7.

61.6K 3.1K 23
                                    

Bagi Fabian, kemarin adalah hari yang hebat dan sungguh menyenangkan, bersama Allison tanpa gangguan adalah hari yang menyenangkan bagi Fabian.

Terbalik dari kemarin, hari Minggu ini Fabian harus menghabiskan waktu dengan Charlotte yang menurut pembicaraan adalah seorang monster yang sok menguasai sekolah.

Fabian menghembuskan nafasnya. Sebenarnya dia malas harus berurusan dengan monster seperti Charlotte, namun jika Fabian tidak berangkat, maka raport-nya akan terancam. Sungguh malang nasib Fabian.

"Bawa buku apa?" Gumam Fabian yang sedang membongkar buku – buku pelajaran.

Fabian mengangkat kedua bahu cuek. Dia memilih untuk tidak membawa buku apapun kerena menurutnya Charlotte juga mempunyai buku pelajaran.

Dia mengambil kertas yang bertuliskan alamat rumah Charlotte sebelum mengendarai mobilnya.

Rumah dengan cat dinding berwarna putih dan tanaman berbunga menyambut Fabian saat tiba di rumah Charlotte.

Dengan tidak sabar, Fabian mengetuk pintu. Hingga lima menit, belum ada yang membukakan pintu maupun menjawabnya. Hal itu, membuat Fabian semakin kesal, dia mengetuk pintu kembali.

"IYA! SEBENTAR!" Ucap suara dari dalam rumah.

Pintu terbuka dan munculah Charlotte yang tersenyum tidak bersalah. "Udah lama?"

Malas menjawab pertanyaan tidak bermutu dari orang di depannya, Fabian hanya mengangkat sebelah alisnya.

"Yuk, masuk." Charlotte membuka pintu lebih lebar memberikan ruang untuk Fabian memasuki rumah.

"Lo duduk di sana," Charlotte menunjuk sofa dengan menja yang sudah tertata buku – buku pelajaran di atasnya. "Gue ambil minum dulu."

"Oh, ya, Fab. Gue mau ingetin lo supaya jangan sampai deket – deket sama Alli si anak cupu." Ucap Charlotte sekembalinya ia mengambil minum.

"Kenapa?"

*

Di tempat lain, Allison sedang sibuk mencari baju yang menurutnya tepat untuk belajar bersama dan tepat untuk dikenakan seorang anak cupu.

Namun, bagi Allison dia tidak meiliki baju yang tepat untuk anak cupu.

Allison menggeleng – gelengkan kepalanya lelah. Akhirnya setelah berdebat dengan batinnya, dia memilih salah satu baju yang setidaknya cukup seperti cupu.

Setelah menganti baju, matanya tak sengaja melihat jam pada pergelangan tangan. Kedua bola mata Allison membulat saat mendapati bahwa ia sudah telat.

"Harus ngebut," Guman Allison sebelum mengendarai mobil menuju Cafe yang telah di sepakati.

Dalam perjalanan menuju Cafe, Allison memang mengebut untuk pertama kalinya. Dan dia bersyukur karena ia masih selamat sampai tujuan.

"Akhirnya," Ucap Allison saat menginjak rem yang membuat mobil terparkir dengan sempurna. Dia tersenyum bangga dengan acara mengebutnya tadi, walau sedikit menakutkan.

Allison keluar dari mobil dan memasuki Cafe dengan dering lonceng yang menyambutnya.

Mata Allison menjelajah seluruh sudut Cafe, mencari keberadaan Deo.

"Hey, sori kalau telat banget." Allison duduk di depan Deo dengan senyum bersalah.

Deo membalas senyum Allison. "Enggak apa – apa, cuma telat lima menit."

"Lo naik apa ke sini?" Tanya Deo.

Allison menaikkan sebelah alisnya. "Naik mobil?" Jawabnya yang tebih terkesan bertanya.

"Ada yang aneh?" Tanya Allison saat melihat Deo seperti bingung.

Deo menggelengkan kepalanya. "Cuma aneh, biasanya anak cupu lebih milih naik kendaraan umum dari pada mobil,"

"Dan, gaya pakaian lo terlihat beda." Lanjutnya.

Mata Allison membesar. Dia tidak percaya bahwa Deo sangat memperhatikan segala sesuatu.

"Ooh," Allison tertawa canggung. "Lagian apanya yang beda? Dan mobil lebih cepat dari kendaraan umum, omong – omong."

Deo mengerutkan keningnya. "Beda, enggak kayak cupu biasanya."

Deo merasa ada yang aneh dengan perempuan di depannya, seperti ada yang disembunyikan.

"Masa sih?" Tanya Allison. "Oh, ya, jadi kita belajar apa hari ini?" Allison mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Matematika, lo bawa bukunya?"

"Enggak," Allison menggeleng bersalah. "Tapi gue bawa buku tulis, enggak apa – apa?"

Deo tersenyum kecil. "Enggak apa – apa."

Allison mengeluarkan buku tulis dan Deo mengeluarkan buku matematika yang dibawanya.

*

Deo ternyata tidak seburuk yang Allison pikirkan. Sejak mulai belajar, Deo terlihat baik dan tidak mengejeknya seperti orang – orang kebanyakan. Jika Deo adalah Charlotte maka habislah Allison saat ini.

"Ngelamun, eh?" Tanya Deo dengan lambaian tangan di depan wajah Allison.

Allison tersentak dan tertawa menyadari kebodohannya.

"Hati – hati nanti kerasukan."

"Mana ada setan yang mau ngerasukin anak cupu."

Deo memutar kedua bola mata. "Enggak usah bawa – bawa cupu, Alli."

"Kenapa?" Allison menatap Deo bingung. Kenapa Deo melarang mengatakan cupu, bukankah sudah sangat jelas jika perempuan di depan Deo adalah siswi tercupu di sekolah.

"Ya, karena—"

"Oh, gue tahu. Enggak usah bawa – bawa kata cupu karena gue terlalu cupu dan lo terganggu sejak tadi." Potong Allison.

"Bukan, Alli. Lagian gue suka – suka aja temenan sama lo, enggak terganggu sama sekali."

"Terus, kenapa?"

"Karena mau cupu atau enggak itu sama aja," Deo tersenyum. "Kita enggak boleh mandang seseorang dari kelemahannya."

Allison ikut tersenyum. "Itu sangat manis."

"Makasih," Deo tertawa. "Jadi, gimana kalau besok kita belajar lagi di rumah lo?"

"Tapi, tapi ..." Allison tergagap mencari alasan yang tepat. Allison tidak ingin Deo mengetahui semuanya, semua kebohongan yang telah ia susun sedemikian rupa dan masih bertahan hingga Allison menginjak kelas dua belas. "Kenapa enggak di rumah lo?"

Deo menaikkan bahunya. "Gue lagi males di rumah, tapi lain kali bisa di rumah gue, bukan besok tentunya."

"Tapi kan,"

Deo manaikkan sebelah alis. "Cuma sekali doang, Alli."

"Ok – oke." Ucap Allison ragu.

Satu langkah sudah Allison lakukan. Satu langkah yang bisa berakibat buruk atau berakibat baik pada hidup seorang Allison.

"Gue boleh minta nomer lo?" Tanya Deo tiba – tiba.

Allison mengangguk dan mengambil ponsel dari dalam tas lalu menyebutkan nomornya.

"Nanti gue kirim pesan tentang alamat rumah lo, jangan samapai enggak di bales."

Allison terkekeh. "Iya, tenang aja, Deo."

"Omong – omong, ini nomor asli kan?"

"Iyalah." Allison tertawa lepas mendengar celetukan Deo.

Melihat Allison tertawa membuat satu pernyataan melintas di benak Deo. Cantik.

Deo menggelengkan kepalanya berusaha mengusir pernyataan itu dan memilih tertawa dengan canggung.

Satu hal yang tidak Deo sadari bahwa satu perasaan timbul dalam dirinya terhadap Allison. Perasaan suka yang mungkin akan menjadi cinta lama – kelamaan.

===×===
Nah loh, Allison bakal ngaku atau malah menghindar?

Girl In Fake (on editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang