8. Between The Two

382K 9.9K 1K
                                    

Devan POV

"Hari Sabtu besok ada acara keluarga di rumah Om-ku. Kamu ikut" kataku pada Aeris di pagi hari saat kami sedang sarapan bersama.

Wajah melongo Aeris kembali tercipta dihadapanku. "Acara keluarga?" Aeris terlihat berpikir sejenak dan kemudian menjentikkan jarinya tampak mengerti sesuatu. "Aah, kamu butuh orang buat bantu-bantu di dapur ya!"

Aku mendengus geli. "Keluarga Om-ku punya banyak asisten rumah tangga. Mereka tidak akan kekurangan tenaga"

"Terus aku ngapain?"

"Ya kamu datang bersamaku sebagai teman."

"Buat apa? Aku di sini ajalah. Itu kan acara keluarga" Aeris terlihat tidak nyaman dengan ideku ini. Tapi mau bagaimana lagi, Mama sangat memaksa agar aku membawa Aeris. Katanya mau mengenal wanita yang saat ini tinggal denganku.

"Ikut saja. Keluargaku tidak akan menggigitmu"

Aeris mendecakkan lidahnya dan memutar bola matanya. "Membayangkan ada banyak Devan di rumah itu sangatlah menenangkan hati"

Aku melihatnya tajam. "Maksudnya apa?"

"Tidak ada" jawab Aeris cepat

"Keluargaku tidak sepertiku, kalau itu yang kamu maksud. Mereka jauh lebih menyenangkan. Terutama Mama, Rion dan Dee. Aku yakin kalian akan sangat cepat sekali akrab"

"Oh ya?" tanya Aeris dengan mata berbinar. Tapi tidak lama binar itu hilang. "Tapi aku siapa sih, Dev. Cuma pembantu kamu." Katanya sedih.

"Kamu bukan pembantuku. Aku sudah berapa kali bilang kan"

"Ya tapi aku bekerja di rumahmu dengan upah mendapatkan tempat tinggal dan makan. Bukannya itu sama aja dengan pembantu?"

"Kamu memang membantuku di sini tapi kamu bukan pembantu. Apa pernah aku memperlakukanmu seperti itu?"

"Ya, ga sih! Kecuali kalau kamu lagi keluar setannya dan meneriakiku seperti orang sakit jiwa" Aeris terkekeh namun berhenti saat melihat tatapan tajamku. "Ya tetap aja ga enak!" sambung dia lagi.

"Apanya yang membuat kamu merasa tidak enak?"

Aeris meletakkan sendoknya di piring dan menyandarkan punggungnya ke bangku. "Kamu dan keluarga kamu itu berbeda jauuuuuuuhhhhhh sama aku. Aku ini Cuma orang miskin, yang numpang tinggal, ga punya pekerjaan, udah begitu cantik juga nggak. Memangnya keluarga kamu ga mikir gituh 'ih, si Devan ngapain bawa perempuan begini di acara keluarga?'. Aku ga mau bikin kamu ngerasa ga nyaman"

"Kamu pikir keluargaku sepicik itu? Orang tuaku tidak pernah membeda-bedakan derajat orang. Bagi mereka tidak penting harta, kekuasaan, penampilan, dan lainnya kalau hatinya buruk. Sebaik-baiknya seseorang terlihat dari luar kalau di dalamnya jelek tidak akan ada nilainya"

"Tapi bukan berarti mereka tidak memikirkan seperti apa orang yang pantas menjadi teman anak mereka. Sebaik-baiknya mereka, pasti pengen kamu bergaul dengan orang sekelas kamu. At least kalau tidak kaya dan cantik, orang itu harus lah smart! Cerdas! Biar kamu ga jadi bego"

Aku menghela napas kesal. "Memangnya kamu pikir diri kamu itu bodoh?"

"Well, dibandingkan kamu yang S2 di Inggris, tentu saja aku jauh lebih bodoh darimu!"

"Tapi aku tidak pernah merasa kamu itu bodoh. Terkadang ucapanmu jauh terdengar lebih cerdas dari orang-orang yang mengaku berpendidikan tinggi tapi nyatanya tidak memiliki otak"

"Kebetulan aja"

"Tidak ada yang namanya kebetulan. Kamu cerdas dan memiliki pengetahuan luas seperti orang dengan pendidikan tinggi, walaupun dari luar kamu terlihat urakan belum lagi sangat tidak anggun dan tidak beradab. Tapi aku tahu kamu smart"

[4] My Lady [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang