Part 4 - Consideration

2.2K 84 5
                                    

Part 4

Consideration


Adriana memutuskan untuk tidak membalas pesan Wiliam karena terlalu kaget. "Bercandanya benar-benar tidak lucu. Menyebalkan," gumam Adriana kesal. Ia menaruh kembali ponselnya di meja kecil di samping tempat tidurnya bersama map perjanjiannya.

Ia kemudian membaringkan tubuhnya kembali di atas kasur. Ia baru saja memejamkan matanya sejenak saat tiba-tiba ponselnya kembali bergetar. Dengan malas ia meraba-raba meja kecil di samping kasurnya dan mengambil ponselnya kembali. Ada sebuah pesan dari William. Dengan cepat Adriana membukanya.

From: Mr. Arrogant

Sleep tight, Adriana

Received 23:29

Adriana tersenyum membaca pesan tersebut. "Sleep tight, William," gumamnya pelan sebelum akhirnya beselancar kealam mimpi.

***

Adriana menimang map ditangannya dengan bimbang. Setelah Ia membaca kembali perjanjian yang diajukan William padanya, ia malah merasa ragu dengan keputusannya. "Yes or no?" gumamnya bimbang.

Tunggu dulu, kenapa pula aku sampai harus sebimbang ini karena surat perjanjian sinting yang dia tawarkan? Harusnya aku dengan tegas menolak! Bukan malah bingung sendiri seperti ini. Ini sangat aneh, seperti bukan diriku saja! Tapi... pria itu, dia bisa melindungiku batin gadis itu.

"Aaaaaaahhhhh!!! Aku bisa gila!!!" teriaknya tiba-tiba. Adriana meremas rambutnya sendiri lalu berguling-guling di atas ranjangnya sambil meracau "apa yang harus kulakukan," secara berulang-ulang.

"Mungkin kau harus menerimanya, aku bisa melindungimu," Adriana tersentak. Kepalanya menoleh dengan cepat kearah pintu dan mendapati William berdiri di sana dengan tangan terlipat dan bibir menyeringai.

"AAAAAAAAAA!!! PERGIIIIIIIIIIII!!!" teriak Adriana histeris.

Ia melempari bantal-bantal yang ada di atas kasurnya dengan brutal kearah William tanpa melihatnya. Namun saat ia mencoba melihat William kembali, pria itu sudah tidak ada di sana lagi. Ternyata hanya khayalanku saja, sepertinya aku memang sudah gila batin Adriana sengsara.

Gadis itu kemudian membaringkan kembali tubuhnya di atas kasur, menatap atap kamar hotel yang bersih tanpa cacat. Besok ia akan pulang ke Seattle dan kembali menjalankan hidupnya seperti biasa. Tapi pemikiran bahwa ia tidak akan bertemu kembali dengan William mengusiknya.

"Apa yang sedang dilakukan pria itu saat ini ya?"

"Aku? Aku sedang menatapmu dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyantapmu, Adriana," Adriana terduduk di kasurnya dan menatap William yang berdiri di depan pintu kamar hotelnya sambil bersedekap.

Aku berhalusinasi lagi. Ini sudah mulai mengkhawatirkan batin Adriana takut.

Adriana mengabaikan halusinasinya tentang William dan membaringkan tubuhnya kembali di ranjang. "Kau berbaring? Apa kau benar-benar ingin kusantap, Adriana?" tanya William dengan suara serak.

Adriana mengabaikan William sepenuhnya. Ia berguling kesamping dan menatap map birunya yang tergeletak tak berdaya tidak jauh dari tubuhnya. "Hei, apa yang harus kulakukan padamu?" tanyanya pada map itu.

Tentu saja map tersebut tidak bisa menjawab pertanyaan Adriana. Adriana merasa bodoh karena sudah bertanya. "Well, mungkin kau bisa mencoba untuk menerimanya," sahut William tanpa diminta.

Adriana mendelik, "Kau sama menyebalkannya dengan si brengsek William!" hardiknya kesal.

William mengangkat sebelah alisnya, dan sebuah seringaian terbit di bibirnya. "Brengsek huh?" tanyanya geli. Adriana mengepalkan tangannya semangat, "Ya, dia sangat brengsek. Dia meniduriku saat aku mabuk, menggendongku seenaknya, mempermalukanku di café, dan ia menawarkan perjanjian aneh yang sangat tidak masuk akal!" jawab Adriana berapi-api.

"Mempermalukan dirimu sendiri, kalau aku boleh mnengoreksi," tukas William sakratik.

Adriana kembali mendelik. "Diam kau!" bentak Adriana kesal. "Kau benar-benar mirip dengan yang aslinya. Kurasa aku benar-benar sudah tidak tertolong," lanjutnya kemudian.

"Apa maksudmu?" tanya William bingung.

Adriana menghela napasnya, "Yah, kau benar-benar mirip dengan William yang asli, Si brengsek itu. Padahal kau hanya khayalanku saja. Sudah sana pergi! Jangan ganggu aku." Adriana mengibas-ngibaskan tangannya dengan gerakan mengusir. William hanya memandangnya datar.

"Aku baru tau kalau kau sampai mengkhayalkanku segala. Jika aku tau dari awal, mungkin aku akan tetap tinggal disini dan menemanimu semalaman," ejek William.

Adriana berdecak, ia merasa kesal menanggapi halusinasinya sendiri. Dengan bijak ia memutuskan untuk menutup mulutnya dan mengabaikan halusinasinya itu. "Kau benar-benar merindukanku ya ternyata?" tanya William lagi. Adriana tetap diam dan tidak menjawab pertanyaan William. "Baiklah kalau begitu, aku akan menetap disini untuk malam ini. Besok kau pulang bukan? Aku akan mengantarmu ke airport." Lanjut William lagi.

"Bedebah sialan! Diamlah!" bentak Adriana kasar.

Suasana hening seketika. Adriana mendesah lega, "Kurasa itu cukup untuk membuat kepalaku jernih kembali dan menghilangkan halusinasi sialan yang mengangguku." Karena merasa lelah, akhirnya Adriana memutuskan untuk memejamkan matanya.

Belum lama Adriana memejamkan matanya, ia kembali terusik saat ranjangnya terasa bergerak dan tubuhnya terasa terkekang. Dengan antisipasi, ia membuka kembali matanya. Seketika itu juga ia mendapati sepasang mata yang segelap malam menatapnya dengan pandangan tajam. "K-kau m-"

"Aku bukan hanya sekedar halusinasimu, Adriana," potong William. Ia terus menatap Adriana dengan pandangan kesal bercampur geli. "Kau membuatku sangat marah karena terus menerus membentakku. Aku bukan pria yang sabar, Adriana. Seharusnya kau tau itu."

William berbisik tepat di telinga Adriana, membuat gadis itu memerah dan merinding sekaligus. "Aku ingin menghukummu karena sikapmu, tapi aku akan mengampunimu untuk saat ini," ujarnya lagi.

Adriana terdiam kaku, "J-jadi kau bu-bukan halusinasiku?" ia bertanya dengan terbata.

William menyeringai, "Sayang sekali. Aku William yang asli, sayang," jawabnya santai. Adriana membelalak. "Ja-jadi kau sudah berada di situ sejak awal?" ia bertanya kembali, mencoba memastikan.

"Mungkin saja."

Adriana meneguk salivanya gugup, "saat aku m-melemparimu?" tanyanya kembali. William mengerutkan keningnya, lalu ia tertawa keras. "Well, untuk yang satu itu. Kurasa itu memang khayalanmu."

Adriana terdiam. Bukan karena jawaban William, namun karena wajah pria itu, karena tawa pria itu lebih tepatnya. William yang kemudian sadar sudah lepas kendali, akhirnya memasang kembali wajah datarnya. "Kau tampan," ungkap Adriana tiba-tiba.

William mengangkat sebelah alisnya. "Aku memang tampan," jawabnya acuh.

"Tidak, bukan itu. Maksudku, saat kau tertawa." William menatap Adriana dengan sorot aneh, lalu dengan cepat tatapan itu berganti dengan dingin dan menusuk. "Lupakan saja," ujar William cepat seraya bangkit dari atas tubuh Adriana.

Mereka berdua kemudian duduk di atas kasur dalam keheningan. William menatap lurus kedepan dengan pandangan dingin, sedangkan Adriana sesekali melirik William lewat sudut matanya.

"Kau sudah memutuskannya?"

"Aku-"

-TBC-

Jangan lupa vomment yaaa<3

Tungguin updateanku selanjutnya yaaaaa, sesuatu yang menarik masih menunggu di chapter-chapter depan. Hihihi.

My Protective Mr. ArogantWhere stories live. Discover now