Part 3

88 2 0
                                    



Pemberontakan

"Aku ingin terbang bebas

Menikmati duniaku"

17 tahun adalah waktu yang cukup untukku mengerti tentang diriku, tapi tak mampu memahami tentang keadaanku. Aku sudah terpenjara cukup lama, aku sudah tersiksa batin maupun fisik yang sudah sangat cukup menyakitkan ku. Aku benci melihat mainan itu, mereka diam saja. Aku menatap keluar jendelaku, melihat pagar besi dengan kayu tebal yang tinggi itu, aku mulai berpikir untuk keluar dari penjara ini. Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua caci maki ayah terhadapku, aku ingin sekali membuang boneka-boneka bodoh itu di depan ayah dan bilang kalo mereka tak berguna ayah, mereka diam saja, aku ingin memiliki teman yang sepertiku bukan seperti mereka.

Pagi ini ibu pergi meninggalkanku dengan ayah. Semenjak kejadian satu tahun lalu, sikap ayah sangat dingin padaku, aku tak lagi berani berbicara berdua dengan ayah karena rasa takut ku dengan pukulan tangan ayah. Bahkan sampai saat ini, perihnya rambutku dan sekujur tubuhku masih terus terbayang, apalagi kejadian itu diawali dengan pertanyaan yang wajar menurutku.

"Dinar, bikinin ayah kopi"

"Baik yah"

Aku pergi membuatkan sendiri kopi untuk ayahku, setibanya di dapur.

"Non, biar mbo saja yang bikin kopinya" yang sedang asik menonton tv didapur

"Ngga usah mbo, aku bisa sendiri. Ngomong-ngomong mba diah kemana yah

mbo?" sambil mengambil cangkir kopi

"Tadi tuan nyuruh diah beli buku-buku baru buat non dinar"

Aku tersenyum mendengarnya, ternyata ayah memang perduli sama aku, walaupun aneh kenapa tidak dia sendiri yang membawaku pergi untuk membeli buku yang ku mau. Aku menuang beberapa sendok teh bubuk kopi ke dalam cangkir, saat aku mengambil toples gula mataku tertuju pada tv yang sedang di tonton si mbo, aku melihat sendiri serial keluarga yang terlihat harmonis dan bahagia, si anak sedang tertawa bahagia bersama si ayah dan ibunya di pelataran rumah mereka. Aku merasa iri dengan kebahagiaan mereka.

Aku membawa kopi yang ku buat sendiri ke ayah, yang sedang duduk di ruang tengah sambil membaca korannya.

"Ayah nih kopinya" menaruhnya dimeja.

"Dinar, duduk di depan ayah"

Akupun menuruti apa yang dibilang ayah, karena aku juga merasa butuh waktu bicara dengan ayah, untuk memperbaiki hubungan kami berdua.

Ayah banyak menanyakan tentang pelajaran ku sama bu dina, juga les pianoku dengan kak mia. Dua guru yang selalu mengajariku dari kecil sampai 17 tahun sekarang ini. Aku menceritakan semua yang ku alami selama proses belajar piano, dan aku sudah mampu menciptakan nada-nada ku sendiri. Ayah mendengarnya dengan bangga, saat aku akan menceritakan prestasi akademik ku, tiba-tiba saja ayah memuntahkan kopi yang baru saja di minumnya ke wajahku. Aku kaget atas apa yang dilakukan ayahku, dia bahkan dengan gampangnya membuang kopi di cangkirnya ke tanganku, sudah pasti tanganku langsung melepuh dan kepanasan.

"Dasar anak bodoh, kamu ngga tahu kalo kopi ini rasanya asin, mau bikin ayah darah tinggi kamu, mau ayah cepet mati? Jawab dinar!" membentak dengan nada keras.

"Asin?" mungkin karena aku tadi salah ngambil gula dengan garam karena melihat film di tv tadi.

"Ngga yah, aku ngga sengaja, maafin aku yah" menahan perih ditangan

"Dasar anak bodoh, anak haram kamu, ayah malu dengan kehadiran kamu!" ayah menarik tanganku ke kamar mandi, menggenggam tanganku dengan sangat kuat tanpa dia tahu perihnya seperti apa akibat siraman air panas tadi. Kata-kata ayah, benar-benar menyakitkan melebihi semua yang ku alami selama 17 tahun ini. Aku anak haram? Dan kehadiranku menjadi aib untuk kehormatan ayahku, sampai dia malu atas adanya diriku.

