Biru: 7a

26 5 0
                                    

Ada kamuflase menarik dari setiap orang.
Mereka akan menyebar senyum lebar lewat mulutnya.
Tapi dalam tatapan mata,
Semua itu hanya omong kosong belaka.

-- Dhani.

□■■■□

Mendung.

Langit kembali memberi warna kelabu bagi bumi. Menutup semua akses matahari yang akan menyentuhnya. Seakan mendungnya memberi gambaran akan keadaan sebenarnya dari langit yang siap menumpahkan lahar dinginnya.

Seperti Biru.

Bagi cewek yang sedang dalam keadaan kacau sepertinya, berpikir jernih itu sulit. Meski telah berusaha sekuat tenaga, tetap saja kalah oleh emosi yang kata orang adalah kelemahannya. Air mata. Iya, Biru menangis, tidak kencang sampai semua orang harus mendengar isaknya. Hanya bahunya yang bergetar tapi bagi orang yang berpengalaman jelas hal itu menjadi bukti yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

Juga bagi Dhani. Seseorang yang senantiasa berada di dekat Biru. Hanya diam, membiarkan sahabatnya itu menumpahkan apapun yang hendak Biru buang. Karena sebagai seorang sahabat, Dhani tahu kapan memberi Biru sebuah petuah atau diam saja seperti sekarang.

Mendung masih mendominasi langit, percikan gerimis perlahan merembes sedikit demi sedikit ke tanah lembab. Dua anak Adam itu masih setia dalam posisi duduk menatap tenangnya air waduk di depan mereka. Cukup tenang sebenarnya mengingat saat ini tengah gerimis meski hanya berupa lambaian angin. Tapi efeknya masih bisa dilihat oleh mata.

Dhani ingat saat dirinya hampir kehilangan jejak Biru begitu cewek itu keluar dari ruang Osis. Awalnya, Dhani kira Biru akan ke atap tapi untunglah cowok itu cepat-cepat melihat pergerakan Biru yang berlari keluar gerbang sekolah. Membolos untuk pertama kali. Dan Dhani tetap mengikutinya.

Cukup lama dalam posisinya, Dhani melirik sahabatnya yang masih menangis dalam diam. Jika boleh jujur, Dhani ingin sekali menghentikan tangisan Biru dengan cara apapun. Karena menurutnya, tangis Biru seperti racun yang perlahan menggerogoti tingkat kesabaran Dhani yang tipis layaknya kain. Tapi sekuat tenaga ditahannya sampai Dhani merasa serba salah sendiri.

Memang bukan salah Dhani, tapi semua yang menimpa Biru juga karena tindakannya dulu, "maaf, aku salah."

Jika Dhani berharap mendapatkan respon maka dia akan kecewa karena Biru memilih saat itu untuk menangis dalam sekala yang cukup kencang. Dan Dhani tidak tahu harus apa selain berusaha mengontrol emosi dan kepalan tangan yang mengerat.

"Aku ... rindu Ayah," dan perkataan Biru sukses membuat Dhani bungkam dengan nafas tertahan.

Mungkin jika bukan Dhani, kalimat yang terucap oleh Biru adalah sebuah teka-teki tentang di mana Ayah seorang Biru berada? Tapi bagi Dhani hal itu lebih dari apa pun. Karena untuk pertama kalinya sebagai seorang sahabat Dhani mengetahui jika selama ini alasan yang membuat Biru selalu bisa bertahan dalam keadaan apa pun adalah sosok yang sudah lama pergi, Ayahnya.

"Kenapa ... kamu diam saja? Kamu terlalu pintar bersembunyi," cowok itu menatap sahabatnya yang sudah mulai tenang, bahkan posisi cewek itu sudah berubah memeluk lututnya sendiri dengan kepala menelungkup.

"Karena kamu tahu, aku tidak selalu kuat."

Dan Dhani tidak berkata lagi. Dia diam menatap Biru dengan helaan nafas kasar, sepertinya Dhani sadar jika Biru yang saat ini bersamanya adalah sosok yang tidak peduli. Sosok yang sejak dulu dia cari-cari dari seorang Biru.

Biru. End!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang