Broken Home
"Aku tidak mengerti yang kalian katakan
Tapi, mendengar kalian berteriak membuat hatiku terasa sakit"
Aku merasa dalam kegelapan yang sangat menyeramkan, aku merasa di himpit oleh kerasnya batu karang. Aku seperti dalam pusaran ombak yang menggulung jiwaku, aku seperti di timpa runtuhan bangunan akibat gempa bumi hebat. Rumah ku seperti sedang terjadi perang dunia kedua, semuanya hancur oleh tangan ibuku dan ayahku, mereka berteriak semau mereka mengeluarkan semua sakit di dalam hati mereka. Mereka saling menuduh dan menyalahkan satu sama lain, tanpa mereka sadari aku menggigil ketakutan di pojok kamarku. Saat itu usiaku 13 tahun. Hari itu adalah hari yang tidak akan pernah aku lupakan dalam hidupku.
Aku merasa seperti tersangka pidana mati saat itu, aku seperti mendengar algojo memaki ku dan berteriak ingin membunuhku. Sementara aku hanya duduk seperti orang yang sudah pasrah dengan nyawaku di ujung pojok ruangan, yang sudah seperti sel penjara bagiku. Karena ibu selalu mengurungku di ruangan ini, dengan alasan yang aku tidak mengerti. Kamar yang mewah dan di lengkapi dengan fasilitas berharga untuk menunjang kenyamananku. Tapi bukan itu yang ku mau, aku hanya ingin teman, aku ingin bermain, aku ingin merasakan udara luar bukan hanya udara pendingin ruangan. Aku ingin mengetahui rasanya duduk di bangku sekolah, bukan hanya belajar di dalam rumah dengan guru yang sama. Aku ingin melihat hewan dan tanaman di luar sana, aku ingin meilhat langit dan awan, bukan hanya lukisan dan barang-barang mewah di dalam rumah, aku ingin mendengar suara nyanyian burung bukan hanya suara bar pianoku disaat les ataupun di saat aku sedang sedih. Bahkan, saat aku melihat hujan di kaca jendelaku yang di pasang oleh besi-besi panjang, aku berlari ke kamar mandi dan membayangkan air shower yang menimpaku adalah rintik-rintik hujan yang indah.
Aku masih menangis dan menggigil ketakutan di pojok kamarku, sementara mereka masih berlomba mengeluarkan teriakan masing-masing, bahkan aku mendengar ibuku berteriak kesakitan, aku ingin berlari dan melihat semuanya serta memeluk ibuku, tapi aku sangat ketakutan untuk melakukan itu, napasku terasa sesak dan sakit, aku ingin di peluk oleh siapapun yang melihatku, tapi aku sadar disaat seperti ini kedua pembantu dirumah tak ada satupun yang berani untuk menampakkan dirinya, apalagi sampai masuk ke kamarku yang berdekatan dengan ruang tengah tempat mereka bertengkar. Dadaku semakin sakit mendengar ibuku menangis kesakitan, aku ingin berlari dan menolong tapi sekali lagi aku terlalu takut untuk melakukan itu. Semakin lama aku semakin merasa sakit, dan tanpa aku sadar tubuhku terjatuh di lantai dengan sangat lemah.
Pandangan itu semakin kabur aku lihat, setelah aku benar-benar sadar aku melihat ibu dan ayah ada di hadapanku. Mereka duduk berdua di sampingku yang terbaring lemah di atas kasur kamarku, aku sempat berpikir. Haruskah aku sakit dan terbaring lemah untuk melihat kalian tersenyum dan berdampingan di hadapanku?, tubuhku terlalu sakit untuk memikirkan itu semua. Yang membuat hatiku lebih sakit adalah saat aku melihat ibu penuh luka lebam di wajahnya. Saat itu aku mulai bertanya pada diriku "Apakah seorang laki-laki boleh melakukan itu pada perempuan, atau apakah memang perempuan yang berhak menerimanya?. Tak pernah ada yang mengajariku tentang itu semua, bahkan guru yang di bayar mahal oeh orangtua ku, dia hanya mengajariku tentang pelajaran-pelajaran sekolah yang aku tidak butuhkan sama sekali, karena merasakan sekolah saja tidak, jadi untuk apa itu semua?.Aku membuka pikiran ku dengan berbagai macam teori yang aku buat sendiri, bahwa seorang laki-laki boleh memukul sedangkan perempuan adalah orang yang di pukul. Landasan teori itu aku dapatkan sendiri, karena saat ayah memukulku dan ibu, kami hanya bisa diam tanpa berbuat apa-apa, sementara ayah tak pernah ada yang memukul atau memakinya. Tidak ada yang memberikan tanggapan apapun pada teori ku, jadi aku anggap itu benar.
