6. Asumsi

827 46 5
                                    

    Pukul 4 sore. Steffi dan Iqbaal sedang duduk berhadapan di sebuah kafe. Sudah sekitar 30 menit mereka saling diam. Steffi masih marah, meskipun tadi dia mengantar Iqbaal turnamen, tapi tetap saja dia masih kesal pada pacarnya itu.
Perlahan, Steffi meminum sedikit jus mangga pesanannya. Lantas, dia memainkan ponselnya tanpa menghiraukan Iqbaal sama sekali. Sementara Iqbaal terus menatap pacarnya. Beberapa kali dia menghela napas panjang, bingung bagaimana cara meminta maaf pada Steffi.

    Steffi tertawa melihat foto-foto yang dikirimkan Salsha. Sahabatnya itu sepertinya sedang bete, makanya mengirimkan foto-foto lucu padanya.

    “Kenapa sih yang? Pengen liat dong” kata Iqbaal. Steffi tidak menyahuti, dia hanya melirik Iqbaal sedikit, lantas kembali fokus pada ponselnya.

    “Udahan dong marahnya, maaf deh kalo aku salah” kata Iqbaal memelas, wajahnya memberengut, kedua lengannya terlipat di atas meja.

    Steffi mendelik sinis, “kalo?” katanya sebal.

    “Iya aku salah”

    “Ngeselin tau gak?!”

    “Iya.” Wajah Iqbaal menunduk, seolah dia seorang anak kecil yang pasrah dimarahi oleh ibunya karena ketahuan mencuri es krim. Hingga beberapa detik kemudian, tawa Steffi pecah. Dia tidak tahan lagi melihat wajah Iqbaal yang sangat menggemaskan. Sementara Iqbaal justru menatap Steffi heran, “kenapa?” Tanya Iqbaal heran.

    “Muka kamu gak usah gitu Bal” Steffi merengek di sela aktivitas tertawanya, “gemes” lanjut Steffi lagi dengan wajah memberengut.

    Iqbaal ikut tertawa, lengannya terangkat mengusap-usap rambut Steffi gemas, “gitu dong ketawa, kan aku seneng liatnya. Daripada cemberut terus”

    “Kamu jangan ngeselin! Kalo ada masalah tuh bilang! Bukan kode-kode gak jelas” kata Steffi dan Iqbaal mengangguk patuh. Lengan Iqbaal terus mengusap-usap rambut Steffi. Sungguh, bertengkar dengan Steffi adalah hal paling menyebalkan untuknya.

    “Maaf ya kalo bikin kamu kesel terus”

    Steffi mengangguk, “maaf juga kekanak-kanakan, egois, gampang ngambek susah dibujuk. Aku kan emang gini orangnya” Steffi nyengir sendiri.

    “Nggak apa, aku emang harus susah dapetin maaf kamu. Biar gak kebiasaan nyakitin kamu terus. Lagipula, emang kodratnya aku sebagai cowok buat ngejauhin kamu dari sikap kamu itu.” Kata Iqbaal panjang lebar. Steffi hanya meringis kebingungan. Bahasa Iqbaal terlalu sulit dia cerna.

    “Kamu ngomong apa sih?”

    Iqbaal terkekeh gemas dan kembali mengacak-acak rambut Steffi. “Intinya, tugas aku buat kamu bahagia.” Iqbaal tersenyum manis, sangat manis sampai-sampai, Steffi merasa pipi nya panas. Darahnya mendesir, kenapa Iqbaal bisa semanis ini? Sungguh, dia merasa sangat beruntung bisa dicintai sedalam ini.

    “Kamu kenapa sih Bal? Selalu bikin aku merasa jadi cewek paling beruntung di dunia ini. Stop bikin aku melting” kata Steffi seraya merengek. Lengan nya bergerak menutupi seluruh wajahnya.

    Melihat tingkah Steffi, Iqbaal justru tertawa. Pacarnya itu memang selalu menggemaskan, “aku yang beruntung punya kamu Steff”

***

    Hari Minggu, Steffi dan Salsha sudah berada di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Mungkin hanya untuk melepaskan penat mereka karena seminggu kemarin, tugas mereka benar-benar menumpuk. Apalagi, Steffi adalah ketua cheerleader yang harus memfokuskan para anggota-anggotanya untuk pertandingan nanti.

PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang