5. Violin butuh Iqbaal

844 46 2
                                    

    Iqbaal menghentikan motornya di parkiran rumah sakit, dia akan menjenguk Violin sekarang. Karena sore tadi, Tiara menghampirinya dan memohon kepadanya untuk menjenguk Violin. Violin tidak mau makan apapun sejak pagi. Tiara mengharapkannya bisa membujuk Violin makan.

    Iqbaal melangkah menyusuri lorong rumah sakit yang sudah cukup sepi, hanya beberapa orang yang berlalu lalang di tempat itu. Di lengannya ada sekeranjang buah yang dibelinya di jalan tadi.

    “Permisi” Ucap Iqbaal seraya membuka pintu ruangan Violin.

    Tiara yang sedang duduk di sofa ruangan pun melangkah mendekati Iqbaal, jari telunjuknya ada di depan bibirnya. Menginterupsi Iqbaal untuk tidak mengeluarkan suara terlalu kencang. Tatapan mata Iqbaal tertuju pada Violin yang tengah berbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan selang infus di lengan kirinya.

    “Kita ngobrol di luar aja” kata Tiara. Iqbaal mengangguk dan kembali melangkah keluar yang diikuti Tiara.

    “Orang tuanya cerai” ucap Tiara beberapa saat setelah dia duduk di kursi tunggu dengan helaan napas panjang. Iqbaal yang mendengar ucapan itu hanya mengangguk, karena memang Violin sudah menceritakan itu kemarin. Yang ia maksud adalah, kenapa Violin bisa sampai di rumah sakit.

    “Dia frustasi. Mungkin, Vio udah nusuk nadinya sendiri pake beling kalo gue telat dateng semenit aja” Ucap Tiara seraya menunduk, air matanya menetes meskipun dengan segera dia menghapusnya, “dia sendirian Bal” lirih Tiara dan mulai terisak.

    Iqbaal mengangkat lengannya, menepuk bahu Tiara yang bergetar hebat. Helaan napasnya terdengar berat, lalu apa yang harus dia lakukan sekarang?

    “Jagain dia, gue mohon” Ucap Tiara lantas menatap Iqbaal dengan air mata mengalir

    Iqbaal terdiam beberapa saat, “gue gak bisa Ra, gue punya Steffi”

    Tiara menatap Iqbaal dengan tatapan memohon, “nyawa Vio lebih penting Bal daripada Steffi. Lo harus tau, kalo dari kecil Vio gak pernah dipeduliin sama keluarganya. Dan sekarang, dia benar-benar dibuang sama orang tuanya sendiri. Sementara Steffi? Steffi punya orang tua yang lengkap, jadi apa gak boleh Steffi ngerelain lo buat Vio? Buat cewek yang hampir mati karena kesepian?” Ucap Tiara bergetar, air matanya semakin deras mengalir.

    “Kenapa harus gue Ra? Lo kan tau gue punya Steffi, dan gue sayang banget sama dia. Gue gak mungkin nyakitin cewek yang gue sayang”

    “Karena cuma elo satu-satunya harapan Vio, lo cowok yang disukain Vio, Bal. Dia tulus sayang sama lo. Dan gue yakin, kalo Vio sama lo, dia akan merasa punya tujuan hidup. Dia akan merasa kalo dia gak sendirian. Dia butuh lo Bal, gue mohon” Ucap Tiara dan menggenggam erat tangan Iqbaal, “demi nyawa Vio” lanjutnya memohon.

    Iqbaal melepaskan lengan Tiara lantas melengos. Helaan napasnya terdengar berat, berat sekali rasanya. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

    “Gue gak bisa Ra, gue gak bisa kalo gue harus jadian sama Vio dan ninggalin Steffi. Gue gak mau, gak bisa, dan gak akan pernah bisa nyakitin orang yang gue sayang” kata Iqbaal seraya bangkit. Dia memberikan keranjang buah bawaannya pada Tiara dan berniat untuk segera pergi.

    “Gak punya hati lo Bal, lo lebih milih cewek lo daripada nyelamatin nyawa orang” kata Tiara.

    Iqbaal menghela napas berat dan berbalik. “Akan lebih gak punya hati, kalo gue nyakitin orang yang gue sayang.” Kata Iqbaal. “Lagipula, Vio itu punya lo, lo sahabatnya kan? Harusnya lo bisa buat dia sadar, lo harus bisa pegang tangan dia saat dia salah arah. Sahabat macam apa yang justru minta bantuan orang lain? Lo mau lepas dia ke gue gitu aja? Sahabat macam apa lo?”

    Tiara terdiam mendengar penuturan Iqbaal. Hatinya sakit, perkataan tajam Iqbaal cukup menghantam hati juga kerongkongannya.

    “Dan bilang sama sahabat lo, gak lucu naruhin nyawa cuma karena ngerasa sendirian” tukas Iqbaal dan berlalu pergi. Dia tidak habis pikir dengan tingkah konyol kedua cewek itu. Bukannya Iqbaal tidak punya hati. Tapi sungguh, tidak lucu main-main dengan perasaan. Karena dia tidak memiliki perasaan apapun pada Violin, satu-satunya cewek yang dia suka cuma Steffi.

    Iqbaal melajukan motornya menjauhi rumah sakit dengan kecepatan tinggi. Perasaannya tidak karuan, rasanya tidak tega melihat Violin sakit, tapi dia tidak punya keberanian menyakiti Steffi dan hatinya sendiri.

    “Kenapa harus gue sih?” Gumamnya dengan helaan napas kasar.

***

    Steffi terduduk di balkon kamarnya. Dia memeluk lututnya sendiri, matanya menatap langit yang terlihat kelabu. Sepertinya akan turun hujan. Untuk kesekian kalinya, helaan napas berat keluar dari mulut Steffi. Pikirannya berkecamuk, memikirkan pacarnya yang entah sedang apa di sana.

    “Kenapa lo nyebelin banget sih Bal?” katanya dengan helaan napas yang lagi-lagi terdengar berat. “Kalo lo ada masalah, harusnya cerita. Bukan ngomongin sesuatu yang gak jelas, gue gak suka” katanya lagi. Kali ini, dia menyimpan dagunya pada kedua lututnya.

    Sampai beberapa menit, Steffi tetap seperti itu. Tidak ada gerakan apapun. Hingga tiba-tiba saja hujan turun, dan tatapan kosong Steffi langsung menatap setiap rintik hujan. Tidak berarti memang, tapi entah kenapa dia tetap melakukannya.

    Tiba-tiba, ponsel Steffi bergetar. Ada panggilan masuk. Dia melirik sedikit ponselnya, nama Iqbaal yang tertera di sana. Tapi Steffi tidak mengangkatnya. Dia masih sangat kesal pada cowok itu.

    Beberapa kali Iqbaal menelponnya, tapi Steffi tetap tidak mengangkat. Sampai Iqbaal berhenti menelponnya dan mengirimkan satu pesan singkat.

    Steffi segera mengambil ponselnya dan melihat isi pesan tersebut.

Iqbaal
085xxxx

Udah tidur? Atau masih marah sama aku? Maaf kalo kamu marah, tapi aku gak bermaksud apa-apa. Jangan lama-lama ya marahnya❤

    Steffi menghela napas dan menyimpan kembali ponselnya tanpa berniat membalas pesan cowok itu. Sampai beberapa detik kemudian, satu pesan lagi masuk ke ponselnya, dari Iqbaal juga.

Iqbaal
085xxxx

Jangan lupa, besok aku turnamen. Kamu janji kan mau nemenin aku? Jangan marah terus ya❤

    Steffi berdecak sebal dan kembali menyimpan ponselnya. Cowok itu sungguh menyebalkan. “Kenapa gue harus ngambek pas ada acara penting gini sih?”

Bersambung...
Vote dan komentarnya guys
Jangan lupa follow juga, hehe✌
Salam, Erna

PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang