Pemuda itu berdiri angkuh di tengah ruangan 4x6 meter yang dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Sepatu mahal mengkilatnya ternoda bercak lumpur yang berada di sekitar rumah bobrok nyaris rubuh itu. Hatinya terasa ngilu dan nyeri melihat selembar foto berdebu nyaris pudar warnanya tertempel pada dinding triplek keropos rumah reyot itu. Bau pesing, apek dan pengap mendominasi indera penciumannya. Pemuda itu menghela napas dalam-dalam ketika luapan perasaan itu menyeruak, mendesak hendak melesakkan air mata brengsek yang coba ditahannya.
Kriet...
Bunyi pintu nyaris terlepas dari engselnya itu berbunyi ketika didorong oleh sosok perempuan berkaki jenjang yang terbingkai sepatu hak tingginya. Perempuan berambut panjang indah itu berjalan susah payah menghampiri si pemuda, meraih lengan kanan pemuda itu untuk berpegangan.
"Harusnya aku mendengar kata-katamu untuk tidak memakai sepatu berhak seperti ini." Gerutunya.
Si pemuda tidak berkomentar.
Perempuan manis itu mendongak menatap wajah sendu si pemuda. Tersenyum maklum lantas dengan manja mendekap pemuda itu dengan rengkuhan hangat. Telapak tangannya yang mungil mengusap-usap punggung si pemuda dengan lembut –menenangkan.
"Ada tempat lain yang ingin kau kunjungi lagi?" tanya sang perempuan. Rok midinya menari-nari tertiup angin yang masuk melalui jendela yang tidak lagi berpenutup.
"Tidak. Tunggulah di mobil! Ku rasa sebentar lagi akan turun hujan." Pemuda itu mendongak ke langit-langit rumah yang penuh tambalan, berlubang, kotor dipenuhi sarang laba-laba. "Aku tidak akan lama."
Sang perempuan mengangguk perlahan kemudian berjalan meninggalkan si pemuda yang masih menyiksa dirinya dengan berada di dalam ruangan mirip kandang sapi tersebut.
Tanpa memedulikan lantai tanah yang becek dan tergenang air di beberapa tempat, si pemuda segera berjalan menuju satu-satunya tempat tidur –atau seperti itulah kelihatannya sebelum dua kakinya patah− yang dalam keadaan miring itu. Berjongkok di samping tempat tidur yang mulai keropos termakan rayap. Tangan kanannya terjulur untuk mengusap permukaannya secara hati-hati namun tetap saja membuat kayu tempat tidur itu terkeluapas. Meremas kelupasan kayu sebelum mencampakannya begitu saja. Kemudian dijulurkannya tangannya ke bawah, mengais-ngais apapun yang mampu dijangkau tangannya. Sebuah kotak besi berukuran 30x50 centimeter berhasil ia raih, kemudian ia tarik keluar. Penuh debu sudah pasti. Ketika perlahan ia buka penutup kotak tanpa kunci itu beberapa kecoa dan kutu busuk berlarian keluar. Ditatapnya sebuah kaus kaki usang yang penuh tambalan, tentu saja kekecilan bila ia kenakan. Sebuah tutup kepala rajut yang berbau apek dan sebuah plastik hitam. Diambilnya plastik hitam itu untuk dikeluarkan isinya. Air matanya mengalir deras, isakan lolos dari bibir penuhnya hingga ia harus membekap mulutnya sendiri.
Itu hanya sebuah foto tua. Foto yang bagi orang-orang dianggap foto biasa. Tetapi di dalam selembar foto itu ia bisa melihat senyum sang ibu yang sudah meninggalkannya semenjak usianya 10 tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alomorf Zero ✔️
Fiksi PenggemarKetika tangan takdir sudah memutus benang merah kehidupan, tiada satu pun yang bernyawa di dunia ini mampu membuat keajaiban.