Bab 4

246 14 0
                                    

Rin duduk selonjoran di lantai menumpukan kepala di sisi kasur, merenung kejadian tadi siang, di mana ia melihat sang mama bersama suami juga anak-anak sambungnya. Cakra, dan Embun. Mereka terlihat bahagia, sangat berbanding terbalik dengannya. Ia tersenyum meringis merasakan darah mengalir dari lengan kirinya memberikan sensasi menyakitkan juga menyenangkan dalam satu waktu.

Hal inilah yang selalu membuat Rin merasakan kelegaan di kala rasa sakit kian menghimpit dada. Luka di lengan atas juga tempat tersembunyi lainnya menjadi saksi nyata bahwa Rin tidak baik-baik saja selama ini. Ia hanya pandai menyembunyikan nya.

Getar notifikasi membuatnya membuka mata mengintip si pengirim pesan. Nama Lembah tertera di sana menanyakan keadaannya. Lembah juga menyaksikan kejadian tadi siang karena mereka pergi bersama. Lembah mengikutinya tanpa ijin saat Ia dan Sera ke mall untuk mencari Buku.

Menggunakan tangan Kiri Rin menggeser icon hijau untuk mengangkat telfon.

"Iya, Lembah, kenapa?"

"Lu di mana? Lu baik-baik aja kan?"

"Gue ga papa kok, thanks yah buat yang tadi."

"Iya, tapi lu beneran ga papa? Perasaan gue ga enak, khawatir banget sama lu."

"Gue ga papa, ini lagi rebahan.."

Di sebrang sana Lembah terdengar membuang nafas pendek. "Gue mungkin ga berhak ngomong gini karena status kita cuma temen tapi kalau lu butuh gue jangan ragu buat datang ke gue, karena lu penting buat gue, dan gue mau jadi orang penting buat lu yang selalu lu butuhin dan bisa lu andelin." Ujarnya serius.

Rinjani tersenyum pahit memejamkan mata meresapi rasa perih di kulitnya. Andai dia bisa menceritakan segalanya pada Lembah dan dunia bahwa dia butuh di rengkuh, butuh uluran tangan untuk membantunya keluar dari kegelapan yang terus memerangkap nya, terus mencekiknya sampai rasanya Rin ingin menyerah pada dunia. Sayangnya Rin tidak memiliki keberanian untuk menunjukkan kelemahannya. Dia terlalu takut di hakimi.

"Makasih lu udah care sama gue, tapi gue baik-baik aja... Dan kalau gue boleh minta satu hal, tolong jangan cerita ke siapapun soal kejadian tadi, anggap aja lu ga ngeliat apapun. Bisa kan?"

"Tenang aja, gue ga akan cerita ke siapapun, gue bukan cewek yang suka ngegosip btw.." sahutnya dengan nada bercanda.

Rinjani terkekeh kecil.

"Oke, gue mau mandi dulu, sampai ketemu besok di sekolah."

"Hmm... Gue jemput yah?"

"Iya,"

Begitu sambungan telefon terputus Rinjani beranjak dari lantai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian memberikan obat pada lengannya. Setelah melukai dirinya biasanya Rin memang akan mengobati dirinya sendiri. Dia tidak pernah menceritakan kebiasaannya ini pada orang lain. pun dengan papanya sekalipun.

Begitu sudah memberi obat pada lengannya Rin beranjak dari lantai menuju kamar mandi untuk membasuh diri. Walau lukanya akan terasa perih saat terkena air tapi itu lebih baik dari pada membiarkan aroma darah bercampur obat menguar dari badannya dan membuat papa mencurigainya.

Di lain pihak Lembah menurunkan ponsel dari kuping menyadarkan kepala di dinding dengan mata terpejam. Kejadian tadi membayanginya. Dia tidak dalam posisi memiliki hak bertanya saat bersangkutan tidak ingin memberitahu.

Keesokan harinya Rin berangkat sekolah di jemput Lembah. Seperti biasa semua mata melihat padanya bergosip ini itu menjelekkan nama Rin. Apa Rin perduli? Tidak. Rin acuh saja sama ocehan human tak tahu diri merasa paling suci.

Begitu tiba di kelas Rin mendudukkan diri di bangku melipat kedua tangan lalu menjadikannya bantal. Hela nafas keluar dari mulutnya membuat Sera yang baru tiba mengerutkan dahi.

"Nape lu? Butek banget itu muka." Tegur Sera.

Rin memutar wajah menghadap Sera. "Ra," panggil Rin.

