PROLOG

251 11 0
                                    

"Ibu, aku pergi ke sekolah!" ucap Anak Bayan di depan pintu kamar Ibu. Ia menengok sebentar. Ibu tidur lagi. Apa ibu sakit lagi? tanya Anak Bayan dalam hati. 

"Kenapa Anak Bayan? Mana Ibu?" tanya Anak Pesisir. Tak lama kemudian ia melihat Ibu yang sedang tertidur menghadap ke sebelah kanan. "Sudahlah ayo kita pergi saja. Ibu sepertinya lelah sekali. Tidak biasanya seperti ini."

Anak Pesisir segera menutup pintu kamar Ibu kembali. Ia takut Ibu terganggu. Ketika ia telah melangkah meninggalkan kamar, Anak Bayan membuka pintu lagi dan langsung menghambur ke kasur Ibu. 

"Anak Bayan, apa yang kau lakukan?" tanya Anak Pesisir. Ia pun kembali lagi menghampiri. 

"Ibu," panggil Anak Bayan.

"Bu," panggilnya lagi. Kini ia mulai menyenggol tangan Ibu. Anak Bayan mulai panik. Ia menggoncangkan tubuh Ibu hingga posisi Ibu kini terlentang. 

"IBU!" Anak Pesisir segera menaruh jari telunjuknya di bawah hidung ibu. Ia ingin merasakan udara yang keluar. Tapi, ia tidak merasakan udara berhembus. Kemudian ia segera mengecek ke leher, dan terakhir pergelangan tangan Ibu untuk mengetahui denyut jantungnya. Sayang, semua terasa nihil. Anak Pesisir khawatir. Ia pun mendatangi rumah tetangga sekitar meminta bantuan mereka. Tapi, semua menolak. Akhirnya ia kembali dengan lesu. Anak Pesisir segera luruh di samping ranjang Ibu. 

Anak Bayan separuh mengerti. Akhirnya mereka menangis bersama. Anak Pesisir akhirnya memutuskan untuk melapor pada Kepala Desa. Ia tidak tahu harus meminta tolong pada siapa saat situasi seperti itu, ketika semua tetangga mengucilkan mereka. Jika ia melapor pada kepala desa, setidaknya ia masih harus bertanggung jawab terhadap salah satu warganya. 

Apa Ibu terkena serangan jantung? pikir Anak Pesisir. Ia berlari menuju rumah Kepala Desa. Tetes keringat yang meluncur dari dahinya tak ia hiraukan. Pikirannya berkecamuk. Beberapa hari terakhir ini Ibu memang tidak sempat membuatkan sarapan. Ia dan Anak Bayan  mengira Ibu hanya lelah, sehingga butuh istirahat lebih banyak. 

Kampung nelayan pun gempar setelah pengumuman diudarakan lewat speaker mushola. Warga desa segera berbondong-bondong datang ke rumah Anak Pesisir. Kasak kusuk sempat terjadi pada batin mereka. Layakkah seorang istri perompak mendapat perlakuan baik dari mereka?

Satu dua tetangga mulai menyambangi rumah Anak Pesisir dan diikuti tetangga lainnya hingga hampir seluruh warga Kampung Nelayan melayat dan membantu pemakaman Ibu. Pada akhirnya, hati-hati kecil mereka mengatakan bahwa Ibu layak mereka perlakukan secara adil. 

"...Dan Allah yang mmpersatukan hati para hamba beriman. Jikapun kau nafkahkan perbendaharaan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan mereka..." Al-Anfal:63.

 Anak pesisir meminta kepada warga untuk memaafkan kesalahan-kesalahan ibunya. Apabila ada hutang-hutang yang mungkin belum dibayar harap segera dilaporkan kepadanya. 

"Kami juga meminta maaf atas kabar-kabar yang telah tersiar di kampung ini mengenai bapak kami yang dituduh sebagai perompak. Tuduhan itu belum terbuti benar. Jadi, saya mohon untuk bersikap bijak terhadap masalah ini," kata Anak Pesisir di sela-sela pemakaman Ibu.

Ibu pun dikuburkan. Teman-teman sekolah Anak Pesisir dan Anak Bayan hadir menjenguk. Mereka bersalaman sejenak. Namun suasana masih terasa kaku bagi mereka. Terutama Aga. Sikapnya masih dingin. 

Anak Pesisir duduk termangu di atas pasir. Menatap gulungan ombak mengabrasi pantai. Sinar jingga bertebar membentuk horizon di langit senja. Melihat matahari yang hampir kehilangan cahayanya, sungguh hatinya gundah. Apa kabar Bapak? Mengapa belum ada kabar sampai saat ini? Sudah sejak sebulan yang lalu. Kini pun dia dan adiknya, Anak Bayan hanya sendiri tanpa kedua orang tua setelah Ibu tiada dan Bapak berlayar. Apa yang harus dilakukannya? Terseok-seok mencari kabar. Harus kemana?

Tidak jauh dari tempat itu Anak Bayan mengendap-endap memandang punggung kakaknya. Ia tahu, sangat tahu perasaannya. Ia pun duduk, mengorek-ngorek pasir. Menunduk. Mereka sama-sama tidak tahu apa yang akan dilakukan. Hati mereka sesak. Sampai kapan? 

Anak Pesisir tertunduk. Dadanya bergetar. Ada sesuatu melesak-lesak matanya. Akhirnya ia luruh. Punggungnya bergetar. Anak Bayan segera sadar. Ia cepat menghampiri kakaknya.

Baru saja berakhir, kenapa musibah datang lagi? Apalagi hal ini berhubungan
dengan Bapak. Apa benar Bapak seorang perompak menurut kabar-kabar yang
beredar? TIDAK MUNGKIN!! Batinnya teriak. Langkah Anak Bayan patah-patah mendekati kakaknya. 

Kemudian Anak Pesisir tersadar ada seseorang sedang berdiri di dekatnya. Ia mendongak. Sinar matahari menerpa wajahnya. Memantulkan bayangan di atas pasir. Mereka pun duduk berdua. Saling berbagi. Karena hanya dengan bersatu mereka menjadi kuat.

 



Anak Pesisir, Pelaut, dan PerompakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang