8. Tentang Violin

556 39 13
                                    

Violin terduduk sendirian di sudut ruangan kamarnya. Air matanya merembah di pipi, melihat pesan yang baru beberapa menit lalu dia terima.

Besok Papa akan menikah dengan Tante Yuli. Kamu menginap ya di rumah Tante Yuli, nanti malam Papa jemput.

Sepersekian detik, benda elektronik berbentuk persegi itu sudah terlempar ke depan. Dia menangis terisak sembari memeluk lututnya sendiri. Bagaimana tidak? Belum dua minggu perceraian kedua orang tuanya, dan sekarang ayahnya sudah mau menikah lagi? Dia sebagai anaknya baru di beritahu H-1? Keterlaluan bukan?

"Berengsek!" Umpatnya disela isak tangis.

Ponselnya yang tadi di banting berbunyi. Namun dia masih bergeming, menangis lebih menyenangkan kali ini dari pada benda canggih itu.

Bermenit-menit terus seperti itu. Hingga akhirnya dia bangkit. Sebisa mungkin bersikap kuat. Men-sugesti-kan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Langkah kakinya terayun mendekati pintu. Menekan handel pintu lantas keluar, hendak mengambil air minum. Namun langkahnya harus terhenti di tengah anak tangga, tubuhnya gemetar melihat ibunya yang kini terduduk di ruang tengah, tidak sendirian, melainkan bersama seorang laki-laki.

"Ma" panggil Violin pelan.

Wanita paruh baya itu menoleh, berbarengan dengan lelaki di sampingnya. "Sini Vi, Mama mau kenalin kamu sama Om Reza" ujarnya senang.

Apa lagi ini?

Dengan langkah berat, Violin berjalan mendekati ibunya. Terduduk tepat di samping ibunya.

"Za, ini Violin, anakku" ujar ibunya pada lelaki yang terlihat beberapa tahun lebih muda dari ibunya.

Reza tersenyum manis seraya mengulurkan tangannya, "halo Vio" sapanya riang.

Violin masih bergeming, Om Reza di matanya lebih pantas di panggil Kakak.

"Vi!" Peringat ibunya tajam.

Mau tak mau, Violin menjabat uluran tangan Reza, "Vio" ujarnya singkat.

"Nanti malam, kamu ikut Mama sama Om Reza makan malam ya" ucap ibunya antusias, "ada hal penting yang mau Mama bicarakan sama kamu" lanjutnya lagi, sekilas menatap Reza dengan senyum manis.

Violin mengembuskan napas sesak, "masalah pernikahan kalian?" Tebaknya sarkastis, "Mama punya malu gak sih? Dia lebih cocok jadi Kakak Vio daripada Papa baru!" Nada bicaranya meninggi.

"Vio!" Bentak ibunya murka, "jangan kurang ajar kamu!"

Air mata Violin mengalir di pipi, kerongkongannya tercekat, seolah batu besar menghantamnya, membuatnya kesulitan untuk bisa bernapas. Sebenarnya, dia sudah sangat muak dengan berbagai permasalahan dalam hidupnya. Sejak kecil, tidak pernah ada kasih sayang yang dia dapat. Tidak ada senyum manis yang dia lihat setiap kali akan pergi ke sekolah, tidak ada omelan yang dia dengar setiap kali pulang terlambat. Violin hidup sendirian selama ini, tak satupun lengan ayah atau ibunya menggenggamnya.

"Lo! Jangan coba-coba ganggu nyokap gue!" Ujar Violin dingin pada Reza.

Baru sedetik setelah Violin menyelesaikan ucapannya, pipinya sudah mendapat tamparan keras dari ibunya.

"Anak tidak tahu diri! Menyesal saya melahirkan kamu ke bumi!" Bentak ibunya marah.

Reza merangkul bahu ibu Vio, menenangkan. "Gak pa-pa, Vio butuh waktu" ujarnya lembut.

"Gak bisa Za! Anak kurang ajar kayak dia gak bisa terus-terusan di diemin," ucap ibu Violin menggebu-gebu, "sifat Papa kamu! Nurun semuanya ke kamu! Manja, egois, keras kepala, kurang ajar! Semuanya! Gak ada satupun sifat Mama yang nurun ke kamu!" Bentak ibunya lagi.

PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang