Biru: 10.

26 4 0
                                    

Meninggalkan yang lalu butuh perjuangan.
Sama seperti mengejarmu untuk mendapatkan.
Kesempatan.

***

Minggu kesekian dari banyaknya waktu yang terbuang sia-sia. Ternyata tidak cukup meredam rasa takut dan khawatir ketika kita mampu melihat satu sosok penting yang coba kita abaikan atau sekiranya kita hindari.

Ternyata memang semenakutkan itu ketika tanpa sadar, tanpa diaba-aba waktu bergulir dengan sendirinya dan semesta seakan membantu menentukan tepatnya kapan itu terjadi.

Dalam hening menggila, mereka terduduk tenang dengan pandangan fokus pada apa yang mereka liat. Hampar tenang air laut dan ombak-ombak manja yang membelai kaki tergantung.

Diujung dermaga yang dinaungi semburat cantik sang jingga, mereka duduk terdiam dengan pikiran masing-masing. Entah untuk menikmati waktu yang terbilang terbatas itu atau memang mereka hanya ingin menikmati saat-saat menenangkan seperti kilas yang mereka rasakan dulu.

Perlahan sedikit demi sedikit matahari pamit pada bumi untuk pergi yang mana hanya menyisakan ruam-ruam senja di ufuk barat. Dan waktunya untuk memulai kembali apa yang telah terlatih dan dihafalkan diluar kepala. Menyeruakkannya ke permukaan.

Masih hening atau malah bisa disebut sepi, karena keduanya memang masih saling diam. Seperti menimang akan memulai dari mana atau malah siapa yang akan memulai?

Huft.

Ternyata sesulit itu hanya untuk membuka mulut. Oh please mereka bahkan sudah kehilangan moment penting itu hanya untuk mengejar siapa yang berhak bicara dan siapa yang harus mendengar.

Kalau terus begini, siapa yang akan mengalah?

Nash menghembuskan nafas, sepertinya istilah ladies first tidak berlaku bagi cewek disamping kirinya itu. Dengan menimang baiknya memulai dari mana, Nash tak bisa menahan muka kagetnya ketika Biru dengan tiba-tiba meletakkan beberapa permin di perbatasan duduk keduanya.

Hanya begitu tanpa embel-embel menawarkan, Biru kembali bergelut dengan pandangan di jauh sana, seakan mengabaikan keberadaan Nash atau malah sebenarnya cewek itu menunggunya untuk memulai.

Nash tersenyum tanpa sadar, keterkejutan tadi ternyata adalah awal percakapan seriusnya.

"Sulit ya menebak isi pikiranmu," Nash memulai dengan pandangan pada ombak manja diujung kaki.

"Jangan ditebak, nanti salah terus ngambek," balas sang cewek dengan fokus tetap pada ruam-ruam manis di kejauhan.

"Hm," lirikan itu dia beri sebagai alasan kedua kenapa harus ada penghujung manis dari pertemuan ini, "maunya dimulai dari mana?"

"Semua hal ada alasannya. Jadi, mulai dari alasan kenapa semuanya begini?"

Terdiam kaku, tertohok dan merasa tertampar. Dia kecewa karena yang didengarnya diluar ekspektasi. Bukan sebuah tuntutan tapi sebuah keharusan.

Justru karena itu alasannya, alasan yang nggak ada sangkut pautnya denganmu.

Seharusnya Nash mengucapkan itu dengan lantang, tapi mengingat dia bicara dengan Biru maka cowok itu sebisa mungkin memberi jawaban yang benar tapi tidak terkesan berputar.

"Dendam."

Mata itu meliriknya sebelum menghembuskan nafas kasar, mungkin Biru lelah dengan alasan-alasan klise seperti ini.

"Nggak ada hubungannya denganmu."

Biru diam saja, ingin mendengar cerita dari sudut pandang Nash. Karena Biru ingin mengerti dari segala aspek dan posisi orang-orang yang terlibat dengan masalahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Biru. End!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang