BAB 5

237 38 10
                                    


Jarum jam menunjuk ke arah angka delapan. Langit telah didominasi gelap, dipercantik bintang, dan dilengkapi bulan. Angin semilir mengusap wajah lesu Abyan. Setelah mendapati Nina kabur dari bimbingan belajarnya, ia mendapat telfon dari Kenta yang meminta tolong untuk diajari pelajaran Biologi karena temannya itu akan melaksanakan ulangan harian besok.

Tangannya membuka pintu rumahnya lalu memperlihatkan Iwan dan Melya sedang makan bersama di dapur. Tubuhnya sempat mematung di tempat. Sudah tiga tahun berlalu, tak ada yang berubah, keluarganya tetap sama: hampa. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing, rasa peduli terhadap satu sama lain berkurang, tak jauh beda seperti orang asing yang mau tak mau harus tinggal bersama.

"Kenapa baru pulang, Yan?" suara bariton dan sedikit serak menggema di rumah sederhana itu.

Yang diajak bicara hanya berlalu, layaknya tak mendengar apapun, layaknya tak ada siapapun.

"Abyan! Ayah tanya kenapa baru pulang sudah jam segini?!"

Bukan hanya suara yang enggan untuk keluar, bahkan kepala Abyan berat untuk menoleh. Kakinya terus berjalan sampai ia benar-benar memasuki kamarnya.

Namun Iwan tak mau kalah, tangannya dengan ringan membanting piring ke lantai membuatnya terpecah menjadi bagian-bagian kecil. Sang istri tidak punya kemampuan apa-apa, jemarinya kuat-kuat meremas pelipisnya yang mulai berdenyut.

"Keluar atau Ayahㅡ"

Suara lantang itu terinterupsi oleh Abyan yang tiba-tiba saja keluar dari kamarnya. Dengan seragam yang masih lengkap dan jaket di lengannya, ia melanjutkan langkahnya.

"Nak, dengarkan Ayah dulu, kamu mau ke mana?" Melya terdengar parau, dan suara itu adalah suara yang paling mampu membuat Abyan luluh. Dan benar, kedua kaki kaku itu berhenti.

Tangan Abyan meremas jaketnya. Tanpa menoleh, ia menjawab, "Abyan nginap di rumah teman dulu sampe Ayah tenang."

Dan, begitu saja. Iwan terduduk lemas di kursinya dengan Melya yang selama ini tidak memiliki kemampuan untuk mencairkan suasana. Perempuan berusia 45 tahun itu membiarkan anak sematawayangnya tidur di luar rumah, membiarkan udara malam menusuk tubuh kurus anaknya. Satu tetes dan banyak tetes air mata berikutnya mulai membasahi wajah Melya.

Udara malam yang dingin merupakan satu hal yang Abyan paling tak sukai. Cowok itu mudah kedinginan, bahkan di saat dia tinggal di negara tropis. Tangannya buru-buru menghubungi kontak Kenta, dalam beberapa detik ia sudah tersambung dengan temannya.

"Gue otw rumah lo, bisa kan?" tanya Abyan sambil menyebrangi jalan.

Ada suara kunyahan kerupuk dari seberang sebelum jawaban Kenta muncul, "Bohh, baru balik dari sini langsung mau ke sini lagi, kangen banget lo sama gue??"

Mata Abyan terpejam sesaat, "Suka-suka lo, gue otw."

Meskipun Kenta tahu apa yang telah terjadi sama saja dengan yang selama ini selalu terjadi. Sama, Abyan juga tahu kalau Kenta selalu paham apa yang terjadi kala ia meminta menginap di rumahnya.

Ponsel Abyan kembali bergetar di dalam saku jaketnya. Muncul satu nama di layar ponselnya dan ia pun menghela napas pelan. Dalam satu tarikan napas, Abyan menggeser icon berwarna hijau ke kanan.

"Halo, Byan?"

"Iya, kenapa, Tante?"

"Tadi Nina kabur, ya?"

"Maaf, Tante. Saya kurang peka kalau dia bakal kabur."

Tante Anggie mendengus kesal.

"Duh, rencananya Tante mau nyita mobil Nina sama kurangin duit jajannya. Menurut kamu gimana?"

Abyan diam sejenak. Ya kalau hukuman yang akan diberikan Tante Anggie ini membuat Nina sengsara, Abyan setuju-setuju saja. Hitung-hitung bales dendam karena cewek itu sudah membuat Abyan merasa terbodohi setelah kejadian kabur-kaburan itu.

"Saya setuju aja, kalau itu buat Nina jera."

"Oke, makasih ya, Nak Byan." Suara Tante Anggie terdengar seperti ibu-ibu yang doyan gosip, nadanya yang tinggi membuat Abyan terkadang risi. Tak heran kalau Nina punya suara melengking, ya karena buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Abyan hendak mengakhiri sambungan tapi tiba-tiba suara Tante Anggie kembali terdengar.

"Oh, ya, kamu mau kan mantau Nina setiap hari?"


***


21 September 2017

KANAN - KIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang