part 1

252 33 23
                                    

Cahaya mulai masuk melalui celah dinding kamarku. Aku bangun dengan harapan yang baru. Berharap mimpi itu akan segera datang. Semua terasa semakin dekat.
Akankah menjadi nyata?
Atau hanya bunga tidur semata?
Entah...
tak kan ada yang bisa menjawabnya.

___

Aku berjalan menuruni satu per satu anak tangga, bersiap untuk melakukan kegiatan pagiku. Seperti biasa, tidak ada sambutan hangat yang kudapat. Hanya senyuman dari Bi Asih yang sedang menyiapkan sarapan.

"Sarapannya non,"

"Iya Bi, makasih. Mama belum pulang? Kok dari tadi aku nggak lihat? "

"Bibi ndak tau non, tapi sepertinya masih ada urusan lain."

"Yaudah, aku langsung berangkat aja."

Jalanan masih sepi, kukira sekolah juga akan sama sepinya seperti jalan ini.

Tak terasa aku juga lebih nyaman dengan suasana seperti ini. Karena sekarang, sepi telah menjadi temanku.

Disekolah pun aku hanya fokus pada pelajaran, aku tidak pernah ikut kegiatan lain. Oleh karena itu aku selalu pulang tepat waktu.

Untuk bersenang-senang seperti anak lain,

Hhh...

Sungguh aku tak selera, lagipula manabisa hal semacam itu kulakukan seorang diri.

Teman?

Bukannya aku tak punya teman, hanya saja aku sangat jarang bersosialisasi dengan mereka.

Mungkin hanya saat ada tugas bersama, itupun cukup aku berkata ya dan tidak.

Terserah orang menyebutku apa. Setidaknya aku telah berusaha mengeluarkan suara.

__________


Aku membuka pintu utama. Seperti biasanya, sepi bak rumah tak berpenghuni.

Langsung saja aku menuju kamarku, setelah meletakkan ransel aku merebahkan tubuh di ranjang favoritku.

Tapi tak berapa lama perutku sudah meminta makanannya.

Saat di dapur aku tak melihat makanan, hanya ada sayur yang belum dimasak.

Tak biasanya Bi Asih begini, apa Bi Asih sakit?

Aku coba melihat ke kamarnya, tak ada siapapun disana.

Aku mencarinya ke seluruh ruangan namun tetap tak kutemukan sosok ibu yang sabar itu.

Aku menelpon ke nomornya juga tak satupun panggilanku yang terjawab.

Aku merasa takut, entah takut atau apa, atau mungkin hanya khawatir. Kuharap Bi Asih segera datang.

Suara bel berbunyi, aku lega. Mungkin itu Bi Asih.

Aku membuka pintu, kulihat baik - baik sosok didepanku.

Pria yang menundukkan kepala sambil membawa tas besar. Dia terlihat jauh lebih tua dariku, tapi terlalu muda jika dibanding Bi Asih.

"Non, ini anak saya Arman. Dia datang untuk memberitahu bahwa adik saya sakit keras. Jadi saya harus pulang .." kata Bi Asih yang berada disebelah Pak Arman, tapi kalimat Bi Asih itu terhenti melihat ekspresi wajahku. Mungkin Bi Asih tahu betapa bingungnya aku.

Aku bingung bukan karena tidak mengerti maksud ucapan Bi Asih, melainkan bingung berpikir apa yang akan terjadi nanti.

Aku sangat butuh Bi Asih, aku mungkin tak bisa apa-apa tanpa Bi Asih. Sejak di rumah ini Bi Asihlah yang merawatku.

Tapi aku juga tak bisa melarang Bi Asih pergi. Aku ingat, adik Bi Asih itu sudah tidak punya siapa - siapa, hanya Bi Asih yang bisa merawatnya.

"Cepet balik kan Bi?" tanyaku sambil berharap.

" Bi Asih mungkin ndak bisa buat nemenin Non lagi .."

Deg,

Rasanya jantungku berhenti.

Ketakutanku benar - benar muncul, ketakutan yang tadinya hanya lewat karena memikirkan tak ada Bi Asih lagi, namun sekarang ketakutan itu benar - benar terjadi.

" Tapi Bi Asih udah bicara sama Nyonya, katanya nanti malam Nyonya bakal pulang."

Bi Asih mungkin ingin menghiburku, tapi aku tau Mama tak seperti itu.

" Iya, makasih Bi."

"Yaudah Non, karena udah pamit sama Non Bibi pergi lagi. Jaga kesehatan ya Non," ucap Bi Asih sambil tersenyum menyemangatiku.

"Mari Non.. " Pak Arman tersenyum lalu merangkul ibunya untuk keluar dari halaman rumah ini.

Tatapanku masih tertuju pada gerbang itu, gerbang yang baru saja ditutup oleh Pak Arman. Dan tak terasa air mataku menetes.

Entah mengapa rasanya hati ini bertambah sesak.

Benar - benar sesak.

Walau mungkin kehadiran Bi Asih juga tidak berpengaruh banyak untuk menyembuhkan sepiku, tapi aku seakan tidak rela Bi Asih pergi meninggalkan rumah ini.

___

Hari berubah gelap, aku masih terdiam di sofa ruang tamu. Rasanya aku enggan melakukan apapun.

Pandanganku tetap tertuju pada pintu di depanku, berharap apa yang dikatakan Bi Asih tadi benar terjadi. Aku menunggu Mama, yang aku tahu itu sangat percuma.

Aku memindah posisiku yang semula duduk menjadi berbaring, entah mengapa aku merasa sangat lelah hari ini. Mataku terasa berat sekali.

Aku berpikir, apa aku selamanya akan begini?

Apa aku memang harus sendiri?

Apa Mama juga tak bisa seperti dulu lagi? Menjadi sosok yang menghangatkan, yang menenangkanku kala lara, yang menemaniku tanpa jeda..


To be continue...

Next part vote and comment ...

UNREAL LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang