HERE : SEPULUH

63 6 4
                                    

Entah itu sengaja atau tidak, bahu Naufal sudah menabrak bahu Difi. Cowok itu tersentak kaget. Dalam hati ia menggerutu. Kelakuan Naufal memang begitu parahnya. Kerjaannya tidak bisa diam, persis seperti anak biawak kehabisan sampo. Jadi, apa hubungannya dengan sampo? Lupakan, Difi juga tidak tahu.

"Hup!"

Sekali lagi Difi mendelik tak senang dengan tingkah Naufal. Cowok itu sudah menekuk wajahnya dan duduk serampangan di bangku kantin.

"Apa? Kenapa, Lo?" Naufal bertanya dengan tampang sok polos. Kedua mata sipit itu memicing seolah penasaran akan sesuatu yang menganggu temannya.

Difi semakin geram jadinya. Ia tahu Naufal hanya berlagak bego. "Gak usah banyak tanya, berisik lo!" tukas Difi ketus.

Naufal justru tertawa-tawa, tanpa ada jejak menyesal sedikitpun. Cowok itu meraih bahu Difi dan ditariknya temannya itu hingga bahu mereka bersentuhan. "Galak bener, Dif," papar Naufal menahan tawa.

Tampang songong Naufal hanya semakin membuat Difi naik pitam. Ditambahlagi, pada ujung kalimatnya, Naufal sengaja mencolek dagu Difi.

Difi mendengus, dengan kasar segera dihempaskannya lengan Naufal yang sembarangan nangkring di bahu kanannya. "Jaga tingkah lo, kalau masih mau hidup lama!" ancam Difi. Bukan tanpa alasan. semua orang juga tau, Difi paling benci jika seseorang menyentuhnya tanpa izin.

Mendengar bentakkan itu, Naufal memasang wajah takut. "Ups, sorry. iya, deh, gak lagi, maafin dedeq ya," Naufal berujar dengan suara persis seperti dedek-dedek gemes alay.

Difi mendengus dan Naufal terbahak khidmat.
Gilang yang sedari tadi menyaksikan dua hanoman itu, hanya diam sambil bertanya-tanya dalam benak. Kenapa ia bisa berteman dengan dua makhluk itu? Mungkin ia sudah melakukan dosa besar di kehidupan sebelumnya, hingga kini ia harus di hadapkan dengan ujian berat ini.

Mereka berdua masih berdebat bahkan sampai mie ayam pesanan mereka datang. Gilang akhirnya angkat suara, "Berisik! lagian si Wildan mana sih, dari tadi pagi dia gak nongol-nongol."

Difi mendengus. "Palingan juga dia bolos."
"Baguslah dia bolos, males gue. Kalo dia ada juga paling uring-uringan kayak kemarin," timpal Naufal, ikut menanggapi.
Difi mengangguk, kemudian menyeruput teh manis di depannya. " Bener juga. Wildan kalo udah gitu nyebelin, gue minum aja salah. matanya nyeremin, kayak mau nebas orang."

Mendengar penjelasan sekaligus curhatan temannya, kening Gilang berkerut. "Kemarin emang dia kenapa?"

Difi berdecak. "Telat banget lo, jelasin Fal," ujar Difi sembari menepuk bahu Naufal.

Naufal yang sedang menyomot gorengan pun menoleh, dengan gaya malas ia menjelaskan. "Biasalah, siapa lagi yang bisa bikin Wildan, pangeran kulkas uring-uringan?" setelah bertanya, Naufal menggigit pisang goreng dengan gigitan besar.

"Natasya?" tebak Gilang.

Naufal bertepuk tangan girang. "Widih, cakep, Lang! Langsung tepat gitu. Gak salah lo jadi ketua kelas," ujarnya dengan suara teredam karena mulut penuh dengan pisang goreng.

Wajah Gilang mendadak kaku saat nama Natasya disebut. Ia langsung memasang wajah khawatir. "Emang Natasya kenapa?"

Kening Difi mengerut tajam. Ia merasa heran dengan tingkah Gilang yang mendadak kepo dan banyak bicara. Namun, meskipun begitu, ia tetap menjawab, "Kemarin dia pingsan."

"Apa?! Pingsan?!" Gilang berteriak histeris. Tanpa sadar cowok itu menepuk bahu Naufal dengan kencang. Refleks karena terkejut dengan berita itu. Lantas Naufal tersedak, karena tadi ia sedang sibuk memakan gorengan.

Tempat Untuk KembaliWhere stories live. Discover now