Prologue
.
.
.
Ou(rin)ran– Break The Ice
Story © zhaErza
.
.
.
Sesosok laki-laki terdiam, memejamkan kelopak mata. Ia sudah nyaris sembilan tahun tinggal di dalam penjara bawah tanah yang pengap dan jauh dari kata nyaman. Tak ada lampu minyak di dalam selnya, hanya ada penerang dari obor yang berada di setiap sisi dinding lorong, yang cahayanya terpantul masuk dari pintu besi dan jendela kecil di bagian atas. Sisanya berasal dari cahaya bulan purnama yang mengintip malu-malu dari celah satu-satunya jendela seukuran kepala. Petakan yang selalu menampilkan setitik dunia luar dan menemani hari-harinya di balik dinding batu berpintu besi.
Embusan napas terengar, ia duduk menyandar di bagian tergelap sudut dinding yang ada di sel. Tidak tertidur, di saat bulan purnama ia tidak akan pernah tidur maupun merasa lapar. Beberapa saat terus terdiam, laki-laki yang masih mempertahankan posisinya dan tak ada niatan untuk bergerak, tiba-tiba mendengar suara langkah terburu-buru. Suara tersebut semakin dekat, dan bunyi pintu besi yang terbuka pun menjadikan sang lelaki sadar bahwa itu adalah selnya. Tanpa harus melihat, ia tahu bahwa ada seseorang yang dihempaskan masuk.
"Dasar gadis sialan, dia bahkan tidak menangis atau memohon ampun sepanjang hukuman cambuk!" samar-samar, gerutuan para penjaga yang menyeret penghuni baru selnya pun masih terdengar.
Laki-laki itu masih diam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Gadis tersebut awalnya tak menyadari, namun lama kelamaan telinganya menangkap suara napas yang mengembus. Tubuh Arran merinding seketika, gadis itu mencari seseorang yang berada di sel yang sama dengannya.
Berdiri dengan tertatih, Arran dengan kaki gemetar mulai berjalan dan mendekati asal suara yang didengarnya, embusan napas.
Yang dilihat oleh mata abu-abu Arran adalah kegelapan pekat di sudut dinding, ia tak melihat apapun, namun ia yakin di sana ada seseorang. Dengan jari telunjuk bernoda darah kering, Arran mencoba meraup-raup kegelapan itu, meyakinkan diri kalau di sana tak ada apa-apa, tetapi telunjuknya menyentuh sesuatu mirip rambut, namun sangat kasar.
"Ah!" Arran terkejut, ia terjatuh dan mundur ke belakang.
Napasnya sekarang terengah, ia ketakutan.
Apakah itu adalah monster?
Tubuh Arran bergetar, luka-luka di kakinya yang sepanjang jalan tak memakai sepatu dan diseret-setet paksa oleh pengwal kini terbuka lagi, namun Arran tak peduli.
Sosok itu mendengarkan, seorang gadis yang tak mau berteriak ketika menyadari kehadirannya, hanya suara napas terengah-engah yang ditangkap telinga. Karena penasaran, tak jua mendengar suara sang gadis setelahnya, Ourin yang bersandar di sudut sel tergelap pun membuka kelopaknya. Mata keemasan terlihat bersinar di tengah kegelapan sel yang hanya diterangi pantulan cahaya obor.
Ourin melihat seorang gadis, yang terduduk dan ketakutan menatap sorot mata keemasan bercahaya yang ia punya. Gadis itu hanya diam, tubuhnya penuh luka lebam dan noda darah, sebelah matanya bengkak dan membiru, sudut bibirnya robek, hidungnya masih menyisakan mis merah. Alis Ourin mengerut melihat keadaan gadis asing yang menempati selnya ini. Apakah dia disiksa sepearah itu?
"Kenapa luka-luka itu memenuhi tubuhmu?" Ourin berbicara, suaranya berat, namun tak menakuti.
Mendapatkan pertanyaan sedemikian, Arran terdiam, menatap lamat sosok yang bersembunyi di dalam kegelapan, mata emas itu saja yang terlihat olehnya dan perlahan ia mendekat. Sekali lagi, Arran menggerakkan tangannya, mencoba meraih sosok itu.
Apakah itu monster?
.
.
.
Berada di tempat yang berbeda, di singgasana sang raja muda, duduk sang penguasa yang masih berusia 19 tahun, alisnya berkerut kesal. Tak tahu darimana gadis yang telah menyakiti miliknya yang berharga itu bisa tahu nama makhluk terkutuk yang akan membusuk di penjara bawah tanah.
Ourin− gadis itu mengumamkan nama lelaki biadap itu. Rasa marah langsung menguasainya, membuat kalap dan dengan tangannya sendiri memberikan hukuman cambuk kepada gadis berambut kemerahan.
Selain itu, yang membuat ia semakin kesal adalah sang gadis yang tak juga mengemis pengampunan darinya, bahkan tak berteriak atau mengeluarkan air mata. Menjadikan ia semakin murka dan dengan senang hati memberi pelajaran kepada gadis berambut merah itu.
"Tu-an O-urin." Gadis itu berbisik lagi, dan dengan tendangan terakhir, Ouran− sang raja muda mendecih dan mengumpat.
"Aku adalah Ouran, Berengsek. Bawa dia ke sel makhluk terkutuk itu, biarkan dia hidup di sana sampai ajal menjemputnya." Ouran menghela napas, mengambil handuk hangat dari dayang dan mengelap jari-jarinya yang kotor karena menyentuh gadis berambut merah, yang masih memandangnya dengan sorot mata tak tertebak atau menunjukkan rasa ketakutan. Memuat ia kesal dan geram setengah mati.
.
.
.
.
.
Prologue
End
.
.
.
.
.
Erza note:Haloooo akhirnya Ourinran bisa dipublish masih berupa prolog ya hehehe. Biar saya semangat ngetik. Yukkk berikan kesan dan pesan juga krisar kaloan terhadap prolog ourinran.
Hehe
Salam sayang dari fans Ourin.
zhaErza
KAMU SEDANG MEMBACA
Ou(rin)ran - Break The Ice (End)
Fantasy#HR25Fantasy Ourin dan Ouran, dua kakak beradik berbeda ibu. Yang satu adalah Raja muda Kerajaan Ferifatyn dan yang satu lagi anak yang tak diakui sang ayah; Raja Sahraverta keenam. Ouran Liam Sahraverta yang membenci sang kakak dan seorang Ra...