Mengingat kembali kejadian yang membekas itu, membuat hatiku kembali sakit terlebih mendengar semua teriakan mereka. Aku tidak mengerti apa yang mereka katakan tapi semua yang ku dengar menambah catatan luka di hatiku. Aku tak pernah berhenti mengingat rasa sakit yang ku alami karena tak pernah ada satupun orang yang mengajakku tertawa untuk melupakan semuanya, terkadang bermain piano menjadi andalan ku mengusir kejenuhan dan semua luka dihatiku namun, aku tak mungkin melakukan itu saat terbaring sakit seperti ini, belum lagi adanya kabel yang terpasang di bagian lenganku.
"Dinar, maafin ibu yah?ibu gak tahu kalo kamu sedang sakit. Ibu janji akan rawat kamu sayang" ibu sambil memegang tanganku.
Aku ngga ngerti yang dibilang ibu, dia meminta maaf karena tidak tahu aku sakit. Lalu bagaimana dengan sakit yang aku simpan selama 13 tahun?terkurung di rumah menyeramkan ini, dan ibu selalu pergi dan membiarkan ku menangis pada mba diah seorang pengasuhku, dan meninggalkan ku tanpa alasan yang jelas. Aku benci ibu menganggilku sayang padahal dia tak pernah menyayangiku, bagiku panggilan itu hanya omong kosong.
Aku merasa hancur saat aku ingin berteriak, tapi tak mampu melakukannya.Hanya air mata yang menjadi teman setia dan teman berbagi segala kedukaanku. Aku merasa bodoh karena tak pernah berani melakukan apapun, bahkan hanya untuk menikmati hujan di luar sana. Aku benci menjadi batu,yang hanya diam tanpa bisa melakukan apa-apa, lantas siapakah yang berhak di salahkan atas semua ini? Yang membuatku terlahir dalam keluarga broken home, keluarga yang hancur, keluarga yang tak pernah ada cinta dan kasih sayang di dalamnya, keluarga yang tak pernah mengajariku arti apapun, dan keluarga yang hanya mementingkan kebahagiaannya masing-masing. Aku menyalahkan dan membenci siapapun yang telah melakukan semua ini padaku !
Di dalam hidupku tak pernah ada yang namanya kasih sayang terlebih lagi yang namanya cinta, orang tua ku saja tak pernah memberikan itu padaku. Cinta dan kasih sayang mereka hanyalah untuk diri mereka. Mba diah dan si mbo saja, mencintaiku karena mereka di bayar dengan mahal oleh orang tuaku, karena mereka tak pernah memelukku atau melindungi ku saat ayah memaki dan bahkan memukulku, beruntung ayah jarang sekali pulang ke rumah. Belum lagi guru sekolah dan les pianoku, mereka hanya menjalankan tugas mereka secara formalitas karena tuntutan pekerjaaan yang tentunya di bayar mahal pula oleh ayahku, menjijikan sekali harga cinta itu, sampai menyakitiku dan membuat luka yang sangat dalam di hatiku.
Sejak itulah aku merasa, takkan pernah ada cinta di dunia ini, takkan pernah ada kasih sayang dalam hidupku. Karena ketulusan itu memang tidak ada, semua itu seperti cerita dongeng yang membuatku lari kedalam dunia hayal yang indah, yang sebenarnya takkan pernah ada dan takkan pernah bisa aku dapatkan.
Jika benar cinta dengan ketulusan itu ada, ibuku tidak akan mungkin menemani ku hanya karena aku sakit seperti ini. Dia pasti akan selalu ada menemaniku dalam setiap apapun keadaan ku, terlebih saat aku mulai merasa sakit yang ingin sekali aku ceritakan padanya. Tapi kenyataannya ibu tak pernah mendengar apapun yang aku bicarakan, dia seolah tuli dengan kesibukannya, dia seolah buta melihat anaknya yang sangat merindukan kasih sayangnya dan masa-masa indah berbincang dengannya.
Bahkan dia tak pernah lepas dari handphonenya saat menemaniku sampai tertidur di sofa samping tempat tidurku. Pekerjaan seperti apa yang membuat seorang ibu sampai melupakan anaknya? Dan pekerjaan yang seperti apa, yang membuat seorang ayah tetap pergi dengan urusannya saat anaknya sedang sakit?
Apakah harta menjadi segalanya dalam hidup ini? Jika memang benar, Apa artinya aku hidup di tengah-tengah keluarga ini.
YOU ARE READING
Seuntai Tasbih
Teen FictionMasa lalu adalah hal mengerikan ketika seseorang mengingat dirinya dalam kegelapan, dimana sesorang merasa jiwanya begitu jauh dari agama, tak ada penopang yang kuat untuk dia bisa berpegang teguh padanya, tak ada perisai yang cukup kokoh untuk dia...