Chapter 4

179 71 36
                                    

"Ibu.. Naid lapar.." keluh Naid.

Beruntung ibu Naid masih punya sedikit uang hasil jualan lentera kemarin. Mereka pun pergi ke kios roti di pinggir jalan.

"Mbak, Rotinya berapa ya satu?"

"£15 bu."

Ibu Naid tertegun karena roti kecil yang polos itu dijual seharga £15.

"Naid, maaf ya kita pergi ke tempat lain saja, roti disini sepertinya tidak enak."

Ibu Naid tidak ingin anaknya sedih karena membeli roti saja tidak mampu. Padahal sebenarnya Naid tahu uang yang mereka punya hanya £10 sehingga tidak cukup untuk membeli roti itu.

"Maaf ya mbak saya tidak jadi beli roti nya, permisi."

Tiba-tiba ada seorang pemuda memegang tangan Ibu Naid.

"Tunggu bu, biar saya belikan rotinya."

"Ini mba, saya beli 5 ya rotinya."

"Semuanya £75 pak."

"Ini uangnya, kembalian nya di ambil aja."

"Bu, ini rotinya silahkan diambil"

"Ah, tidak usah nak, saya bukan pengemis."

"Tidak apa-apa, bu. Saya ikhlas kok memberi."

"B-Baiklah, nak. Kalau begitu terima kasih ya."

"Iya, Bu. Sama-sama. Mari bu kita cari tempat duduk dulu."

•••

Mereka pun pergi ke taman kota dekat kios roti tadi untuk berbincang-bincang.

"Ibu tinggal dimana sama anaknya?"

"Dulu kami tinggal di rumah susun, tapi kami sudah diusir karena sudah nunggak 2 tahun. Sekarang kami tidak punya tempat tinggal."

"Saya turut sedih dengarnya bu. Ngomong-ngomong nama ibu siapa? itu anaknya, bu?

"Ah, nama saya Maria. ini anak saya satu-satunya, namanya Naid. Dia yang menjadi tulang punggung keluarga semenjak ayahnya pergi dari rumah. Ayo kenalan, Naid."

"Halo, aku Naid. Nama kakak siapa?"

"Aku Rion. Salam kenal ya, Naid."

"Iya. Makasih ya, kak sudah belikan kami roti."

"Iya. Sama-sama. Oiya bu, Ayah saya pemilik perusahaan yang cukup bergengsi, beliau punya rumah susun khusus untuk para pekerja-pekerja nya. Kalau mau, ibu bisa kok saya bantu untuk tinggal disana."

"Wah kamu pasti anak orang kaya ya, Rion. Sebenarnya, Ibu mau tinggal di sana, tapi..."

"Masalah biaya ya bu? Ibu tak perlu khawatir, Ibu bisa tinggal di sana selama yang ibu mau kok."

"Benarkah nak?"

"Iya bu. Mari bu saya antar ke sana."

"Sekali lagi makasih ya, nak. Kamu ini baik banget padahal kita belum pernah kenal sebelumnya."

"Iya bu, sama-sama."

•••

Di kantor perusahaan Ayah Rion.

"Francesca, Ayah saya dimana ya?"

"Oh, Pak direktur sedang keluar, Tuan. Barusan saja tadi beliau pergi."

"'Memangnya ayah pergi kemana?"

"Saya kurang tau, Tuan. Tadi saya cuma disuruh selesaikan tugas saya."

"Oh kalau begitu makasih ya."

"Maaf ya bu, ayah saya sedang keluar. Tapi saya akan antar ke rumah susun nya, nanti baru saya beritahu ayah saya."

"Aduh, maaf merepotkan nak Rion."

"Tidak apa-apa, bu. Mari."

•••

"Ini tempat yang sedang kosong, bu. Maaf kalau ruangan nya mungkin agak sempit dan kurang nyaman."

"Tidak apa-apa, nak Rion. Ini sudah lebih dari cukup untuk kami berdua. Makasih ya, nak Rion. Kami pasti akan balas semua kebaikan nak Rion."

Ibu Naid tunduk dan bersujud di kaki Rion.

"Makasih ya, nak."

"Bu, saya jadi tidak enak. Tidak apa-apa kok, bu anggap saja rumah sendiri. Saya ikhlas kok membantu ibu. Tidak perlu sampai sujud menyembah saya."

"Ibu tidak tahu harus berbuat apa lagi, nak. Makasih ya, nak Rion."

"Iya bu, kalau begitu saya tinggal dulu ya. Oh iya, kalau ada apa-apa bisa temui saya. Rumah saya tidak jauh kok dari rumah susun ini. Tanya saja pada bapak pekerja disini."

"Tunggu dulu, nak. Ibu juga mau bekerja disini. Menjadi pembantu juga tidak apa, nak."

"Nanti saya tanyakan pada ayah saya ya, bu. Kalau begitu saya permisi dulu."

•••

Tak lama kemudian, Ayah Rion pun kembali ke kantornya. Dengan segera Rion pergi menemui ayahnya.

"Ayah, ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

"Ada apa, nak?"

"Pulang kuliah tadi, aku bertemu seorang ibu dan anaknya tengah mengantri di kios roti dekat sini. Aku kasihan padanya, Ayah. Ia tidak punya tempat tinggal. Jadi, aku membantunya untuk tinggal di rumah susun kita. Apakah boleh?"

"Boleh nak. Tapi, ayah mau bertemu dengan nya dulu. Ngomong-ngomong siapa nama ibu dan anaknya itu?"

"Namanya Ibu Maria, kalau anaknya namanya Naid."

Ayah Rion terdiam sejenak untuk berpikir.

"Baiklah, kalau begitu ayah izinkan mereka tinggal di sana untuk sementara. Kalau butuh sesuatu berikan saja apa yang mereka butuhkan. Oh iya, satu lagi, anak nya itu harus bersekolah. Francesca yang akan mengurusnya. Kau bisa pulang sekarang."

"Baik, terima kasih Ayah. Tapi, Ibu Maria juga ingin bekerja di sini."

"Begitu ya? Hmm.. Dia bisa bekerja menjadi juru masak disini. Itupun kalau dia mau."

"Baiklah, nanti akan kutanyakan padanya."

Rasa kedermawanan seorang pemuda bernama Rion itu ternyata mengalir dari ayahnya sendiri. Membantu rakyat kecil meskipun posisi mereka sekarang berada di 'atas'. Tak di sangka, dibalik semua itu terdapat 'kepalsuan' terbesar yang pernah ada yang dengan sengaja ditutup-tutupi.

to be continued.

Roda Yang Tak Pernah BerputarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang