Nafas Nada hampir habis. Saat pagi itu ia berlari dengan kekuatan penuh. Hal seperti ini sering terjadi. Karena bus yang ia naiki mengalami masalah teknis, akhirnya ia harus terpaksa mencari akngkutan lain. Untungnya masih ada angkot yang tidak penuh. Kalau tidak, mungkin Nada akan sampai di sekolah lebih lama dari ini.
"Ibu tidak memberi toleransi untuk murid yang terlambat," tukas Bu Farida dengan pandangan tak senang saat Nada memohon untuk masuk ke dalam kelas. Guru BK itu masih bersikukuh untuk memberi hukuman untuk Nada.
"Tapi, Bu, sekali ini aja, boleh, ya, Bu?" ujar Nada dengan suara memelas. Tapi Bu Farida tetap menggeleng.
"Tidak."
Habis sudah harapan Nada untuk masuk kelas pagi itu. Nada menghela nafas berat. Kepalanya itu ia tundukan dalam-dalam saat Bu Farida memberikan petuah tentang pentingnya budaya disiplin. Ini memang salahnya. Pagi ini Nada bangun terlambat dan, yah, gara-gara bus yang bermasalah tadi juga.
"Huh, tidak bosan, ya, kamu Wildan. Masih suka saja terlambat."
Nada mengangkat kepalanya saat nama Wildan terlontar dari mulut Bu Farida. Jantungnya sudah bertabuh kencang, ia mendadak gugup. Saat didapatinya Wildan sudah berdiri tepat di sampingnya. Wajah cowok itu bahkan datar saja. Tanpa ada gurat menyesal atau takut saat Bu Farida melotot padanya. Seperti biasa, baju seragam cowok itu selalu sembarangan. Tidak dimasukan ke dalam dan bahkan tidak memakai dasi. Bedanya, hari ini cowok itu memakai sepatu hitam dan rambutnya terlihat lebih rapi.
"Kalian ini calon penerus bangsa, mana bisa bertingkah seperti ini? Tepat waktu dan menghormati aturan itu sangat penting. Kalau terus dibiarkan seperti ini, masa depan Indonesia akan terancam. Padahal sudah diajarkan, tidak tepat waktu merupakan bibit-bibit dari korupsi."
Nah, petuah, Bu Farida kian panjang saja. Wildan yang memang malas mendengarkan Bu Farida malahan membuang muka. Dengan santai ia memasukan tangan ke dalam saku celana.
"Sudah, lah. Kalian tidak boleh masuk kelas sampai jam pelajaran pertama selesai. Karena telah terlambat, kalian diberi hukuman membersihkan kebun sekolah. Rumput liar di sana sudah merambat dan tanamannya perlu disiram." Akhirnya Bu Farida memutuskan hukuman untuk mereka berdua.
Nada menatap Wildan yang duduk di atas bangku. Dengan santai cowok itu memainkan ponselnya. Seolah ia tidak sedang dalam masa hukuman. Nada mendengus. Diliriknya kedua tangannya yang berbalut sarung tangan. Sinar matahari terasa menyengat dan tanaman liar di kebun itu memang sudah tumbuh dengan subur. Kalau hanya dikerjakan sendiri saja mana bisa selesai cepat.
"Kalau mau segera selesai, bantuin gue nyabutin rumput liar ini."
Perhatian Wildan teralihkan. Ia mendongak dan melihat sepasang sarung tangan cokelat yang sudah disodorkan ke arahnya. Ia menatap Nada. "Males," sahut Wildan ringan dengan wajah datar.
Nada menggeram dalam hati. Lihat saja, Wildan mana mau diajak bekerja sama. "Lo mau kita gak masuk kelas?" tanya Nada berniat untuk memaksa cowok bebal itu untuk segera menyelesaikan hukuman mereka.
Wildan memasukan ponselnya ke dalam saku celana. Nada mengira cowok itu akan membantunya. Senyuman hampir terpatri, namun, ternyata bukan itu yang terjadi. Wildan bangkit dan mengambil tasnya. Dengan santai ia berkata, "Tepat, gue emang bermaksud untuk gak masuk kelas." Dengan kalimat itu, Wildan melenggang pergi.
Mulut Nada membuka. Ia terkejut dengan ucapan Wildan. Yang benar saja?! Jadi, Nada yang harus mengerjakan ini sendirian. Tidak bisa! Dengan kekesalan tingkat antariksa, Nada melepaskan sarung tangannya. Ia mengejar Wildan yang sudah menghilang ditikungan koridor.
••••
"Mana bisa lo kayak gini?! Tanggung jawab dikit jadi cowok!" sentak Nada dengan nafas hampir hilang saat mengejar Wildan.
YOU ARE READING
Tempat Untuk Kembali
Teen FictionIa pernah bercerita, di antara desau angin ia mengucapkan angannya. Dengan mata sendu ia menatap hamparan langit. "Gue tau, tidak semua hal yang kita inginkan bisa terwujud. Tapi, kali ini gue berharap, gue bisa menemukan tempat untuk kembali, untuk...