Devan POV
Aku menghembuskan napas panjang sambil memijat pelipisku. Menenangkan diriku agar tidak meledak akibat amarah yang susah payah kupendam.
Sabar. Ya. Aku harus sabar.
"Huaaaaaa, Mia jahaaaatt!!!" teriakan itu membuatku menghampiri anak keduaku yang menangis sambil menendang-nendangkan kaki di lantai karena mainannya yang direbut kakaknya. Untuk kesekian kalinya, anak lelakiku menangis karena keusilan kakaknya. "Ayaaaahhhh!!!"
"Mia, kembalikan mainan Dyo!" ucapku tegas pada Mia yang sedang memainkan mobil-mobilan adiknya dengan santai. Tidak memperdulikan tangisan adiknya yang meminta mainannya. "Mia, kamu dengar ucapan Ayah?"
Mia mengerucutkan bibirnya dan kemudian mengulurkan mainan di tangannya, tanpa mau menatap adiknya yang masih sesenggukkan.
"Kamu tadi merebut mainan Dyo, kamu harusnya bilang apa, Sayang?" tanyaku saat Dyo sudah berhenti menangis dan mengambil mainan di tangan kakaknya.
"Maaf." Jawabnya sambil mengerucutkan bibir. Terlihat sedih entah karena aku tegur atau menyesal membuat adiknya nangis. "Maaf, Dyo!"
Dyo tidak menjawab karena sudah sibuk dengan mainannya. Aku pun menepuk pelan punggungnya yang membuat dia berhenti bermain. Menatapku dengan mata bulatnya, mata yang sama persis dengan milik Bundanya.
"Kak Mia minta maaf sama kamu."
"Iya, Kak."
Mia kemudian bergerak memeluk Dyo dan adiknya pun balas memeluknya. Aku tersenyum dan menghela napas panjang. Untuk hari ini, aku rasa mereka tidak akan bertengkar lagi.
Tapi dimana Rea?
"Dimana Rea, Mia?" tanyaku bingung.
"Nggak tau, Yah."
Padahal tadi dia masih di sini bermain dengan kakak-kakaknya. Kemana dia menghilang?
Dia benar-benar seperti Bunda-nya, suka sekali melarikan diri.
"Rea?" panggilku mencari kesepenjuru rumah.
Ruang tamu, dapur, halaman, teras, bahkan di kamar mandi pun tidak kutemukan dia. Aku pun mulai panik. Jangan-jangan Rea keluar rumah tanpa kusadari saat aku sedang menyiapkan makan malam tadi.
Rea?"
Saat melewati kamarku, terdengar celoteh di dalamnya. Aku pun membuka pintu kamar perlahan dan melihat Rea yang sedang bermain di atas tempat tidur besar milikku. Bermain dengan boneka sapinya sambil bercerita panjang lebar.
"Bunda dimana sih?" ucapnya terdengar sedih. "Rea kangen." Lanjutnya kemudian memeluk boneka sapinya dengan erat.
Aku menghembuskan napas berat, tidak tega melihat Rea yang merindukan Bundanya. Meskipun aku sudah menjelaskan berulang kali pada ketiga anakku kenapa Bundanya tidak ada, tapi mereka tidak juga mengerti.
Entah apa lagi yang harus aku katakan pada mereka.
"Huwaaaaa, Ayaaaahhhhh." jeritan Dyo terdengar untuk kesekian kalinya.
Aku menghembuskan napas lelah dan menutup pintu kamar. Berjalan menghampiri kedua anakku yang selalu bertengkar setiap menitnya.
Memiliki anak memang membahagiakan, namun menjadi Ayah tidak lah semudah yang terlihat dan aku bisa merasakannya sekarang. Bagaimana besarnya jasa kedua orang tuaku, membesarkanku dan adik-adikku.
Karena aku rasa, aku tidak bisa sesabar mereka menghadapi anak-anakku sendiri.
***
Aku menatap ketiga anakku, yang sedang makan dengan tenang dihadapanku, sambil tersenyum lebar. Meskipun mereka baru berumur lima tahun, tapi ketiganya sudah bisa makan sendiri dengan rapih. Ketiganya pun menyantap makanan yang kumasak dengan begitu lahap. Terutama Dyo, satu-satunya anak lelakiku, yang selalu makan begitu banyak seperti Bundanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] My Lady [SUDAH DITERBITKAN]
Romansa[CERITA SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK BUKU SEHINGGA SEBAGIAN BESAR BAB SUDAH DIHAPUS] Altair Julio Devan, lelaki yang nyaris sempurna, di usianya yang sudah menginjak 25 tahun belum pernah sekalipun merasakan cinta. Selama ini dia selalu berprinsip ti...