Part 4

152 27 16
                                    

Aku melihat lelaki yang berjongkok didepanku. Dia? Dan tumpukan kardus tadi? Bola mataku menyusuri seluruh tempat ini. Sebuah gang. Ya, tanpa sadar aku melewati gang yang sama dengan waktu itu.

Setelah selesai mengikatkan tali sepatuku, dia mendongak ke arahku.

"Udah. Nih," ucapnya sambil memberikan plester ke tanganku. Lalu dia berdiri dan beranjak pergi dari hadapanku.

Aku masih bingung dengan semua ini. Malam disaat aku melihat lelaki ini terluka, kuanggap hanya bagian dari mimpiku yang aneh. Jadi aku sudah tak terlalu memikirkannya.

Tapi apa ini? Apa berarti lelaki yang terluka itu memang nyata? Apa lelaki di mimpiku benar ada? Seperti itukah? Jika memang benar jadi nyata lalu aku harus bagaimana?

"kalo dengan bengong lo gak jadi telat, gue temenin deh, lo bengong disini." kata-kata itu menyadarkanku.

Tanpa aba-aba aku langsung lari meninggalkan gang ini, mengabaikan lelaki yang sudah menolongku.
Dipikiranku hanya satu, jangan sampai aku terlambat.

_____


Sepulang sekolah, aku ingin melewati gang tadi. Sungguh, sejak jam pertama aku tak bisa fokus pada pelajaranku. Aku masih memikirkan kejadian pagi ini.

Sekarang aku yakin ini bukan lagi mimpi. Namun aku masih ingin memastikan dia benar ada. Karena kali ini yang aku takutkan dia hanya imajinasiku. Imajinasi yang ku buat dari mimpi yang sering kualami. Imajinasiku untuk menghilangkan rasa sepi.

Tapi jika dia benar nyata, mungkin memang dia ditakdirkan untukku. Mungkin awalnya Tuhan menunjukkanku lewat mimpi. Dan sekarang Tuhan benar-benar mempertemukan kami. Ya, aku harap memang begitu.

Aku berjalan keluar dari gerbang sekolah. Sesekali aku melihat lututku. Tertempel sebuah plester yang membuatku menarik sudut-sudut bibirku. Menunjukkan senyum yang biasanya susah untuk kuperlihatkan.

Tak biasanya aku seperti ini. Perasaan apakah ini? Apa boleh aku begini? Apa tak masalah aku bahagia saat semuanya belum benar - benar pasti.

Belum terlalu jauh dari gerbang sekolah, aku dihentikan oleh suara klakson dari mobil yang berhenti disampingku.

" Elisa, ayo cepet! " kata orang didalam mobil itu.

Akupun segera masuk ke dalam mobil. "Mama jemput aku?" tanyaku pada orang yang sedang fokus mengendarai mobil yang kita tumpangi.

Ya, Mama yang selalu sibuk dengan urusannya tiba-tiba datang menjemputku. Sebenarnya hari apa ini? Apakah hari ini Tuhan memberiku semua kabahagiaan? Oh, jika benar terimakasih Tuhan dan semoga setiap hariku seperti ini.

" Elisa, Mama mau ngomong sama kamu." aku yang semula hanya melamun langsung menatap wajah Mama. Sepertinya Mama ingin berbicara sesuatu yang penting padaku.

"Perusahaan Papamu saat ini sedang ada masalah. Jadi Mama harus segera ambil tindakan supaya perusahaan tetap stabil." kata Mama yang masih terus menghadap kedepan.

"Mama tau kamu nggak ngerti semua ini, tapi Elisa.." tiba-tiba Mama memberhentikan mobil di tepi jalan. Mama memegang tanganku dan menatapku, tatapan yang kurindukan.

Aku tak mengerti apa yang akan Mama katakan. Tapi kuharap semuanya baik-baik saja.

"Sayang, besok Mama akan berangkat ke Amerika, Mama ingin menemui kolega Papa yang ada disana. Karena hanya dia yang bisa.."

Sebelum Mama melanjutkan, aku langsung menyambar perkataannya "Haruskah sejauh itu?". Rasanya aku sangat kesal. Baru saja aku melihatnya setelah beberapa hari yang lalu. Tapi sekarang Mama akan pergi lagi, itupun lebih jauh.

"Iya Mama tau, Mama juga nggak bisa cepet pulang. Mungkin butuh waktu berbulan-bulan untuk mengurus semuanya." kata Mama

"Jadi Mama harap, kamu bisa jaga diri baik-baik disini." mendengar ucapan Mama membuat mataku terasa panas. Aku menatap Mama dengan pandangan tak percaya. Begitu teganya Mama meninggalkanku seorang diri.

Tak terasa butiran air keluar dari mataku. "Apa kali ini aku nggak bisa ikut Mama?"

Aku tau Mama takkan setuju, tapi belum sempat Mama mengeluarkan suara, aku langsung melanjutkan ucapanku.

"Baiklah nanti akan kusiapkan barang-barangku. Nanti aku akan menelpon sekolahku. Aku akan meminta izin. Pasti sekolah juga akan mengizinkan." kataku sambil menghapus air mata dipipiku.

"Ayo Ma, pulang aja. Kita lanjutin ngobrol dirumah. Aku juga mau kemasin .."

"Elisa cukup! Kamu bukan anak kecil lagi! Harus gimana lagi Mama jelasinnya? Ini semua juga buat kamu.
Jadi mau nggak mau kamu harus terima ini!" teriak Mama padaku.

Aku hanya tersenyum kecut. "Aku kurang terima apa lagi sih Ma? Saat Papa pergi untuk selamanya, saat Mama memutuskan bekerja dan mengurangi waktu Mama untukku, saat ternyata aku harus sendirian dirumahku, dan saat aku tak mendapat secuilpun perhatian dan kasih sayang. Aku sudah terima semuanya.." Air mataku mulai tumpah.

"Aku bagaikan hidup sendiri di dunia ini. Saat aku rindu Papa, aku ingin mengobatinya dengan pelukan Mama. Tapi apa? Mama tak pernah peduli. Dan sekarang Mama ingin meninggalkanku lebih jauh lagi. Baiklah terserah Mama. Anggap saja aku tak pernah ada!" aku langsung keluar dari mobil.

Sambil mengusap air mataku yang terus mengalir aku berlari menjauh. Masih bisa kudengar teriakan Mama yang memanggil namaku. Tapi aku sudah terlalu benci melihatnya.

Entah aku akan kemana, aku hanya mengikuti kakiku yang terus berlari. Aku benar-benar kesal dengan semua ini.

___

Aku duduk dibangku taman yang beberapa hari lalu aku datangi. Setelah jauh berlari, kakiku memilih berhenti disini. Langit sudah gelap, tapi aku masih nyaman menikmati udara yang meniupku dengan lembut.

Aku masih berusaha menenangkan diri, setelah setengah hari aku dilambungkan dengan harapan-harapanku, dan diwaktu selanjutnya aku dilemparkan jauh dari harapan itu. Aku seperti sudah lelah untuk berharap.

Oh ya, taman ini dekat dengan gang itu. Lelaki di gang? Ah, aku tak berniat lagi kesana, untuk mencoba menemuinya. Paling-paling, dia juga hanyalah hayalanku.

Aku tak sanggup lagi menerima kepahitan. Mengakui bahwa aku hanya pandai berharap. Lebih baik aku tak usah membuktikan apa-apa. Membuktikan bahwa dia benar ada..

Bukankah itu lebih baik?


.
.
.
.

Give me stars . . .

See you next part ... :)

UNREAL LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang