Bima, Bram dan seluruh tim penggerebekan sebuah pabrik Narkoba, akhirnya bisa bernapas lega. Pelaku utamanya tertangkap beserta beberapa anak buahnya, menyeret beberapa nama yang membuat tim itu bersuka cita. Untuk merayakannya, mereka mengadakan syukuran kecil-kecilan di sebuah café.
"BERSULANG," seru seluruh anggota tim hingga memenuhi ruangan. Mereka menyatukan gelas mereka, membenturkannya hingga isi dari gelas tumpah sebagian. Rona bahagia tergambar jelas di wajah-wajah lelah mereka.
"Keren juga kalian," seru Arif, sahabat dekat Bima dan Bram.
"Elo ngapain ikut kami disini? Lo bukan bagian kami." Bima menunjuk pintu dengan dagunya, meminta Arif meninggalkan ruangan itu.
"Mumpung aku lagi kosong. Lagian, mana bisa aku mengabaikan pesta kalian." Arif tertawa terbahak-bahak.
"Kemarin pas makan-makan setelah kasus pembunuhan berantai itu selesai, kamu lupa sama kami. Sekarang, ngaku-ngaku sobat. Sialan kamu." Bram melirik Arif, membuat pria itu menggaruk kepala belakangnya.
"Ya udah, aku pergi." Arif meletakkan gelas ke meja, ia hendak melangkah saat tiba-tiba Bima menendang kakinya dan Bram menempeleng kepala sahabatnya.
Meski demikian, Arif tidak marah. Ia justru tertawa terbahak-bahak bersama Bima dan Bram.
Sepeninggal Arif, dua sahabat - Bima dan Bram-di Badan Reserse Narkoba Polda Jatim ini duduk di sudut ruangan, memandang anggota tim mereka yang sedang menikmati makan siang istimewa.
"Fiuh, gue nggak nyangka penangkapan kali ini berat," kata Bima sambil melirik Bram. Bima pria Jakarta yang baru dipindah ke Surabaya beberapa bulan yang lalu. Ia bertemu Bram dalam beberapa kasus yang semakin mendekatkan hubungan keduanya.
"Iya, aku juga nggak nyangka. Kesuksesan kita kali ini berkat kekompakan tim kita, Bim." Tiba-tiba gawai yang ada di dalam saku celana Bram bergetar. Ia segera merogoh saku dan mengeluarkannya. Sesaat Bram memandang layar dengan wallpaper dirinya bersama seorang perempuan muda.
Bima sempat melirik layar gawai milik Bram. Ia menyangka foto gadis manis yang berpose merangkul leher Bram tersebut adalah pacar barunya. Bima sangat penasaran, ia memperhatikan Bram yang sedang berbicara dengan sangat serius.
"Iya ... iya. Selamat ulang tahun, Adikku sayang," ucap Bram setengah hati.
"....."
"Iya, Mas bakal kasih hadiah paling indah." Sesaat Bram memandang layar gawai sambil mencibir.
"....."
"Iya, boneka beruang coklat paling besar." Nada suara Bram meninggi, entah apa yang membuat pria itu naik darah.
"....."
"Banyak maunya, tak kepret kamu." Bram mendecak lalu menarik napas dalam-dalam.
"....."
"Sudah. Mas banyak kerjaan." Bram memutuskan telepon dan segera memasukkannya ke saku celana.
"Cewek lu?" tanya Bima. Ia kembali meneguk softdrink merah hingga tandas.
Bram mengambil gelasnya di meja dan segera meneguk isinya hingga tandas. Sesaat ia menerawang sebelum melirik Bima.
"Adikku. Kemarin dia ulang tahun." Bram meletakkan gelas kosong kembali ke meja.
"Yang di HP lu?" tanya Bima, semakin penasaran.
Bram menangkap nada penasaran dan sangat mungkin Bima tidak percaya ucapannya.
"Iya, yang kamu lihat di HP-ku. Adikku ... aku pulang dulu." Bram bangkit, ia segera meninggalkan Bima yang masih belum puas dengan jawaban Bram.
Bima meletakkan gelasnya di atas meja. Tiba-tiba ia sangat tertarik dengan adik Bram, sepertinya gadis itu luar biasa. Bima sudah biasa melihat Bram begitu ramah dan baik kepada setiap perempuan, tapi mengapa terhadap adiknya bisa sekasar itu. Seperti apa adik Bram?
"Gue ikut. Sekalian kenalan sama adek lu." Bima segera bangkit. Ia mengekor Bram keluar ruangan café itu.
***
Dua pria lajang berjalan di sebuah mall terbesar di kota Surabaya. Bima membawa boneka kelinci berwarna merah muda berukuran besar dan Bram membawa boneka beruang coklat yang ukurannya juga sama besar.
Beberapa pengunjung wanita dan SPG pameran mobil memandang kedua pria bertubuh tinggi besar itu. Dengan tinggi badan lebih dari seratus delapan puluh centi, wajar saja jika mereka lebih menonjol dari pengunjung lainnya. Meski demikian, keduanya tidak terusik, hal semacam ini sering sekali terjadi, terutama jika mereka berjalan berdua.
"Jadi benar yang di foto itu adik lu?" Untuk kedua kalinya, Bima menanyakan hal yang sama.
"Iya. Kenapa?" Bram menautkan kedua alisnya.
"Kenapa lu kagak ngenalin ke gue. Pantas saja selama ini lu ngelarang gue main ke rumah lu." Tuduhan itu sebenarnya hanya candaan garing, namun sepertinya Bram tidak menganggapnya demikian. Pria itu tidak menanggapi ucapannya, ciri khas Bram kalau tak ingin menjawab.
"Kamu pikir aku nggak tahu kelakuan bejatmu." Bram tidak benar-benar serius dengan ucapannya, tetapi sepertinya ucapan satir itu berbuah kemarahan tersendiri.
Bima merasa tersindir dengan ucapan nyinyir sahabatnya "Gue bukan lu. Gue manusia paling setia di bumi ini." Ia tertawa terpingkal-pingkal saat melihat Bram yang mendecak sebal.
Bram menghela napas berat, secara tidak langsung ia menyetujui ucapan Bima. Ia menerawang lalu melirik Bima yang berjalan santai dengan satu boneka di tangan kanannya.
"Adikku kelakuannya rada aneh. Ntar kalau kamu kenal dia, kamu bakal tahu sendiri gimana anehnya." Sekali lagi Bram menghela napas berat.
"Aneh gimana maksud lu?" Bima pikir ini akal-akalan Bram saja. Ia tidak mempunyai adik, tetapi ia bisa membayangkan bagaimana buruknya hubungan Bram dengan adiknya. Mungkin hal itulah yang membuat Bram kesal saat ditelepon adiknya tadi.
"Ntar juga tahu." Bram enggan berbicara, selanjutnya ia memilih diam dan membiarkan Bima berkelana dengan pikirannya.
***
Kiran berlari keluar rumah saat mendengar deru mobil Bram. Ia berdiri di teras sambil menunggu mobil benar-benar berhenti. Senyumnya sumringah, rasanya begitu tak sabar menunggu kakaknya keluar mobil.
Senyum Kiran semakin lebar saat melihat dua boneka besar ada di dekapan dua pria yang berdiri di depannya. Tanpa malu-malu, Kiran merebut boneka kelinci dari tangan Bima lalu mendekapnya erat.
Satu alis Bima terangkat, bibirnya mengulas senyum sempurna. Bima mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, namun alih-alih membalas jabatan tangannya, gadis itu justru menempel Bram dan mencuri pandang kepadanya.
Senyum gadis itu seperti listrik dengan jutaan volt yang menyetrum seluruh tubuhnya. Dadanya seperti habis terkena hujan es krim. Bahkan Bima masih merasakan kesejukannya, sekalipun gadis itu sudah masuk rumah bersama sang kakak. Perasaan apa ini? Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?
KAMU SEDANG MEMBACA
HE IS MY HUSBAND
RomanceBagi Bima, cinta tidak butuh alasan. Karena cinta pula, ia mengesampingkan segala keanehan Kiran dan mempersuntingnya. Namun siapa sangka, keanehan sang istri menyimpan sebuah kisah yang sangat kelam dan mengerikan. Seperti bawang, Bima harus mengu...