3. Ancaman

981 60 8
                                    

    Iqbaal menyeruput sedikit susu jahe yang dipesannya. Matanya terus terfokus pada Violin yang kini ada dihadapannya.

    Keduanya saat ini tengah berada di warung makan pinggir jalan.

    "Orang tua gue selalu berantem. Entah itu masalah sepele atau bukan" Ucap Violin dengan mata menerawang, sementara Iqbaal hanya memasang telinganya tajam-tajam.

    "Dan tadi, puncak dari semua pertengkaran yang selama ini terjadi," ucap Violin tercekat, lengannya terangkat, mengusap sudut matanya yang kembali mengeluarkan air mata, "Mama minta cerai, dan Papa setuju." Ucap Violin semakin tercekat, air matanya pun semakin cepat berjatuhan.

    "Gue nggak mau mereka pisah, gue nggak bisa pilih harus dengan siapa gue hidup." Violin menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menyembunyikan isak tangisnya yang kembali terdengar begitu memilukan.

    "Jangan nangis," Ucap Iqbaal dan mengusap lembut kepala Violin, "lo harus bisa ngertiin posisi mereka, kalo emang dengan pisah itu jalan yang terbaik buat mereka, lo harus dukung" Ucap Iqbaal pelan.

    Violin mendongakkan kepalanya menatap Iqbaal, "lo bisa bilang kayak gitu karena lo nggak pernah ada diposisi gue Bal!" Bentak Violin frustasi.

    Iqbaal menghela napas dan menarik Violin ke dalam pelukannya, mengusap lembut kepala Violin, "iya. Gue emang nggak pernah ada diposisi lo, tapi lo harus coba ikhlasin, mungkin ini jalan terbaik buat nyokap bokap lo"

    Violin terisak dengan lengan melingkar erat dipunggung Iqbaal, membekap mulutnya pada dada bidang Iqbaal, "gue harus gimana Bal?"

    Tak ada yang bisa Iqbaal katakan, karena memang ia tak pernah ada diposisi Violin, dan yang bisa ia lakukan adalah mengusap punggung Violin, berusaha memberi sedikit ketenangan pada gadis yang kini terlihat begitu rapuh.

    "Gue yakin lo bisa, lo cewek kuat Vi" bisik Iqbaal meyakinkan.

    Entah kenapa, bisikan Iqbaal itu seakan obat paling ampuh untuk Violin, dalam sekejap ia bisa mengendalikan isak tangisnya, tapi ia masih saja memeluk Iqbaal, menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Iqbaal.

    "Iqbaal?"

    Iqbaal menoleh saat suara seorang gadis tiba-tiba menyerukan namanya. Begitu melihat siapa gadis yang baru saja memanggilnya itu, refleks Iqbaal segera menjauhkan Violin dari pelukannya.

    "Salsha?" Panggil Iqbaal kaget, "lo ngapain disini?" Tanyanya kaku.

    Salsha mengernyit dengan wajah mengintrogasi, "gue yang harusnya tanya, lo ngapain malem-malem disini? Pake pelukan segala sama dia" sinis Salsha dengan mata menatap Violin tak suka.

    "Gue bisa jelasin Sha, gue nggak ada apa-apa sama Violin, gue cuma bantu dia doang" ucap Iqbaal berusaha menjelaskan.

    Salsha tersenyum miring, "bantuin apa sampe peluk-pelukan kayak tadi?"

    "Sha, gue beneran nggak ada apa-apa sama Vio, jangan–"

    "Emangnya urusan sama lo apa?" Tanya Violin, memotong ucapan Iqbaal.

    "Ini emang bukan urusan gue! Tapi lo mikir dong, lo jalan sama cowok sahabat gue, dasar murahan!" Bentak Salsha kesal.

    "Sha percaya sama gue, gue sayang sama Steffi, jadi nggak mungkin gue nyelingkuhin dia sama Vio" Ucap Iqbaal.

    Salsha menggelengkan kepalanya tak habis pikir, "jahat lo ya Bal, pokoknya mulai sekarang, jangan pernah deketin Steffi lagi! Gue bakal bilang semuanya ke Steffi!" Desis Salsha penuh ancaman dan berlalu pergi.

PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang