Ada beberapa hal yang Wildan Benci. Pertama, mood-nya yang hancur setelah perdebatan dengan kakaknya. Kedua, sudah berada di sekolah, padahal lonceng belum berbunyi dan bu Farida belum berjaga. Ketiga, mengorek upil terlalu dalam, Wildan gak suka, rasanya sakit! Beneran, sumpah! Dan pagi ini, sepertinya benar-benar hari buruknya. Padahal setiap hari Wildan tidak pernah merasa harinya baik. Oke, anggap saja hari ini dia ketiban sial.
Mata wildan memandang dengan serius pada layar persegi yang berada di tangannya. Kening tebal cowok itu mengerut, saking seriusnya. Bahkan Wildan tak merasa ketika seekor nyamuk menggigitnya, sekedar info, Wildan orang paling sensitif mengenai nyamuk. Tapi kali ini sensitifitas itu hilang, karena sibuknya Wildan.
Hari ini, Wildan tiba di sekolah sangat pagi. Sekolah masih sepi, dan mungkin pak Mamat-satpam sekolah-bahkan belum mandi. Itu terjadi karena Wildan malas untuk berada di rumahnya terlalu lama. Wildan lebih memilih jalan terbaik. Yaitu menghindari pertengkaran dengan mbak Sekar. Meskipun-yah-tetap saja mood Wildan hancur. Jadi dari pada dia menghancurkan seisi dunia dengan kemarahannya. Wildan memutuskan untuk bermain game.
Suara gesekan sepatu dengan kramik kelas terdengar jelas, karena suasana benar-benar sepi. Bahkan tadi Wildan sempat mendengar suara cecak. Wildan mendongak untuk melihat siapa kah makhluk tersebut, hanya sepersekian detik, Wildan kembali fokus pada gamenya, setelah ia memastikan dengan baik bahwa yang masuk ke kelas bukan wewegombel atau sejenisnya.
Dan, demi nikmatnya Mie ayam mpok Aminah! Apa barusan Wildan melihat itu?
Itu apa?
Tangan Wildan terhenti.
Wildan benar-benar beralih dari game nya. Matanya menangkap Difi, temannya sudah tiba. Cowok itu melempar tas hitamnya sembarangan dan mengambil tempat duduk di samping Wildan.
Kening Difi mengerut ketika melihat tatapan Horor Wildan.
"Wil...lo kenapa?" tanya Difi tak mengerti. Tentu saja Difi tak mengerti. Dia baru saja datang. Dan temannya itu sudah melotot tak jelas padanya, lebih tepatnya Wildan melihat Difi seperti menemukan ular yang punya ketiak.
Ini mulai keterlaluan, Wildan berdeham sebentar, lalu mengalihkan pandangannya. Sekuat tenaga Wildan mem-fokuskan perhatiaan pada gamenya.
Difi yang melihat Wildan tak menjawab, ia hanya mengangkat kedua bahunya. Cowok itu kembali menyedot jus tomat, yang baru saja ia beli.
Itu dia masalahnya, jus tomat. Wildan merasa peluh dingin meluncur di punggungnya.
Fokusnya berantakan. Tembakannya meleset. Suara Difi yang sedang menyedot jus tomatnya, kini membuat bulu kuduk Wildan berdiri.
Wildan benci jus tomat
Tak tahu apa alasannya, sejak kecil Wildan sudah resmi menjadi haters minuman yang sehat itu. baginya rasa tomat begitu menjijikan. Hanya mencium baunya saja, rasanya perut Wildan bergolak hebat. Dan pagi ini Difi, yang kebetulan –jus tomat-lovers. Sudah hadir di sekolah dengan segelas jus tomat.
YOU ARE READING
Tempat Untuk Kembali
أدب المراهقينIa pernah bercerita, di antara desau angin ia mengucapkan angannya. Dengan mata sendu ia menatap hamparan langit. "Gue tau, tidak semua hal yang kita inginkan bisa terwujud. Tapi, kali ini gue berharap, gue bisa menemukan tempat untuk kembali, untuk...