12 Januari 2016
Aku sudah berziarah ke makam Sheila sesuai dengan perintah Bos Laura. Dan memang aku merasa jauh lebih baik setelah melakukannya. Aku merasa kalau sepertinya aku sudah benar-benar bisa melepas kepergiannya.
Sekarang aku jadi kepikiran tentang perkataan Mama Muzun untuk mencari bunda baru buat anak-anak. Sungguh, ketika aku menikahi Sheila, tidak pernah terlintas sedikit pun bahwa nantinya kami akan berpisah seperti ini.
Aku selalu mengira kalau aku dan Sheila akan terus bersama-sama sampai tua nanti. Bahwa suatu hari nanti kami berdua akan duduk di teras, dikelilingi cucu-cucu kami. Tawa mereka tidak pernah berhenti. Sementara anak-anak kami sibuk bekerja atau memasak di dapur. Semua bayangan itu terus muncul di pelupuk mataku, menunggu untuk menjadi nyata. Lalu tiba-tiba, semua itu harus berakhir tanpa aku akhiri.
Aku harus memiliki umur yang panjang, supaya aku bisa melihat cucu-cucu kami demi Sheila. Dan aku akan menuliskan semuanya untuknya. Bagaimana Basil dan Iing tumbuh besar, lalu menikah. Kemudian mereka memiliki anak-anak yang sangat lucu dan pintar. Mungkin aku juga nantinya akan bisa melihat salah satu cucuku itu menikah dan memiliki anak.
Aku akan menuliskan semuanya semampuku untuk Sheila. Karena bagiku, pernikahan ini tetaplah pernikahan yang harus dijaga. Meskipun sekarang hanya tinggal aku saja. Aku tidak main-main dalam pernikahan ini.
Aku sudah berjanji. Bahkan sebelum aku bertemu dengannya. Ya, aku dan Sheila memang sudah dijodohkan dari awal oleh orang tua kami. Semenjak Mama Muzun resmi menyandang status sebagai seorang janda, ia begitu khawatir akan masa depan Sheila. Itu sebabnya wanita tua yang malang itu membujuk Ibu—sahabat sejatinya, agar mau menjodohkan Sheila denganku.
Waktu aku diberi tahu tentang perjodohan itu, tanpa ada keraguan sedikit pun aku menerimanya. Karena jauh di dalam diriku, aku tahu itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Rasanya waktu itu semuanya benar-benar tepat. Apalagi tidak lama setelah itu kami berdua memiliki Basil dan Iing. Aku jelas tidak perlu meminta apa-apa lagi. Hidupku sudah lengkap. Dan aku sudah melakukan sebaik mungkin untuk tidak kehilangan semua itu.
Tapi malam itu... malam itu aku seperti bukan diriku. Aku ingat, hari itu ketika aku baru bangun, aku langsung kesal setengah mati karena Sheila terus mengeluh kalau perutnya sakit. Aku hampir berteriak padanya ketika aku memintanya—atau lebih tepatnya menyuruhnya, untuk bersabar menungguku pulang dari kantor, baru setelah itu aku akan membawanya ke rumah sakit. Aku tidak mau bolos kerja. Aku tidak bisa. Apalagi Iing sudah mulai sekolah.
Aku langsung memutuskan untuk pergi ke kantor lebih awal, karena aku sudah tidak tahan mendengar keluhannya. Waktu itu aku benar-benar menenggelamkan diri di pekerjaanku hingga aku lupa kalau Sheila sedang membutuhkanku.
Aku baru sampai di rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.36, karena aku menerima tawaran untuk bekerja lembur, tergiur oleh janji atasanku yang akan langsung memberi uang lemburnya malam itu juga. Lalu aku ingat, Sheila masih menyambutku dengan hangat ketika aku pulang. Ia mencium tanganku, memberiku pelukan ringan seraya memijat bahuku, lalu menyiapkan makan malamku, lengkap dengan obat penenang sialan itu!
Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal sudah memperlakukannya dengan buruk hari itu. Hari terakhir ia bisa bernapas dengan udara yang sama denganku. Hari terakhir ia berpijak di tanah yang sama denganku.
Aku benar-benar suami yang buruk. Saking buruknya aku masih berpikir untuk menggantikan posisinya dengan perempuan lain.
Maaf.
Maafkan aku....
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Hardy [PUBLISHED IN A BOOK] ✅
Ficción General√ COMPLETED STORY You know I'm perfectly imperfect... And I just can promise you no promises. But please don't be afraid to give me the honour to take you as the bone of my bone.. because honestly, everything I desire in a wife is in you. -Mr. Ahmad...