"Di rumah lo ... ada itu nggak?"Alis tebal Abyan sontak bertaut, matanya menatap Nina seolah berkata: ya mana gue tau lah?
"Terus gue gimana?"
Kemudian Abyan berlalu mengambil sebotol air dingin di dalam kulkas, emangnya urusan gue?
"Woy lo jangan diem aja dong!!" Nina melilit bajunya, pantas saja sejak tadi perutnya terasa nyeri.
"Di depan gang ada minimarket, di samping lo ada jaket gue, duit ada kan?"
Nina menggigit kukunya kesal. Ini dia yang seharusnya kaum adam tahu. Mengalami hal ini setiap 28 hari sekali bukan lah perkara yang mudah. Tapi cowok jangkung yang ada di hadapannya sekarang menatapnya cuek. Mengunyah kacang, memberi saran yang sama sekali tak membantu, dan sedikit pun tak memberi empati terhadap dirinya.
"Gimana kalo lo yang beli?" tanya Nina sedikit ragu.
"Lo gila?"
"Nggak. Jelas-jelas lo yang gila. Gue lagi dalam keadaan kayak gini masih nyuruh gue jalan ke depan gang?"
"Yaudah terserah lo mau bilang gue apa."
Abyan tetap sibuk dengan kacang yang ia kunyah, menatap datar ke arah Nina untuk menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan perkara cewek itu saat ini. Namun Abyan mendapati pipi Nina memerah, tangannya mengepal di sisi tubuh yang sedari tadi berdiri, bahunya bergerak naik turun, lalu ia menangis layaknya anak berusia delapan tahun.
"Eh woy kok lo nangis?" tanya Abyan panik, amat panik. "Kalo lo nangisnya gitu bisa didenger tetangga," tak tahan dengan semua ini dia beranjak mendekati Nina.
Tangan Nina mengusap pipinya kemudian berujar, "bodo amat! Gue bakal nangis kenceng-kenceng sampe lo mau beliin itu buat gue!"
Dengan pasrah, Abyan menggosok telinganya dengan kasar. "Okay okay."
Mungkin ini lebih baik bagi cowok yang beberapa bulan lagi berusia 18 tahun itu. Dibanding jika tangisan Nina terdengar oleh tetangga dan membuatnya dikira sebagai pelaku kriminal terhadap perempuan di bawah umur. Dan benar, tangisan perempuan adalah kelemahan bagi laki-laki.
"Lo diem di sini, jangan nyentuh apapun, kalo bisa jangan bergerak."
Setelah mendapati cengiran dan anggukan dari Nina, cowok itu berjalan keluar dari rumahnya. Sekitar empat menit Abyan berjalan, ia sampai di mininarket yang letaknya memang tak terlalu jauh dari rumahnya. Kakinya melangkah masuk, mencari benda yang dibutuhkan oleh Nina. Tiga kali bolak-balik dan belum menemukan benda yang ia cari, sang petugas kasir berdeham keras-keras.
"Nyari apa, Mas?"
Dari lagaknya berbicara, cowok dengan poni menutupi dahi dan bertubuh pendek itu terlihat seperti laki-laki penyuka sesama jenis.
"Mas?"
Jadi Abyan membuyarkan lamunannya, berjalan mendekat, menggaruk belakang kepala yang tak gatal sambil berkata, "saya nyari itu, hmm yang sering dipake perempuan."
"Lipstick? Lip tint? Lip matte?"
"Bukan. Yang dipakenya setiap bulan ..."
Alis petugas kasir itu bertaut, menatap Abyan penuh bingung.
"Tolong ambilin, Mas, saya buru-buru," ujar Abyan dengan gelagatnya yang mulai salah tingkah.
"Mau yang warna pink apa yang warna orange?" tanya sang petugas kasir.
Duh jadi selama ini warnanya ngaruh?
Abyan menggigit bibir, "pink."
"Yang berapa cm?" Petugas kasir bertanya.
What the actual fuck???
"Aduh, saya nggak tau apa-apa soal ini, Mas."
Yang diajak bicara menghela napas panjang, "ya udah, mau yang ada sayap apa enggak?"
Astaghfirullah ...
Pasrah, Abyan berkata, "yang mana aja dah, Mas. Sumpah, yang mana aja. Saya nggak paham."
Tanpa protes, petugas kasir itu lantas membungkus pesanan Abyan kemudian memberikannya sambil berujar, "makanya kalo mau beli ini ajak lah ceweknya. Nyusahin."
Nyusahin.
Tepat setelah Abyan membayar lalu berjalan kembali dan sampai di rumahnya, ia melempar plastik itu ke hadapan Nina yang tengah bersantai di sofa dengan posisi tengkurap sambil menyantap kacangnya.
"Siapa yang suruh lo makan kacang gue?"
"Gue laper, abisan lo lama. Ngapain aja sih lo beli ginian doang lama? Pasti lo lama-lamain karena lo nggak ikhlas kan? Emang ya lo ituㅡ"
"Bacot," potong Abyan.
Alis Nina bertaut mendapati wajah Abyan yang terlihat sangat marah. Perasaan dia tak melakukan kesalahan fatal apapun sejak tadi.
"Gue mau ganti dulu bentar ye," ucap Nina akhirnya.
"Abis itu, lo pulang. Gue nggak ada mood ngajar orang kayak lo."
"Dih? Nanti kalo Bunda marah gara-gara tau gue nggak belajar sama lo gimana? Emangnya lo mau tanggung jaㅡ"
"Bacot. Gue suruh lo pulang ya pulang."
Nina meniup poninya, "yang pms gue, yang galak lo."
***
4 November 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAN - KIRI
Teen Fiction"Kalian berdua itu kayak kanan sama kiri; saling membelakangi, nggak sejalan, beda arah, intinya nggak bakal bisa nyatu." DONT COPYING MINE!