12

148 24 2
                                    


Semenjak hari itu, Marcus Jo tak pernah terlihat lagi.

Marcus Jo menjauhiku. Dia meninggalkanku.

Dan hari-hariku tanpa Marcus Jo pun dimulai.



Tiga bulan kemudian.

Ini berarti, sudah tiga bulan lebih Marcus menghindariku.



Tiga bulan ini, aku memikirkan kesalahan apa yang pernah kuperbuat kepadanya. Apa yang membuatnya menjauhiku. Apa yang membuatnya tak ingin lagi mendengarkan ceritaku dan segala umpatanku mengenai Lalisa. Apa yang membuat pria misterius itu tak menyapaku atau meredakan kekesalanku jika aku sedang kesal dengan Lalisa.


Dan selama itu pula lah, aku tak mendapatkan jawabannya.


Sempat terpikir di benakku, apakah Marcus menghindariku karena aku menyukai Max mengingat objek pembicaraan kami adalah aktor tampan itu? Apakah Marcus menyukaiku? Tetapi, aku buru-buru menghapus praduga konyol itu karena aku merasa, akulah yang tolol di sini. Aku lah yang terlalu berpikiran kolot, seolah-olah Marcus memang tercipta untuk mendengar keluh-kesahku. Marcus juga memiliki urusannya sendiri, dia memiliki kehidupannya sendiri. Egois memang, karena ketika aku berpikir Marcus tercipta untukku, ketika itu juga aku memiliki pemikiran bahwa Max juga tercipta untuk menjadi pendampingku di masa depan.


Lantas, mengapa Marcus menjauhiku?


"HEI! HINA STARLING!"

Teriakkan itu membehana, mengisi keseluruhan ruang berukuran lima kali lima meter ini dengan frekuensi besar. Aku; orang yang merasa terpanggil, hanya melirik ke arah pintu putih yang terpantul pada sebuah cermin dengan ukiran kayu di setiap sisinya. Di ambang pintu, terdapat seorang gadis yang parasnya kukenal dengan baik.


Lalisa Suh; si iblis neraka yang wajahnya diperbaiki cukup baik dengan pisau bedah. Tingginya sekitar seratus enam puluh centimeter, lima centimeter lebih rendah dibandingkan diriku. Rambutnya sebahu, sengaja ia cat berwarna pirang, trend masa kini, katanya. Wajah plastiknya masih terpoles make-up yeah, cukup tebal, menurutku. Percuma dirinya memoles tebal wajahnya itu dengan bedak ataupun make-up karena setebal apa pun dirinya menggunakan bedak, kejelianku mengenai kebusukkannya tak akan pernah berkurang barang sepersen pun.


Aku bisa melihat dari lirikkan di sudut mataku, perempuan sombong bernama Lalisa itu berjalan, mendekatiku yang sedang terduduk di atas sebuah kursi putih dengan salah satu tangan yang merapikan tatanan rambutku. "Ada apa?" tanyaku tanpa minat. Malas mencari masalah dengan orang seperti dirinya.


"Siapa?"

Pertanyaan itu mengudara, membuat diriku sedikit memberikan atensi terhadap pertanyaan dengan dasar tak jelas seperti itu. Salah satu alis hitamku terangkat, meminta Lalisa tuk melanjutkan perkataannya melalui ekspresi wajahku.

"Siapa yang melindungimu selama ini?"

Aku membatu, tetapi kedua netraku tak hentinya mengamati Lalisa yang berdiri tepat di belakangku. Gaun berwarna putih dengan renda-renda di bagian bawahnya serta napasnya yang satu-satu seolah memberitahuku bahwa dirinya baru saja tampil. Dan sesuatu yang genting mendesaknya sehingga dirinya menemuiku seperti ini.

the prince of the darkness [PRIVATED🔐] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang