SATU : AKU (BAGIAN 2)

33 3 0
                                    

***
“Diana ayo cepat.” Setelah pelajaran Pak john selesai , aku mengajak Diana untuk pergi ke café kampus. Aku berniat untuk membeli es krim disana. Aku menarik-narik tangan Diana , dia berjalan dengan lambat sekali, terpaksa aku harus menggusurnya.

“tenang Ras, kantin gak bakal kehabisan stok es krimnya kok.” Diana masih saja berjalan lunglai.

“aa, Diana kita kan gatau. Gimana kalau ke habisan?. Tenang deh Diana, aku traktir kamu kok hari ini. Sepuasnya. Oke.” Aku tawarkan traktiran agar dia bersemangat dan lebih cepat berjalannya.

“beneran ?.” Diana terhenti langkahnya.
“beneran Diana Devita Sari.” Aku memasang wajah serius.

Diana mengembuskan nafas dari mulutnya. “iya ayo.” Diana akhirnya berjalan lebih cepat sekarang.

“yee.” Aku bergumam senang. Aku mengaitkan tanganku padanya. “makasih ya.” Lanjutku sambil mencolek dagunya yang belah itu.

Seampainya aku dan Diana disana , terlihat antrian panjang sekali di kantin tempat penjual es krim berada. Aku menatap kecewa antrian itu. Aku lihat jam yang melekat di tanganku.

“baru jam 11 udah penuh lagi, perasaan kemarin-kemarin gak gini-gini amat.” Aku mendengus kecewa. Diana yang berada di sebelahku pun ikut menghembuskan nafas kecewa. Karena ada kkemungkinan dia tak jadi ditraktir olehku.

“gimana dong Na.”

“ya, palingan kalo kita ikut ngantri, bakalan kehabisan.” Beberapa detik kami hanya melongo menatap antrean  panjang itu. Tanpa beranjak dari tempa kami berdiri.

“oh iya, di dekat kampus kitakan ada kafe es krim gitu.” Aku tiba-tiba ingat ada sebuah kafe dekat kampus.

“oh iya ya, tapi kan itu lumayan jauh dari sini?.”

“gapapa Diana , aku bonceng oke, pake sepeda ya.” Aku mengangkat alis padanya.

“Naik sepeda ?.” dia bertanya sekali lagi. Sepertinya dia tidak setuju dengan usulku itu.

“mau gak aku traktir ?. kalo ga mau gapapa sih.” Aku beranjak pergi pura-pura meninggalkan Diana yang masih bingung.

“eh, eh iya mau.” Diana menarik lenganku . dia tersenyum memohon.

“yaudah ayo.” Kami akhirnya pergi meninggalkan kerumunan orangorang yang sedang mengantre. Aku fikir mungkin 1 jam saja tidak cukup untuk menunggu orang-orang ini bubar.

***

“aku duduk dimana ?.” kami yang baru sampai ke parkiran sepeda di kampus , langsung Diana mengeluh padaku.

“dimana aja juga boleh. Mau di depan, mau di belakang atau mau di ban sepeda juga boleh.” Aku menawarkan semua tempat yang memungkinkan dia ku bonceng. “atau kamu bonceng aku aja . gimana ?.” lanjutku.

“hah?. Kenapa kita gak naik ojek online aja sih ? kan lebih nyaman sama praktis?.”

Aku menoleh padanya “sepeda itu alat transportasi yang gak ribet , terus gak bakal kena tilang sama polisi. Dan gak butuh bahan bakar, terus gak bikin polusi lagi. Bumi ini udah sesak sama banyak polusi, kamu mau nambahin polusi di bumi tercinta kita ini ?.” aku memberi pengertian padanya, agar dia mau naik sepeda.

“lagian naik sepeda juga itung-itung olahraga lho.” Aku berbisik pada Diana .menggodanya.

“ih apaan sih, aku kan gak gendut Ras, Cuma pendek aku aja yang buat aku keliatan gendut.”dia mendengus kesal padaku, suaranya agak sedikit berteriak.

Aku tertawa mendengarnya . dia selalu saja begitu saat aku membicarakan olahraga , diet dan lain-lain yan berhubungan berat badannya.

Menurutku , dia tiak gendut kok, dia hanya terlihat lebih pendek beberapa senti saja dariku. Tapi, dia kekeuh bilang bahwa dia gendut. Dia bahkan rela diet ketat sebulan karena timbangan nya naik 1 kilo. Aku selalu menganggapnya lucu, bahkan tak jarang aku tertawa melihat semuanya.

“jadinya mau gimana nih ?.” aku bertanya dengan sisa tertawaku.

“aku bonceng kamu deh.” Wajah Diana yang masih sebal terlihat pasrah memilih untuk memboncengku.

“oke.” Aku mengacungkan jempolku padanya. rasanya aku tak ingin berhenti tertawa melihat mukna yang tertekuk itu.

Diana mulai menaiki sepeda putih ku. Aku pun memastikannya apa dia sudah siap untuk memboncengku.

Dia mengangguk. Aku naik di besi yang kupasang di ban sepeda. Jadi posisiku berdiri.

Diperjalanan , kami melewati beberapa gang kecil, Diana kurasa agak kagok untuk melewatinya. Sesekali dia rem mendadak yang membuatku terdorong kedepan.

“kamu gak papa kan?.” Aku meyakinkan Diana apa dia baik-baik saja. Apa dia mau melanjutkan memboncengku?.

“apa mau gantian?.” Aku bertanya lagi.

“enggak Ras, Cuma sedikit kaku aja, udah lama aku gak sepedahan.” Dia terlihat yakin sekali. “lagian sambil olahraga kok.” Dia menambahkan. Mendengar kalimat terakhirnya, aku pun spontan tertawa.

“ayo jalan lagi.” Diana terlihat sangat bersemangat. Matanya terlihat ada semangat membara. Layaknya sedang balapan, Diana memacu sepedaku dengan kencang.

Kami melewati jalan raya. Diana sekarang mulai lancar menjalankan sepeda. Bahkan memacu lagi kecepatannya. Keluar keringatnya dari dahi. Mukanya serius sekali, badannya codong kedepan terus berkonsentrasi kearah jalanan. Aku tak kuat lagi menahan tawaku saat melihatnya.

Diperjalanan aku terus tertawa melihat kelakuan sahabatku ini. sampai-sampai pipiku pegal karena tertawa. Aku selalu saja tak pernah berhenti tertawa bla bersamanya. Tapi dia tak pernah menghiraukanku atau marah padaku karena aku menertawakannya. Itulah yang membuatku nyaman bersamanya. Dia sahabat terbaikku.

My Ice CreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang