29 Juli 2015
Saat aku kembali lagi ke rumah sakit, Sheila sudah dipindahkan ke ruang perawatan yang dekat dengan ruang operasi. Dan juga, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya, aku melihat dan mendengar Basil mengaji lagi menggunakan Al-Qur'an digital lewat hp-nya. Aku benar-benar terharu!
"Bun, Basil lagi ngaji buat kamu, Bun."
Aku benar-benar terharu sehingga aku harus meteskan air mata. Tanganku gemetaran, membuat camilan yang aku pegang terjatuh. Mendengar hal itu, Basil langsung berhenti mengaji.
"Yah?" serunya. Aku langsung memungut kembali semua camilan itu dan kemudian mengusapkan lengan bajuku ke wajahku untuk menutupi bekas tetesan air mataku. Dengan mantap aku lalu memasuki ruangan itu.
Ruangan yang juga terlalu sempit, terlalu terlalu putih, tetapi steril. Hampir sama dengan ruangan dokter Nizar. Hanya minus kertas-kertas, dan meja dari kayu jati diganti dengan meja dari plastik.
"Ayah beli apa aja?" tanyanya antusias. Aku langsung menyerahkan semuanya kepadanya supaya dia bisa melihatnya sendiri. "Roti sobek, keripik kentang, kacang, kopi, orange water. Wah, lengkap! Enak buat begadang!" Mendengar itu, aku lansung menjitak kepalanya.
"Gak ada begadang-begadang, ya! Kamu kalau gak mau pulang, tidur di mushola. Nanti pagi Ayah belikan bubur buat kamu sarapan." Sebelum anak itu sempat protes, aku menambahkan, "kamu harus tidur! Ayah gak mau kamu bolos sekolah! Kamu harus ngasih contoh ke Iing, kalau apa pun kondisinya, pendidikan itu tetap dijadikan prioritas!"
Basil berdecak pinggang mendengarnya, tapi setidaknya dia menuruti perintahku. Dia langsung pergi ke musala untuk tidur, meskipun dia tetap membawa semua camilan itu tanpa menyisakan apa pun untukku.
Syukurlah anak itu, meskipun aku sudah jarang mendidiknya secara langsung, masih mau patuh denganku. Dalam situasi seperti ini, aku memang membutuhkan dia untuk patuh, supaya kami berdua bisa saling membantu. Terutama mengenai Iing. Perhatian kami semua sekarang terpecah. Dan putri kecilku itu tidak terbiasa tanpa kehadiran bundanya.
"Bun, sebenarnya kamu kenapa, sih?"
Aku ingin membuat pikiranku merangkai kejadian demi kejadian yang kami sekeluarga alami selama seminggu ini. Berharap bisa menemukan sesuatu yang mungkin masih bisa aku perbaiki lagi.
Semua kekacauan ini, rasanya datang terlalu mendadak, dan menyeretku ke dalam kegelapan. Setiap detik semakin gelap. Setiap detik semakin sulit bagiku untuk menemukan cahaya dan jalan keluar. Lalu aku sadar, bahwa itu hanya aku yang tertidur.
Aku terbangun ketika mendengar suara azan subuh. Aku tidak langsung ke musholla. Aku menunggu sampai ada suster yang lewat untuk aku mintai tolong supaya menjaga Sheila sementara aku salat. Aku juga masih harus membeli bubur untuk Basil.
Singkat cerita, ketika Basil sudah pulang ke rumah untuk bersiap-siap ke sekolah, dokter Nizar memanggilku lagi ke ruangannya. Aku benar-benar terkejut dokter muda itu mau datang sepagi itu untuk menangani Sheila.
"Pak Hardy," katanya. "Saya akan memulai operasi pagi ini, jam sembilan. Tolong diselesaikan dulu adminstrasinya. Nanti, satu jam sebelum sebelum operasi saya akan memeriksa kondisi istri Anda. Tapi, saat ini saya harus menangani pasien-pasiesn saya yang lain. Tolong, dimaklumi."
"Ya, Dok. Terima kasih. Kalau begitu, saya akan mengabari ibu mertua saya," ujarku. Tapi suaraku terdengar aneh. Bahkan bagiku sendiri. Aku kemudian kembali lagi ke ruang perawatan Sheila, dan langsung menelepon Mama Muzun. Wanita tua yang malang itu tidak bisa menahan tangisnya, bahkan sebelum aku mengucapkan salam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Hardy [PUBLISHED IN A BOOK] ✅
Genel Kurgu√ COMPLETED STORY You know I'm perfectly imperfect... And I just can promise you no promises. But please don't be afraid to give me the honour to take you as the bone of my bone.. because honestly, everything I desire in a wife is in you. -Mr. Ahmad...