Mamiiiii.... Pengen pegang-pegang Pak Deee. Huweeeeeeee.
Sumpah, ya, itu orang. Ngeselinnya level maksimum banget. Ish, ish. Kalau bukan karena cinta, sudah aku pites kepalanya. Ngeselin banget, ya, Tuhan. Kok ada, ya, cowok lempengnya nyaingin jalan tol kayak dia. Apa dosa hamba-Mu ini, Tuhan? Kenapa punya pacar gini banget?
Sudah empat hari berlalu sejak aku mogok megang-megang dia. Tapi, sedikit pun dia nggak bereaksi apa-apa soal itu. Dia kayak biasa saja gitu. Nggak merasa kehilangan saat aku sudah belingsatan karena gatal pengin menjamah dia. Dia serius frigid ya? Astaga. Ini tidak bisa dibiarkan.
Tapi, aku harus gimana? Mesum-mesum begini, tetap saja aku cewek, kan? Ya, kali aku yang hajar duluan. Harga diri mau taruh di mana?
Emang masih punya, Ris?
Ada. Dikit.
Aku menghentikan kegiatanku yang sedang memotong-motong daun bawang untuk dimasukkan ke dalam sop daging yang sedang kumasak, ketika terdengar suara pintu depan terbuka. Kalau biasanya mendengar itu aku langsung sprint ke depan, sudah empat hari ini aku nggak melakukannya. Sudah kubilang, kan, aku sedang mogok.
Tidak lama, suara langkah Devan yang mendekat terdengar. Aku melirik sedikit, melihat dia yang sedang melepaskan dasi sambil menatapku. Jas kerjanya tersampir di lengan kanannya, bersama dengan tas kerjanya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Aku menjawab tanpa menatapnya. Ini termasuk di dalam aksi mogokku. Bersikap nggak peduli dan dingin terhadapnya. "Mandi saja dulu. Makanan sebentar lagi jadi."
Devan hanya berdeham sebelum masuk ke kamarnya. Sekitar setengah jam kemudian, Devan keluar dari kamar. Sudah terlihat segar dan juga sedaaappp. Kaus putih yang begitu pas di tubuh tegapnya dan celana bahan selututnya membuatku harus bersusah payah menahan liur.
Dia ganteng banget, Mamii. Tapi, nggak bisa aku gerepe. Hiks.
Devan mengambil duduk di kursi makan, menghadapku yang sedang menyendok nasi dari penanak nasi. Lalu, kuletakkan mangkuk nasi di meja, sebelum beranjak pergi.
"Kamu tidak makan?" Suara Devan terdengar saat aku memasuki ruang cuci.
"Nanti aja. Aku mau nyetrika dulu."
Aku sebenarnya lapar, tapi karena masih malas bicara dengan Devan, akhirnya aku memilih melakukan pekerjaan lainnya. Setelah dia selesai makan, baru aku makan nanti.
Aku bersenandung pelan sembari menyetrika baju kerja Devan. Perlu waktu beberapa menit untuk memastikan kemeja kerjanya licin dan rapi. Dari semua jenis pakaian, menyetrika kemejalah yang paling menyebalkan bagiku.
Aku meraih gantungan baju setelah memastikan kemeja Devan sudah sempurna. Tiba-tiba saja, kurasakan sentuhan di bahuku. Aku terpekik kencang dan tanganku otomatis bergerak memukul siapa pun itu yang berada di belakangku menggunakan gantungan baju yang kupegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] My Lady [SUDAH DITERBITKAN]
Romance[CERITA SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK BUKU SEHINGGA SEBAGIAN BESAR BAB SUDAH DIHAPUS] Altair Julio Devan, lelaki yang nyaris sempurna, di usianya yang sudah menginjak 25 tahun belum pernah sekalipun merasakan cinta. Selama ini dia selalu berprinsip ti...