Bab 5

263 13 0
                                    

Hujan lagi... Entah sejak kapan Rin tidak suka hujan. Baginya hujan seperti menggambarkan kesedihan berkepanjangan. Rin benci perasaan kesepian, benci sendirian, benci pada keadaan dia yang tidak berdaya. Rin mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusan menyelipkan di bibir lalu menyalakan pematik untuk menyalakan nya dan menghisapnya dalam-dalam sebelum menghembuskan asapnya ke udara. Rasa tenang juga damai saat nikotin berada dalam mulutnya mengudara dari hidungnya.

Bayangan kenangan terus tumpang tindih dalam ingatan nya. Miris. Itulah kata yang tepat menggambarkan dirinya saat ini. Dirinya hancur lebur bersama hancurnya pernikahan orang tuanya. Bagaimana bisa Rin yang dulunya berselimut bahagia kini hanya sebongkah raga tak berjiwa.

Ia terkekeh mengingat lagi bagaimana orang tuanya terus cekcok memperebutkan hak asuh dirinya. Dia benci jadi rebutan. Tidak bisakah mereka bersatu merawatnya saja? Tidak bisakah mereka kembali seperti dulu?

∆∆∆

Lembah melepaskan jaketnya menyampirkan di bahu sofa menjatuhkan dirinya di sana. Kepalanya berat juga rasa mual yang terus bergolak dalam perutnya. Lembah tau dia kurang sehat tetapi kerumah sakit bukan pilihan untuknya. Ia benci tempat yang selalu akrab dengan aroma obat-obatan itu.

Meru baru selesai mandi keluar dari kamar menemukan Lembah terlihat gelisah di sofa. Ia mendekati sobatnya itu. "Nape lo? Kehabisan obat?" Lembah menggeleng lemah.

"Justru gue butuh obat sekarang, gih beliin gue. Duitnya lo ambil di dompet." Dia menunjuk dompetnya di atas meja.

Meru cuma bercanda bertanya seperti itu tapi melihat kondisi Lembah sepertinya sobatnya itu tidak sedang baik-baik saja sekarang. "Sakit beneran lo?" Dia menempelkan punggung tangannya di jidat Lembah yang langsung di tepis oleh sobatnya itu.

"Gue cuma nggak enak badan, nggak usah lebay."

Meru menggeleng tidak habis pikir dalam kondisi seperti ini saja Lembah masih keras kepala. "Kita kerumah sakit deh." Meru baru akan membantu Lembah bangun namun sobatnya itu menolak.

"Nggak, jangan. Gue baik-baik aja, cuma butuh obat. Lo tolong beliin? Gue cuma butuh istirahat entar juga balik sehat lagi." Katanya lirih.

Meru berdecak kesal "Demam lo tinggi, tai! Lo bilang baik-baik aja? Kalau mau mati jangan di rumah gue."

Lembah menghela nafas memperbaiki posisi rebahan nya "Gue udah biasa kayak gini. Udah, nggak usah lebay. Sana beliin gue obat."

Meru menggeram kesal namun mengalah meraih kunci motor lembah lalu berjalan keluar rumah menaiki motor gede yang terparkir di halaman depan melajukan motor itu membelah jalan mencari apotik terdekat.

∆∆∆

Cakra menatap datar Ayahnya. Pria yang mirip dirinya itu baru saja mengatakan hal yang membuatnya mendidih marah.

"Saya setuju Ayah nikah tapi nggak pernah setuju ayah bawa istri ayah kerumah. Ini rumah Bunda dan ayah sudah janji nggak akan tinggal di sini." Cakra tidak habis pikir dengan pria di hadapannya ini. Bagaimana bisa ayahnya begitu tega ingin membawa istrinya ke rumah di mana banyak kenangan Bundanya berada. Ayahnya boleh saja membuang segala hal tentang bunda tapi Cakra tidak akan tinggal diam kalau rumah penuh kenangan bersama bunda harus di tinggali oleh Istri ayahnya.

"Cakra, ayah punya alasan untuk itu."

Rahang Cakra mengetat. Tangannya terkepal kuat di atas paha. "Apapun alasan ayah, Cakra nggak perduli. Yang jelas ayah jangan bawa istri ayah ke sini. Jika ayah tetap melakukannya, Cakra nggak akan maafin ayah."

Cakra tidak ambil pusing sama raut frustasi ayahnya saat ini. Baginya, apa yang di minta ayahnya kali ini tidak bisa ia tolerir lagi. "Please Cakra, hanya sampai anaknya Tessa setuju ikut kami, setelah itu kami akan angkat kaki dari sini. Dia butuh teman, dia butuh kalian." Cakra mendesis emosi.

"Ayah lebih perduli anaknya Tante Tessa sementara anak ayah sendiri ayah nggak perduli? Ayah tau kami juga butuh ayah. Embun apa lagi. Anak ayah itu kami. Bukan anak Tante Tessa!"

"Ayah mohon Cakra. Sekali ini saja pahami posisi ayah." Pintanya memelas

Cakra berdiri dari kursinya. Ia menatap dingin pada ayahnya. "Tidak. Ayah jangan melewati batas." Setelah berkata begitu Cakra naik ke kamarnya tidak mengindahkan permohonan Ayahnya.

Ia membanting pintu keras menyandar pada daun pintu. Kepalanya nyaris pecah dengan segala permasalahan yang ada.

∆∆∆

Selesai membeli obat Meru bersiap akan pulang kerumah andai dia tidak melihat seseorang duduk sendirian di pinggir trotoar menatap kosong kendaraan berlalu lalang. Ia mendekati sosok itu, menariknya berdiri, "Rin? Ngapain lo sendirian di sini?" Rinjani mengerjab menemukan Semeru berdiri di depannya tampak khawatir.

"Eh? Meru?" Rin tampak linglung tidak mengerti kondisinya saat ini. Dia melihat sekelilingnya dan baru ngeh dia tidak sedang di rumah. Ah, dia ingat. Rin bertengkar lagi dengan mamanya makanya dia kabur dari rumah dan berakhir di sini.

"Ngapain lo di pinggir jalan? Ayo gue anterin pulang." Meru meraih tangan Rin namun alih-alih bergerak Rin malah tetap di tempatnya. Meru menoleh meminta penjelasan lewat sorot matanya.

"Gue boleh ikut sama lo nggak? Gue nggak mau balik ke rumah." Ujarnya meringis. Rin tidak mau menjelaskan alasannya tapi pulang ke rumah saat seperti ini mungkin akan berakhir jadi penyesalan baginya. Keinginan untuk mengakhiri hidupnya begitu besar saat ini.

Semeru tampak menimbang sejenak permintaan Rinjani sebelum membuang nafas pasrah. "Yaudah, ayok... Gue naik motor, nggak papa kan lo ikut naik motor bareng gue?" Gelengan kuat Rin membuat Meru mengajak perempuan itu mendekati motornya yang terparkir di depan apotik.

"Pake ini biar lo nggak kedinginan." Meru menyerahkan jaket miliknya untuk di gunakan Rin agar tidak sakit terkena angin malam.

Meru naik lebih dulu ke atas motornya, menstater mesin motor setelah itu ia meminta Rin untuk naik. Rin berpegang di bahu Meru lalu duduk di jok belakang memeluk pinggang cowok itu erat menghalau rasa menggebu dalam dirinya yang meronta ingin melakukan hal di luar kendalinya.

"Ru, jangan lepasin tangan gue! Gue lagi gila sekarang!?" Teriaknya agak keras karena motor melaju cukup kencang. Semeru mengerutkan dahi tidak mengerti dengan ucapan Rin.

"Apa? Lo ngomong apa?" Meru menoleh sedikit pada Rin lalu kembali fokus ke depan takut mereka terlibat kecelakaan.

Rin mendekatkan bibirnya ke telinga Meru. "Gue bilang jangan lepasin tangan gue karena gue lagi gila, gue bisa loncat dari sini kalau lo nggak megangin gue."

Meru cukup terkejut dengan omongan Rin barusan. Ia menunduk melihat kedua tangan Rin yang melingkar di perutnya. Tangan kirinya ia lepaskan dari stir motor turun menggenggam tangan Rin yang sedingin es.

Dalam hati Semeru bertanya-tanya. Apa yang terjadi pada Rinjani sampai dia bersikap seperti ini? Rin orang yang tenang, terlalu tenang sampai jarang memperlihatkan emosi, tapi sekarang ini? Semeru yakin ada sesuatu yang di alami perempuan di balik punggung nya ini. Dan rasanya Semeru tergelitik ingin mencari tahu.

Karena itu Semeru mengeratkan genggamannya di tangan Rin.

Laugh With ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang