Biru: 5d

35 6 0
                                    

Semampunya aku tetap diam,
Menerima semuanya dengan lapang dada.
Tapi aku juga punya batas.
Mempertahankanmu dengan diamku,
Atau
Melepasmu dengan kejujuranku?

-- Biru.

□■■■□

Pagi kembali menyapa Biru dengan sinar sendu yang masih malu-malu lewat celah daun berair. Lembut, sejuk dan nyaman. Biru suka. Langit keemasan masih diam seakan enggan beranjak menjadi terang yang menyilaukan.

Setiap pagi, Biru selalu membiasakan diri untuk menjernihkan pikirannya dengan melihat ke atas, pada lahan luas yang selalu Biru suka. Mencoba melupakan semua masalahnya meski tidak akan berefek apa-apa ketika kepalanya kembali menatap ke depan. Tapi Biru selalu berusaha. Tidak salah 'kan?

Biru dengan semua peralatan sekolahnya telah berdiri di tepi jalan guna menunggu angkot. Selama hampir lima belas menit akhirnya angkot pun datang. Dengan hati-hati Biru mendudukkan diri dalam ruang lingkup sempit yang menyesakkan. Tapi peduli apa? Biru tidak berniat untuk mendumal, dia hanya berniat mencari ilmu. Itu saja.

Dan Biru menikmati prosesnya dengan baik, dengan penuh syukur dan rasa bahagia masih bisa merasakan jenjang pendidikan meski setelah ini dia tahu, rintangan di depan mata penuh dengan lika-liku. Juga masalahnya yang akhir-akhir ini semakin pelik dengan adanya berbagai pembicaraan di luar kewajaran. Privasi Biru seakan terusik.

"Neng, turunnya di sini atau ke timur saja?"

Biru tersenyum sopan seraya menjawab, "di sini saja Pak."

Begitu Biru turun dan membayar uang angkot, dia langsung menyebrang jalan menuju sekolah yang masih harus berjalan sedikit. Biru memang tidak minta dijemput Dhani meski cowok itu sudah memaksanya, tapi Biru bersikeras akan tetap berangkat sendiri dan alhasil Dhani pun mengalah.

Setelah sampai Biru bisa bernafas lega karena waktu masuk masih kurang lima belas menit lagi. Dengan itu Biru menaiki tangga perlahan menuju lantai tiga tempatnya menimba ilmu.

"Kamu serius?!"

Biru mengernyit mendengar nada sedikit tinggi yang berasal dari lantai tiga, tujuannya. Ingin melanjutkan langkah tapi ragu takut ketahuan, mau diam saja nanti dikira menguping. Dilema Biru rasakan. Akhirnya Biru duduk di anak tangga dengan tangan memegang buku paket yang dirinya letakkan tepat di samping kiri.

Berulang kali Biru menghela nafas, karena bosan. Biru menahan keinginan untuk melangkah saat di dengarnya orang tadi masih berdiri di sana dengan obrolan yang sebenarnya tidak Biru mengerti.

"Nash, jangan ambil kesimpulan sendiri, kamu...."

"Dia berubah sejak dekat sama kamu, Dhan!"

Deg!

Nash dan Dhani.

Biru ingin pergi, lari dan sembunyi. Kenapa semuanya sampai seperti ini? Ini bukan salah siapa-siapa, ini salahnya. Tapi Biru tidak tahu harus apa?

"Nash, kamu salah pah-," lagi omongan Dhani terpotong dengan cepat oleh Nash.

"Salah paham apa? Setiap malam kalian chat-an 'kan?" ada nada sinis di sana saat Biru merapatkan diri ke tempok guna menahan berat badan yang mulai melemas, "itu yang salah paham? Aku tahu kamu suka sama dia tapi nggak gini, Dhan. Merebut dia...."

"Cukup!" kini giliran Dhani yang memotong omongan Nash membuat cowok itu mendengus, "entah siapa yang sudah mengomporimu sampai menuduh orang lain yang salah. Apa kamu pernah memikirkan perasaannya? Selama ini dia selalu ada buat kamu, tapi kamu selalu main-main dan lebih memilih teman-teman busukmu itu."

Biru memegang dadanya dengan erat. Sesak dan sakit perlahan menyusup mendengar emosi Dhani. Biru tidak mengerti apa maksud Dhani dengan teman busuk itu.

"Teman busuk?" Nash memiringkan kepala sebelum melanjutkan perkataannya, "apa pernah kamu bercermin? Kamu yang teman busuk!"

"Percuma ngomong sama kamu, keras kepala dan egois udah menjadi temanmu."

Deg!

Suara kedua orang itu menghilang dan Biru bisa bernafas lega meski ada secuil rasa penasaran dalam dirinya soal perkataan terakhir Nash. Teman busuk? Apa maksudnya?

Dengan berat hati setelah melemaskan otot-ototnya yang tegang, Biru melangkah pelan dengan kepala menunduk. Menghindari tatapan anak-anak koridor yang dilewatinya menuju kelas. Saat baru beberapa langkah, seseorang mencekal pergelangan tangan dan membawanya pergi tanpa kata.

Biru tahu cepat atau lambat akan ada sesi ini dalam hidupnya yang penuh drama. Sesi yang selalu membuatnya ketakutan dan memilih diam.

Ruang OSIS SMA MAWACH memang tidak cukup besar tapi rapi dan nyaman. Ruangan ber-backround hiasan tangan itu menjadi pemandangan utama Biru selain bangku dan buku-buku yang berjejer rapi di sudut-sudut tertentu. Dan seseorang yang sejak tadi menatapnya diam.

"Biru," hanya lirikan sekilas sebelum Biru memutus kontak mata dan beralih pada map-map panjang di sudut ruangan bertuliskan nama jabatan ketua osis. Mengabaikan Dhani yang masih tetap menatapnya tanpa putus, "kamu tadi dengar 'kan?"

"Soal apa?"

Ada senyum tipis di bibir Dhani sebelum dirinya beranjak dan mendekat pada cewek itu, "semua yang aku bicarakan sama Nash."

Biru mengangkat alis seakan penekanan Dhani pada nama Nash tidak berefek apa-apa padanya. Seakan semudah itu Biru melupakan dan terbiasa dengan namanya.

"Jangan berbelit-belit, Dhan. Cepat katakan aja," meski Biru tahu ucapannya tidak akan digubris, Biru tetap mempertahankan sifat egoisnya.

"Sifat ini yang akan menghancurkanmu, Ru. Sifat munafik kamu."

Dan skakmat! Biru tidak bisa lagi berpura-pura seakan semuanya benar dan baik-baik saja. Dhani tahu semuanya tanpa perlu Biru beri tahu. Cewek itu pun menghela nafas dan membalas tatapan Dhani dengan pedih.

"Kamu tahu aku nggak sekuat itu menerima semuanya, kamu tahu itu Dhan. Aku takut," sekuat apapun usahanya, Biru tetaplah sosok manusia biasa yang tidak bisa mengendalikan apapun. Apapun. Termasuk sebuah rasa yang awalnya sangat dirinya antisipasi, "kamu tahu aku bagaimana Dhan, sebisa dan sebertahan apapun. Aku tetap kalah sama keegoisanku."

Dhani tidak berkata lagi, mulutnya tertutup rapat mendengar perkataan Biru. Bohong kalau Dhani tidak tahu tapi dia bisa apa? Biru sudah mempercayainya tentang segala hal yang terjadi pada cewek itu. Semuanya termasuk kisah kelamnya.

"Apapun usaha kamu untuk membujuknya, itu percuma Dhan. Ada tembok diantara kami dan aku juga tahu akhirnya seperti apa."

Kembali Dhani hanya diam, rasanya cowok itu ingin mengguncang tubuh yang semakin hari semakin kurus itu dengan kekuatannya. Dhani ingin Biru sadar atas semua hal.

"Aku bukan orang baik Biru," akhirnya setelah berperang dengan batinnya, Dhani mengucap hal yang seharusnya Biru sadari sejak dulu, "benar kata Nash, aku teman busuk."

"Aku tahu," cowok itu melebarkan matanya. Sedangkan Biru terkekeh kecil seakan kata-kata Dhani tadi adalah lelucon lucu yang baru pertama kali dirinya dengar, "mana mungkin cowok yang suka hunting tiap malam bisa dikatakan anak baik-baik."

Dhani mendengus pelan lalu ikut terkekeh. Temannya memang aneh. Birunya aneh, "tapi aku mau kamu tahu Biru. Sesuatu tentangku dan Nash."

Butuh waktu atau mengulurnya, sebuah kebenaran akan terungkap pelan-pelan tapi pasti.

Namanya Biru, dia selalu bertahan dalam keadaan apapun. Tapi bukan berarti dia tidak bisa memberontak. Dan saat itu tiba, hanya satu yang akan tersisa. Penyesalan.

□■■■□

*Kamu seperti hujan. Datangnya memberi sejuk.
Tapi di saat bersamaan memberi dingin yang menusuk.
Kamu seperti api. Dari jauh terasa hangat.
Tapi terasa membakar ketika dekat.

Rahasia, sebuah kata yang artinya terlarang.

Biru. End!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang