Matahari mulai memunculkan diri dengan senyum dan semangat, seperti yang Fabian rasakan pagi ini. Dia sangat amat bersemangat untuk bertemu Allison. Cinta pertamanya hingga saat ini yang pernah Fabian lepaskan, namun Fabian berjanji untuk tidak melepaskan Allison lagi. Ya, Fabian tidak akan melepaskan Allison sampai maut yang memisahkan mereka. Terdengar alay memang, namun Fabian bersungguh – sungguh.
Dengan senyum penuh di wajahnya, Fabian menyambar tas ransel dan berjalan ke arah meja makan dimana berbagai makanan telah menyambutnya.
"Cie yang pagi – pagi udah semangat aja." Goda Mama Fabian.
Fabian mendengus, berpura – pura sebal. "Apaan sih, Ma."
"Halah, enggak usah sok gitu. Mama tau kamu lagi seneng karena ketemu Allison lagi."
Fabian hanya memutar bola matanya dan duduk disalah satu kursi. Dia mengambil selembar roti dan mengoleskan selai cokelat sebelum bangkit berdiri kembali.
"Loh? Kamu mau kemana?" Tanya Mama heran.
"Berangkat sekolahlah."
"Kok pagi banget?"
"Kan mau nganter seseorang dulu," Fabian mengedipkan sebelah matanya lalu bersalaman dengan Mamanya dan berjalan ke luar dengan kekehan.
Fabian mengendarai mobil menuju rumah Allison masih dengan senyum yang sama, senyum bahagia.
*
Pagi ini Allison bangun lebih pagi daripada kemaren. Tentu saja untuk mengindari Charlotte si nenek sihir. Dia terlalu lelah untuk mendapatkan sesuatu buruk di pagi hari ini. Pagi hari yang seharusnya membahagiakan karena pertemuan singkat antara dirinya dan Fabian.
"Allison, mobilnya sudah disiapkan." Ucap Bibi dari balik pintu setelah mengetuknya dua kali.
Allison keluar dari kamarnya dan mendapati Bibi sudah berdiri dengan sepiring roti di tangannya.
"Ini, sarapannya." Ucap Bibi.
Allison menggeleng. "Enggak usah, Bi, itu buat Bibi aja. Allison buru – buru." Setelah mengatakan itu, Allison segera berjalan keluar rumah. Allison tersenyum kecut melihat keadaan rumah yang sepi.
"Bapak dan Ibu sudah berangkat pagi – pagi sekali." Ucap Bibi seakan menjawab pertanyaan di dalam benak Allison.
Ya, sudah pasti.
Allison membuka pintu mobilnya, tetapi mobil lain yang baru saja memasuki pekarangan rumahnya menghentikan aktivitas Allison. Allison menyipikan mata, berusaha mengenali mobil tersebut.
"Hai." Ucap Fabian yang baru keluar dari dalam mobil.
Allison tersenyum bersyukur karena dirinya belum mengenakan dandanan cupu khas dirinya di sekolah. "Hai." Balas Allison sedikit canggung.
"Lo mau ke sekolah, 'kan?" Tanya Fabian.
Allison mengangguk.
"Bareng gue aja."
Allison menggeleng cepat, panik. "Enggak."
Fabian menaikkan alisnya.
"Enggak usah Fab, nanti lo kesiangan. Lagian sebelum ke sekolah gue mau mampir dulu." Bohong Allison. Dia mendesah di dalam batin. Sejujurnya, dia tidak ingin berbohong pada Fabian dan dia juga ingin berangkat ke sekolah bersamanya. Namun, itu semua tidak bisa.
"Oke," Fabian mengangguk. "Gimana kalau nanti sore kita jalan?"
"Oke," Jawab Allison. "Kalau gitu, gue berangkat duluan."
Fabian mengangguk seraya tersenyum. "Hati – hati."
*
"Alli, tolong bawakan buku – buku ini ke ruang guru." Ucap guru Biologi yang baru selesai mengajar.
Allison mendesah. Karena kecupuannya, para guru lebih sering meminta bantuan kepada dirinya. Terkadang dia senang karena bisa mengdindari suasana kelas dengan membawakan buku – buku ke ruang guru. Namun, ada kalanya Allison lelah dan malas beranjak dari bangkunya seperti sekarang.
"Kok malah diam?!" Teriak guru yang sepertinya sangat tidak sabar.
Allison mengangguk. "I – iya, maaf, Bu." Allison beranjak dan meraih buku – buku tulis siswa sekelas.
Allison menghela nafas. Disaat teman – temannya bisa mencuri waktu untuk sekedar ke kantin, dirinya terjebak dengan buku. Dia menarik nafas mencoba perfikir positif, setidaknya daripada terkena bully-an lebih baik berurusan dengan buku.
Lamunan Allison terhenti ketika tubuhnya menabrak tubuh orang lain yang membuat dirinya jatuh terduduk dengan buku – buku yang dibawanya berserakkan di lantai.
"Duh, maaf – maaf," Ucap orang menabraknya. "Lo enggak apa – apa?" Orang itu membatu Allison membereskan buku – buku.
"Enggak apa – apa." Ucap Allison seraya mengalihkan pandangan dari buku yang berserakan ke arah orang yang menabrakanya.
Seketika Allison membeku di tempat setelah melihat wajah penabrak.
"Fabian?" Ucap Allison pelan namun masih dapat di dengan orang yang menabraknya.
Orang yang menabrak Allison atau Fabian melihat kearahnya dengan kening yang berkerut melihat tingkah aneh cewek cupu didepannya. "Iya, kenapa?"
Allison menggelengkan kepalanya. "Enggak."
Dengan cepat, Allison membereskan buku – buku dan berjalan cepat setelah berucap terimakasih.
*
Allison benar – benar kaget menyadari bahwa siswa baru di kelasnya adalah Fabian. Oh, dia benar – benar menyesal tidak memperhatikan setiap muka yang menjadi teman sekelasnya.
"Lo kenapa deh?" Tanya Lili heran.
"Enggak kenapa – kenapa."
Lili memutar kedua bola matanya. "Jangan bohong, elah."
"Atau, lo lagi ngelamun jorok ya." Ucap Lili dengan kekehan.
Allison menatap Lili dengan mata melotot. "Enggaklah."
"Anak baru itu namanya Fabian?" Tanya Allison tiba – tiba.
Lili menoleh cepat mendengar Allison yang menyebutkan nama cowok, ini sungguh jarang terjadi. "Tumben ngomongin cowok, lo suka ya sama Fabian?"
"Enggaklah," Allison menggeleng cepat walaupun kenyataannya dia memang menyukai Fabian. "Jadi Fabian anak baru itu?"
"Kenapa deh?"
"Nanti gue ceritain. Jadi?"
Lili mengangguk. "Iya, dia anak baru. Lagian kan kemaren gue ngoceh mulu tentang dia, lo enggak dengerin ya?"
Allison menyengir bersalah.
"Makanya kalau gue ngomong itu didengerin bukan di cuekin. Lagian temen sendiri ngomong malah dianggap kayak tembok."
"Jadi Fabian di sini. Satu sekolah," Gumam Allison. Dia senang jika Fabian satu sekolah dengannya, tapi bukan itu masalahnya adalah kecupuannya. Allison di sekolah adalah Alli si cupu, namun di rumah dia menjadi Allison. Dan Allison sangat bingung serta bersalah harus berpura – pura menjadi dua orang dihadapan Fabian.
===×===
Fabian ketemu Allison yang cupu, bakal ketahun engga ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl In Fake (on editing)
Teen FictionMasa lalu yang buruk membuat seorang gadis SMA berpura – pura menjadi siswi cupu. Kecupuan membuatnya mudah di-bully dan tidak memiliki teman kecuali sahabat perempuannya sejak SMP. Namun, semua itu berubah sedikit demi sedikit semenjak sekolah meng...