HERE : DELAPAN

66 8 1
                                    

Ia selalu ingat, bahkan ketika ia tidak menginginkannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ia selalu ingat, bahkan ketika ia tidak menginginkannya. Saat itu hujan memilih untuk turun di langit Bandung. Kilatan petir dan suara Guntur terdengar bergemuruh, seakan mampu menenggelamkan suara-suara lainnya. Hingga pemilik iris cokelat itu memejamkan matanya kuat-kuat. Tubuhnya sudah bergetar, entah karena suara Guntur atau karena dinginnya suhu yang menerjang. Bibir mungilnya mengatup rapat. Kedua tangan itu saling meremas. Kalau bisa ia ingin bangkit dan mencegah semuanya terjadi.

"Kamu sudah keterlaluan, Kiran!"

Samar-samar terdengar suara teriakkan dari arah luar kamar. Air mata sudah menetes tanpa mau dicegah. Isakkan hebat mengambil alih getaran tubuhnya. Tanpa ada secercah kekuatan ia justru semakin beringsut ke dalam selimut.

"Aku tidak peduli lagi! Aku sudah muak denganmu!"

"Setidaknya kamu pikirkan Wildan. Pikirkan Sekar. Wildan masih 10 tahun! Demi tuhan Kiran, pikirkanlah putramu sedikit. Dia masih begitu membutuhkanmu."

"Kau tau?! Kaulah yang membuatku melupakan mereka! Kau yang membuatku mengambil keputusan ini, kaulah yang patut disalahkan!"

"Plakk"

Saat itu Wildan benar-benar berharap ia memiliki kekuatan untuk bangkit dari rasa takutnya. Seharusnya ia keluar dan menahan Mamanya. Tapi sekali lagi, ia bahkan tak mampu meskipun dia ingin.

 Tapi sekali lagi, ia bahkan tak mampu meskipun dia ingin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ruangan bercat putih lembut itu nampak lengang. Sayup-sayup terdengar suara gemercik hujan dari arah luar. Sedari tadi Wildan berusaha untuk tetap tenang. Berusaha menjaga agar tubuhnya tetap duduk di atas kursi kayu yang saat ini terasa begitu mengganggu. Berlainan dengan tubuhnya yang nampak tenang, pikirannya justru sudah meracau panik. Suara helaan napas dari seseorang berhasil membuat kedua mata Wildan yang tertutup terjaga.

Dengan isyarat, seseorang tersebut menyampaikan maksudnya. Wildan tahu wajah itu. Untuk beberapa alasan. Khawatir sudah mendera. Napas Wildan hampir tercekat. Ia berusaha untuk menstabilkan gejolaknya. Ia harus tenang. Ia harus siap dengan segala kemungkinan.

"Tekanan darah rendah," papar dokter Erna. Wanita cantik berumur 30 tahunan itu merupakan dokter pribadi keluarga Natasya. Karena kecelakaan yang terjadi di lab IPA tadi, Wildan buru-buru menghubungi dokter Erna.

Tempat Untuk KembaliWhere stories live. Discover now