"Yah, sakit yah" aku memegang rambutku yang dijenggut dan di tarik oleh ayah ke kamar mandi, ayah menyiram tubuhku dengan air yang sangat dingin, sampai tubuhku menggigil. Ayah menendangku sampai aku terjatuh di kamar mandi, tubuhku terbanting seperti sampah yang menjijikan, aku penuh dengan luka lagi. Aku menatap kedua tanganku yang bengkak dan merah akibat melepuh, sepertinya rasa sakit itu tak seberapa dibanding sakit yang ada dihatiku, jika saja aku mampu melihatnya.

Aku menangis menahan luapan teriak kesakitan di dalam hatiku. Aku berusaha bangun sekuat tenagaku, aku berjalan terpontang panting ke kamarku. Si mbo melihatku dengan prihatin, aku tahu dia ingin membantu tapi dia takut dengan ayahku, beberapa langkah aku keluar dari pintu kamar mandi, tiba-tiba ayah datang menghampiriku "Dasar anak tidak berguna, jalan aja lama, sini biar aku bantu" menarik tanganku dengan kuat dan berjalan cepat ke kamarku. "Sakit yah" ayah sama sekali tak menghiraukan aku menangis dan terus bilang sakit.

Setibanya dikamarku, ayah langsung membuang tubuhku kelantai, benar-benar seperti barang yang tak berguna. Ayah menutup pintu kamarku dengan sangat keras, seperti daun pintu itu mau copot dari engselnya. Aku berusaha untuk tetap kuat, dan membawa tubuhku ke atas tempat tidur. Kenangan satu tahun lalu, bukan lagi tergambarkan, tapi benar-benar jadi kenyataan dan sedang ku alami saat ini.

Aku mulai berpikir, "Sampai kapan aku terus seperti ini?" dan aku mulai berpikir untuk keluar dari penjara ini, algojo itu datang kembali dan rupa menyeramkannya hampir terlihat, karena hampir saja dia membunuh anaknya sendiri. Aku menatap langit-langit kamarku, dan benar-benar membulatkan tekad untuk pergi.

Tiba-tiba saja aku mendengar suara mobil ayah meninggalkan bagasi rumah, peluang ku untuk pergi semakin terbuka lebar. Aku mengemas beberapa bajuku ke dalam tas, semuanya sedikit terhalang karena sekujur tubuhku yang benar-benar sakit, rambutku perih sekali, tanganku semakin panas dan membengkak, tapi jika terus-terusan seperti ini sang algojo menyeramkan pasti akan benar-benar terlihat, dan aku tidak mau itu terjadi, ayahku tetaplah seorang ayah, dan jika aku harus mati biarlah tanganku atau tangan orang lain yang mengambilnya bukan tangan seorang ayah yang telah membesarkanku.

Sebagai salam perpisahan aku membuat surat untuk ibuku

"Bu, kita ini memang perempuan yang senasib. Selalu dimarahi dan dipukuli oleh laki-laki yang sama, dan kita sama-sama takut dengan laki-laki itu. Maafkan aku bu, aku tidak lagi bisa menemani ibu, aku pergi dalam keadaan baik dan sehat. Jangan khawatirkan aku, jaga diri ibu, aku mencintai ibu dan ayah, aku mencintai tulang punggung keluarga kita, dia laki-laki hebat. Aku bukan seorang pemberontak, aku hanya ingin terbang bebas menikmati duniaku. relakan aku bu, aku hanya tidak ingin rumah tercinta ini menjadi sel penjara untuk seorang anak haram yang telah mencoreng nama baik ayahnya. Kelak tiba saatnya, aku akan kembali membawa ibu pergi dari sini, atau aku akan perbaiki kebahagiaan rumah kita. Makasih bu untuk semuanya, aku mencintaimu dan ayah"


 Setelah berkemas dan mengganti baju, aku memanjat pagar belakang rumahku tanpa ada yang melihat, pagar yang cukup tinggi untukku, walaupun aku sendiri tidak pernah tahu rasanya manjat pagar, tapi keyakinanlah yang menguatkan semuanya, apalagi tanganku tidak dalam keadaan baik saat itu. Aku meyakinkan diriku untuk terus menarik tangan pada tali yang aku pasang di atas pagar, sekuat yang aku bisa.Setelah sekian lama, akhirnya aku berhasil melakukan pemberontakan pada hidupku.

Seuntai TasbihWhere stories live. Discover now