"Kenapa? Lo bisa cerita sama gue.."

Rin menarik sudut bibirnya tersenyum sedih. "Hibur gue dong, gue lagi sedih nih." Katanya bersitatap dengan Sera.

Berfikir sejenak Sera kemudian menyahut. "Gimana kalau kita bolos aja? Sekali-kali jadi anak bandel nggak papa, kan?" Rinjani menegakkan badan tertarik dengan usulan Sera.

"Ide bagus. Capcuss deh sebelum Bu Nita masuk.." setujunya. Sera tersenyum cerah lalu mengambil tasnya beranjak dan menari tangan Rin berlari keluar kelas. Risal sempat menegur menanyakan mereka akan kemana namun hanya di balasan sahutan meminta agar Risal mencari alasan untuk mereka ketika Bu Nita mengabsen siswa. Di beri mandat seperti itu Risal hanya melongo bingung.

Kembali pada Rinjani dan Sera. Kini keduanya sudah menaiki angkot yang akan membawa keduanya ke tempat tujuan guna menghibur Rin yang tengah gunda. Beberapa penumpang melirik mereka lalu berbisik pada teman di sampingnya.

"Dek, ini udah siang tapi kok masih belum ke sekolah?" Tegur ibu berkerudung merah. Sera meringis bingung menjawab apa.

"Duh, jaman Sekaran anak-anak sekolah pada berani banget bolos jam pelajaran padahal mama papa mereka mungkin nyekolahin biar mereka jadi orang hebat nantinya. Kalau anak saya seperti mereka sudah saya hukum. Kita capek-capek nyari duit biar mereka dapat pendidikan baik. Tapi kalau kelakuannya seperti mereka. Duh ... Amit-amit deh." Cecar teman si ibu bergosip terang-terangan di depan mereka.

Rin berdehem. "Maaf nih ibu-ibu, kita emang bolos sekolah terus masalah buat ibu-ibu apa yah? Urusan kita lah. Emang anak-anak kalian nggak pernah bolos?? Yakin? Mereka nggak dua puluh empat jam sama kalian jadi mana kalian tau?? Dari pada ngurusin  kami mending ibu urusin aja urusan ibu sendiri karena kami bisa ngurusin hidup kami sendiri." Ujar Rinjani berani. Ucapan Rin itu membuat ibu-ibu yang tadi bergosip mendesis sinis namun tidak lagi menyahut.

Saat sampai di halte tujuan Rin maupun Sera turun dari angkot setelah membayar. Ibu-ibu tadi melototi mereka sepanjang angkot mulai bergerak menjauh.

Menghela nafas panjang Sera dan Rin saling berpandangan sedetik kemudian tertawa heboh sampai beberapa pasang mata melirik mereka.

"Gila, ibu-ibu emang nyeremin." Cetus Sera bergidik.

"Gue bisa seberani itu ngomong kek gitu ke orang yang lebih tua yah??" Gumam Rinjani merasa takjub dengan dirinya sendiri. Bangga? Oh jelas. Rinjani sudah mulai berani mengeluarkan pendapatnya meski orang-orang merasa itu kurang ajar tapi menurut Rin menyuarakan apa yang di rasa perlu memang harus.

S

era mengapit tangan Rin, "keren lu!" Puji Sera bangga. Rinjani terkekeh setuju.

"Ayo kita masuk." Mereka berjalan masuk kedalam Cafe yang lumayan jauh dari sekolah yang mengusung tema retro dengan ornamen tahun 90-an. Estetik! Itu kata yang menggambarkan tempat ini.

"Gue baru tau tempat ini dari Instagram seminggu yang lalu, mumpung lu mau di ajak bolos jadi sekalian aja kesini."

"Berarti lu udah rencanain ini yah?"

"Hehe ... bolosnya enggak, dong. Tapi kalau ngajak lu hangout kesini itu bener. Kapan lagi 'kan kita Nemu cafe se kece ini? Bisa Nongki-nongki bareng 'kan seru tuh apa lagi sama lu." Sera menaik turunkan alisnya. "ye' enggak?" Lanjutnya.

Ran mendengkus geli namun senyum di bibirnya berhasil menghilangkan raut cemberut yang tadi sempat hinggap di sana.

"Mbak? Kita mau pesen, dong." Seorang pelayan menghampiri menanyakan apa yang ingin mereka pesan. Sera menyebutkan keinginannya begitupun dengan Ran.

Laugh With ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang