu kita berkenalan, namaku saja yang kau tanyakan, dan namamu saja yg aku tau. Kau pergi dengan sedikit berlari.
Aku kembali duduk dan lanjut membaca buku. Kursi putih samping pohon palem ini tempat favoritku. Setiap sore sekitar pukul 4, aku selalu duduk disini, kecuali jika ada kelas dadakan, kecuali kursi ini sudah terisi, dan kecuali sabtu dan minggu.
Duduk dipinggiran taman memang beresiko bertemu banyak orang, tapi selama satu tahun menjadikan tempat ini sebagai tempat favorit di kampus, belum pernah orang berhenti didepanku hanya untuk berkenalan.
Tak lama tiba-tiba kau datang dengan sumringah menghampiriku.
"Kenapa?" tanyaku menengadah melihatmu berdiri disampingku.
"Apanya?"
"Balik lagi?"
"Dosennya gak ada, huh," kau duduk disampingku seperti kelelahan.
"Huh, capek banget, lari nyampe lantai tiga, turun lagi kesini."
'Siapa suruh turun lagi!' kataku dalam hati. Kampus kami memang tak memiliki lift, rata-rata tiap gedung memiliki 3 sampai 4 lantai, dan kalau kebagian lantai atas, ya, pasti kelelahan, apalagi lari.
Padahal kalo capek diem aja dikelas, dosen juga pasti ngasih tugas atau mungkin dikelas lagi ada presentasi kelompok, biasanya begitu. Aku ingin mengatakan itu, tapi yang keluar dari mulutku hanya, "oh."
"lagi baca apa?" tanyamu basa basi.
"boy candra," jawabku menyebutkan penulisnya, bukan judul bukunya.
"oh," kau seperti memikirkan apa selanjutnya yang akan kau tanyakan.
Diem-dieman. Kikuk sekali. Lama. Aku yang tadinya membaca buku sungguhan, jadi hanya pura-pura membaca, agar tetap menunduk dan tak perlu melihatnya, meski sebenarnya tetap kucuri pandang dari sudut mata. Kau hanya diam saja melihat sekeliling, dan sesekali melihat layar handphone.
"Indah ya?" kulihat wajahmu yang begitu senang menatap langit, diikuti oleh aku yang juga hanyut dalam suasana. Kala itu cahaya matahari segera menghilang dari cakrawala. Cahaya jingga seolah mengucapkan selamat tinggal pada siang.  Perpisahan yang manis. Dan itu sungguh menawan.
Aku akan terus menikmatinya selama cahaya itu masih ada. Kemudian aku baru akan menyadari bahwa orang yang baru kukenal ada disampingku, yang seolah kami bersama-sama mengucapkan terimakasih pada Tuhan untuk suguhan senja yang begitu indah sore ini. Tuhan masih memberi waktu dibulan agustus untuk menikmati senja, sebelum musim penghujan datang, yang mungkin langit sore nanti hanya akan mendung.
Setelah semuanya gelap, dan sekeliling mulai sepi, kita menyadari, begitu lama kita bersama ditempat ini tanpa berbicara banyak.
"Makasih Hera, sorenya menyenangkan," kau pergi meninggalkanku lebih dulu. Meski tak banyak yang kita bicarakan, tapi aku setuju denganmu, bahwa sore ini sangat menyenangkan. Kami bersama-sama berinteraksi dengan alam. Terimakasih.
***

Durasi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang