1. CITA-CITA

187 5 0
                                    

Siang ini cuaca pantai sedang bersahabat. Matahari bersinar terik di ujung langit. Sang bayu, anggota paling menyenangkan di sana, meliuk ke sana ke mari. Cukup kencang, membuat pengunjung tetap merasa sejuk. Dahan-dahan kelapa bergoyang limbung. Rambut-rambut, pakaian-pakaian pun berkibar. Sungguh menyenangkan mendengar debur ombak. Terasa damai dan tenteram. 

Di sana berdirilah seorang remaja tanggung bersama ayahnya di antara perahu-perahu yang berlabuh. Mereka bahu-membahu membetulkan jaring yang rusak pada bagan tancap mereka. Sore ini mereka sekeluarga akan kembali ke bagan. 

"Nak, kau mau jadi apa besar nanti?" tanya Sang Bapak sembari mengaitkan simpul satu dengan yang lainnya pada jaring. "Eh..." Anak Pesisir sontak menjadi bingung. Matanya melirik ke atas, mencari suatu pekerjaan menarik dalam otaknya. "Emm....PELAUT YANG HEBAT SEPERTI BAPAK!!" teriaknya lantang mengejutkan. Suasana pun lengang sejenak.

"Kau yakin ingin seperti Bapak?" Mata bijaksana bapak menatap lamat-lamat anaknya. "Bapak kau ini kan tidak kaya. Miskin. Rumah kita? sederhana sekali," tanya Bapak kembali. 

"Saya mau jadi pelaut seperti nenek moyang kita dulu. Seperti pelaut-pelaut yang suka bapak ceritakan itu. Mereka meninggalkan banyak jejak kebudayaan di seluruh Afrika, memperkenalkan jenis-jenis tanaman baru, teknologi, seni musik, yang pengaruhnya pun masih bisa ditemukan dalam kebudayaan Afrika sekarang. Begitu kan yang Bapak bilang?" 

Bapak mengangguk takzim. "Ya Nak, sayangnya seringkali nasib tidak berpihak pada kita. Berjuanglah terus. Bapak doakan semoga kau lebih sukses dari Bapak." 

Anak Pesisir hanya mengangguk, berusaha mencerna nasihat bapaknya. Mereka kembali menekuri jaring masing-masing. Jaring ini terbuat dari serat buatan. Kalau dulu masih dibuat dari serat tumbuhan seperti sabut kelapa, kini tidak lagi. Jaring dengan serat alami mudah membusuk karena banyak menyerap air. Seratnya pun putus-putus, sehingga tidak awet dalam waktu lama. Serat sintetis lebih awet karena tidak mudah membusuk, sedikit menyerap air, serta tidak terputus, dan lebih kuat terhadap tarikan. Dalam beberapa hal unggul, namun serat sintetis akan meleleh pada temperatur tertentu, dan sinar matahari dapat mempengaruhi serat sintetis ini. 

Anak pesisir mengambil benang. Benang tersebut mempunyai sistem penomoran tertentu. Nilon 210 D/18. Nilon dengan bahan baku serat 210 gram dengan panjang 9000 m. Angka 18 menunjukkan berapa pintalan serat yang dibutuhkan untuk membuat tali. 18 berarti bisa 3 serat kali 6 atau 2 serat kali 9. Jadi ada 18 pintalan untuk membuat satu tali dalam jaring. 

"ANAK PESISIR... ANAK PESISIR..." lamat-lamat suara Ibu memanggil.

"Cepat hampiri ibumu," sahut Bapak.

"Ada apa Bu?" tanya Anak Pesisir. Napasnya memburu. Ia cukup lelah setelah berlari sekitar 100 meter. Keringat sebutir jagung meluncur dari dahinya.

"Bantu Ibu mengambil garam yang sudah jadi."

"Anak Bayan mana?" Anak Pesisir bertanya karena Ia merasa itu bukan tugasnya. 

"Entahlah adikmu itu, akhir-akhir ini susah diatur. Mungkin sedang bermain dengan temannya. Besok-besok dia yang harus membantu." ujar Ibu.

Tanpa bertanya lebih lanjut, ia segera mengambil karung yang tergeletak di pasir pantai. Tangannya dengan cekatan memasukkan garam-garamnya dari tambak. Ia sudah terbiasa melakukannya.

Rata-rata penduduk di sini mencari nafkah dengan menjadi nelayan dan memproduksi garam tradisional. Ikan-ikan yang mereka dapat sebagian dijemur untuk dijadikan ikan asin, sementara sebagian yang lain dijual segar. Cara memproduksi garam di desa ini masih tradisional, yaitu menggunakan tambak-tambak dan penjemuran air laut yang bergantung pada sinar matahari. Para ilmuwan biasa menyebutnya dengan metode solar evaporation.

Tambak-tambak ini ada ketika laut pasang, Maka setelah surut tersisa garam-garamnya. Garam-garam ini nantinya dijual ke Koperasi Unit Desa (KUD). Selanjutnya garam-garam ini dibungkus dan diberi label sehingga layak dipasarkan. Harganya murah memang, hanya 300-500 rupiah per bungkus.

Anak Pesisir patut bersyukur karena kedua orangtuanya mempunyai cukup uang untuk menyekolahkannya di sekolah nelayan. Terlebih sekarang gratis karena ada dana BOS, walaupun dalam pelaksanaannya terkadang ada beberapa buku penunjang pelajaran yang perlu dibeli. Sementara baju atau sepatu? Jangan tanya. Mereka biasa pergi ke sekolah tanpa alas kaki atau hanya sepasang sandal. Baju seragam pun kebanyakan mereka dapatkan dari kakak-kakak yang KKN (Kuliah Kerja Nyata) tahun lalu.

Dua jam Anak Pesisir dan Ibu bekerja tanpa bicara. Kemudian suara ibunya terdengar, "Sudah Nak?"

"Sudah Bu," jawabnya sambil mengikat sebuah karung besar yang penuh dengan garam.

"Anak Pesisir...Anak Pesisir...!" teriak teman-temannya. Salah satu dari mereka membawa bola. Mereka datang beramai-ramai, siap membentuk dua pasukan kesebelasan.

Kepala anak pesisir langsung tertoleh ke arah ibunya. Wajahnya menyiratkan sesuatu. Dari matanya jelas terlihat ia sangat ingin bermain bersama teman-temannya. "Boleh ya Bu?" 

Ibunya hanya melirik sekilas ke arah rombongan itu dan mengangguk. "Sebelum matahari terbenam kau sudah berada di rumah," tambah beliau.

"Ya Bu." Kemudian ia berteriak senang. Berlari menyusul teman-temannya. Mereka semua segera menuju lapangan nelayan yang tentu tanahnya masih berupa pasir pantai.

Lapangan itu dikelilingi oleh pohon kelapa yang berjejer di setiap sudut. Formasi itu membentuk persegi panjang berukuran 12x8,5 meter. Cukup luas walau tidak memenuhi kriteria lapangan bola. Gawangnya terbuat dari bambu. Baru dibuat oleh Mang Bejo kemarin. Makanya anak-anak terlihat semangat sekali menggunakan lapangan baru itu. Biasanya hanya menggunakan sandal atau batu sebagai batas.

"Tahu tidak apa yang bapakku tanya hari ini?" tanya Anak Pesisir kepada Dira, sahabatnya.

"Apa? Sesuatu yang membuat penasaran, hingga jantung dan pikiranmu terus berdetak memikirkannya?" tebak Dira.

"Mmmm... sedikit tepat" jawabnya sambil menunjukkan wajah sok rahasianya.

"Lalu?"

Senyumnya terkembang dan dengan mantap ia menjawab, "Sebuah cita-cita. Dan aku memilih menjadi pelaut hebat seperti bapakku!!" Matanya berbinar, hatinya tidak tergoyahkan.

"Bagus Anak Pesisir! Bapakmu memang hebat. Kalau kamu jadi pelaut, aku jadi apa ya? Mmm... bagaimana kalau pemain bola handal?"

"kalau begitu kita mulai pertandingan bola ini. Tunjukkan padaku kehebatanmu," tantang Anak Pesisir.

Bola pun melambung. Para pemain telah siap di posisi masing-masing. Mereka berdiri dengan sikap waspada. Mata mereka terpaku pada bola itu hingga ia terjatuh berdentum ke tanah. Mereka berlari menjemput bola dan saling berebut. Mereka terus bermain hingga matahari hampir terbenam. Salah satu dari mereka pun tersadar dan segera teringat sebuah pesan dari ibunya.

"Hei Anak Pesisir! Jangan kabur! Permainan belum selesai!!" teriak teman-temannya. Tapi Anak Pesisir terus berlari seakan tidak mendengar. Matahari sedang menunjukkan atraksi manisnya: detik-detik terbenamnya ia menuju malam. Ia terengah-engah. Sayang, ketika sampai di depan pintu rumah, hari sudah benar-benar gelap. Untunglah ketika itu Ibu tidak marah dan hanya menasihati untuk tidak diulangi.

 Untunglah ketika itu Ibu tidak marah dan hanya menasihati untuk tidak diulangi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Anak Pesisir, Pelaut, dan PerompakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang