HERE : TUJUH

156 15 36
                                    

Pagi itu pikiran Nada dirundung kabut. Setiap saraf otaknya seperti tak mampu berpikir yang semestinya. Suara pak Guntoro-guru Kimia-terdengar samar di telinga. Nada masih bergelut dengan pemikiran. Semenjak meninggalkan ruangan bu Endang dan kembali ke kelas, Nada seolah tenggelam dalam bawah sadarnya.

Nada berusaha untuk selalu bersyukur. Setiap permasalahan yang ia lalui, ia berusaha untuk menjadi gadis yang kuat. Tapi pagi ini, Nada seperti kehilangan topangan. Masalah selalu datang bertubi. Pertama, ia kehilangan pekerjaan. Dan sekarang, ia dihadapkan pada kenyataan. Nada sudah menunggak uang sekolah dua minggu. Memang ada hal yang terlupa. Hingga saat ia begitu sibuk mencari pekerjaan, hal penting itu tak lagi ia ingat. Biasanya masalah uang sekolah selalu Nada antisipasi. Tapi kali ini, Nada tak memiliki persiapan apapun. Mau diapakan lagi? Nada baru dipeca dan uang yang seharusnya sudah ia kumpulkan untuk biaya sekolah, hanya tinggal rencana. Seperti debu yang diembus angin. Pagi tadi bu Endang menyampaikan hal itu padanya. Nada mengerti, bu Endang juga tak tega. Itu terlihat dari sorot mata beliau saat mengatakan, "Baiklah, ibu akan memberi kesempatan." Angin segar memang seolah menghampiri benak. Tapi hanya sesaat. Khawatir kembali bercokol. Bagaimanapun juga pekerjaan harus ia dapatkan.

Nada menggelengkan kepala, biarlah hal itu ia kesampingkan untuk sesaat. Ia akan menemukan solusi, pasti.

"Jadi untuk praktikum, bapak akan membagi kalian dalam beberapa kelompok." Suara pak Guntoro terdengar. Nada berusaha untuk fokus.

Pak Guntoro menyisiri pelosok kelas. Mata beliau yang terhalang kaca optik itu nampak mencari sesuatu. "Kelas kalian belum ada pembagian kelompok?" tanya beliau saat rasanya sudah cukup memeriksa.

Serempak para siswa mengiyakan. Pak Guntoro mengangguk sebentar. "Yasudah. Kalau begitu, biar bapak yang bagikan."

Nada kembali bepergian dalam kereta lamunan. Suara pak Guntoro tersamar. Kadang Nada selalu berandai, terlupa bagaimana caranya bersyukur. Ia kembali pada sekelumit kisah hidupnya. Kisah itu tak terisi. Kosong melompong. Jika kesendirian mulai merengsek, maka rasa sakit akan kepergian mamahnya semakin menjadi. Tanpa sadar ia kembali merindu.

Mah, Nada harus kuat, kan?

Dulu, mamah selalu mengajarkan Nada bagaimana menjadi kuat. Memberikan segudang contoh padanya, bahwa kunci dari menghadapi dunia Fana ini adalah kekuatan. Dulu, mamah juga sering mengusap air mata Nada. membuai Nada dalam pelukan kata menghibur. Mamah selalu menjadi penopangnya. Menjadi kekuatan Nada saat ia ada pada titik terlemah. Dan saat ini, Nada merapuh. Ia ingin mamah. Nada tenggelam dalam nestapa. Tangannya tanpa sadar mengayunkan pensil di atas kertas buku. Menggores barisan kata tak beratur. Artian yang sama. "lelah."

Gemerisik dari samping membuat rangkaian lamunan dalam kepala Nada terputus. Mata Nada berpindah tatap. "Kenapa Mel?"

Melya menipiskan bibir, Nada tak menangkap. Apa yang ia lewatkan?

"Apes Nad, kita gak sekelompok."

Tercenung. Nada menoleh pada papan tulis. Di sana sudah tertulis rapi nama kelompok yang sudah dibagi. Nada mengehela napas. Akan sangat sulit jika ia terpisah dari Melya. Nada selalu kesulitan dalam menghadapi hal-hal baru. Kalau tugas individu, Nada akan merasa aman. Tapi tugas berkelompok seperti ini? Huru-hara langsung menerjang. Sudah dikatakan sejak awal, Nada cewek pasif. Entah apa yang akan terjadi saat pratikum nanti. Pastinya, Nada akan menjadi kandidat yang terlihat bodoh. Kagoknya Nada, kadang menyusahkan.

"Ya udah lha Mel," sahut Nada tak berminat.

Melya meringis, matanya menyorot Nada. kening Nada menyatu. Air muka Melya nampak tak mengenakan. Mulut Nada membuka. Kemungkinan berlalu-lalang. Tatapan Melya menjelaskan segalanya. "Mel, itu gak mungkin 'kan?"

Tempat Untuk KembaliWhere stories live. Discover now