BAB 3

384 47 12
                                    


Bel berbunyi, istirahat pertama dimulai.

"Jadi, intinya, lo itu sering diajarin gitu sama dia pas smp?" tanya Amel sambil merapikan buku-bukunya.

Kedua bahu Nina naik bersamaan. "Ya nggak sering juga sih, itu juga kalo emang mepet doang. Lagipula kalo aja Bunda nggak trauma buat nyari guru les, gue nggak perlu belajar ama Abyan dah."

Dulu, saat Nina kelas satu SMP, Nina mempunyai guru les private, berjenis kelamin laki-laki, masih terlihat muda, suka mengenakan kacamata dengan bingkai bulat dan berhasil membuat orang itu keliatan baik-baik saja. Tapi, baru seminggu mengajar Nina, ia sudah berani mencoba berlaku senonoh dengan meraba-raba tubuh Nina. Beruntung saat itu, Bi Siti memergoki aksi pelecehan seksual itu. Sejak saat itu, Bunda tak mau lagi mencarikan guru les untuk putri satu-satunya itu. Karena kejadian itu pula, Bunda memberikan kepercayaannya kepada Abyan untuk membimbing Nina.

Sarah ke luar dari mejanya, menaikkan dagu ke arah teman-temannya, artinya: udah cepetan keluar, ke kantin.

Ketiga yang lainnya lantas berjalan menuju pintu kelas. Amel kembali menoleh ke arah Nina. "Kalo ganteng sama gue aja deh belajarnya."

"Yeh itu sih lo maㅡ"

"EH!!"

Langkah mereka berempat lantas berhenti tepat di ambang pintu. Abay tengah merentangkan tangannya lebar-lebar untuk menghalangi empat siswi itu ke luar dari kelas.

"Mau ke kantin? Aduhh rugi duitnya kalo dipake buat jajan melulu, mendingan lo berempat beliㅡ"

Sarah mengangkat tangannya, menginterupsi kalimat Abay yang mereka semua sudah bisa tebak ke mana ujungnya. Tapi Abay tetap bersikukuh dengan ikut menaikkan tangannya.

"Nih ya, Yanti, diliat dari body lo, kayaknya lo nggak butuh ke kantin lagi. Kalo lo kebanyakan make duit lo buat beli makanan entar bisa-bisa pintu ini nggak bisa lo laluin. Jadi mending buat beli e-book, theme line, sticker line, duh masih banyak deh."

Yanti menyubit pinggang Abay dengan gemas dan membuat cowok itu merintih kesakitan. "Aduh tunggu dulu, Yan, cubit-cubitan nanti di akhir kalimat, gue masih mau ngomong."

Alih-alih merasa marah karena jalan menuju kantin tertunda, mereka justru tengah susah payah menahan tawa mendengar kalimat Abay.

Abay mengangkat tangan menunjuk Amel, "Lo lagi galau liat post-an instagram mantan lo sama cewek barunya, kan? Gue juga jual jasa hack, bisa lo apus-apusin dah tuh poto-potonya. Jangan ragu, punya gue udah trusted kok, mel."

"Terus kalo buat Sarahㅡ"

Sarah mendorong dahi Abay, membuat cowok berkacamata itu mundur beberapa langkah dan membiarkan mereka kembali meneruskan langkah menuju kantin.

Kantin. Surga kecil bagi tiap-tiap siswa SMA Harapan. Tempat beragam makanan dan minuman yang dapat dinikmati saat jam istirahat maupun saat ngumpet-ngumpet kabur dari jam pelajaran. Letak kantin yang terdapat di belakang gedung paling pinggir, membuat surga kecil itu memiliki fungsi lain: bolos beberapa jam pelajaran tanpa ketahuan guru dan menyelundup masuk ke sekolah saat terlambat. Kantin itu multifungsi, siapa yang tak suka keberadaan kantin di sekolah?

"Gue aja yang mesenin, tapi samain," kata Nina saat sampai di kantin.

"Yaudahh," ujar ketiga lainnya serentak.

Tubuh Nina yang tergolong kecil membuat ia mudah menyelak antrian yang cukup panjang. Kalau nggak nyelak, sampai bel istirahat selesai juga nggak bakal kebagian, sudah keburu abis.

"Woy ngantri dong! Nyelap-nyelip kayak ni kantin punya lo aja."

Nina menoleh lalu mendapati cowok menyebalkan dengan kulit putih dan rambut sedikit cokelat yang sudah ia kenal sebagai ketua kelas 10 IPS 3, Raditya Jurna.

"Halah! Mending gue nyelip di antrian kantin, daripada lo nyelip di hubungan orang!"

Suara lantang Nina berhasil menarik perhatian setiap siswa yang berada di kantin. Adit mendapati banyak mata yang menatapnya dan membuat dia memilih untuk keluar dari antrian.

"Aduh neng, kayaknya baru kemarin masuk BK, sekarang buat ribut lagi."

Kalimat Bu Iyem ㅡpenjual siomay paling enak sepanjang masaㅡ membuat Nina menoleh ke arah Ibu yang sudah menggelengkan kepalanya heran.

Nyaris semua warga sekolah sudah tidak asing dengan suara lantang Nina yang minimal terdengar sekali dalam sehari. Timbulnya adu argumen di kantin juga bukan hal yang asing kalau Nina yang terlibat. Satu hal ini juga sudah menjadi tontonan sehari-hari bagi warga SMA Harapan tiap jam istirahat.

"Hehehe, Ibu tau aja," Nina nyengir. "Saya pesen 4 porsi, pedesnya sedeng aja ya."

Setelah beberapa menit menunggu, Nina kembali ke pada teman-temannya yang langsung menyambutnya dengan tawa terbahak-bahak. Yanti bahkan terlihat tidak bisa bernapas lagi karena lelah tertawa.

"Gila, gue nunggu banget saat-saat si Adit dipermalukan. Geram banget gue liat dia kebiasaan banyak gaya. Mampus tuh orang," kata Yanti dengan sisa tawa di kalimatnya.

Nina hanya membalas dengan cengiran namun beberapa detik kemudian wajah cerah itu hilang ketika matanya bertemu dengan sepasang mata cowok jangkung yang baru saja melewati meja yang ia tempati. Nina memutar bola matanya, kesal bercampur pasrah saat memikirkan kalau dia akan lebih sering bertemu dengan cowok itu. Cowok yang punya sifat dingin, sinis, dan selalu mengucapkan apa yang ada dipikirannya tanpa peduli perasaan orang lain.

"Kenapa?" tanya Sarah, temannya yang paling peka terhadap lingkungan.

"Liat cowok tinggi yang lagi ngantri di Ibu sambil bawa es teh," kata Nina membuat ketiga temannya menoleh mencari-cari cowok yang Nina maksud.

"Lo suka? Mayan lah mayan," ujar Sarah santai lalu kembali menyantap siomaynya.

Amel langsung berbinar, "Ih ganteng, sumpah kok gue baru liat."

"Cogan terpendam, cuy ..." sahut Yanti.

"Itu Abyan."

***

9 September 2017

KANAN - KIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang