IDK: 24

365 24 7
                                    

IDK: Dua Puluh Empat

#AuthorPOV
  
   Menunggu kedatangan Danish, Shalsa memesan segelas green tea.

   Minumannya sudah berkurang setengah gelas, namun belum ada tanda-tanda kehadiran Danish.
Shalsa cemas, pikiran-pikiran negatif memenuhi otaknya.
   Kemudian, Shalsa memutuskan untuk menghubungi Danish. Namun, nomornya tidak aktif.

Deggg...

   Ia mencoba untuk tetap berpikiran positif, meskipun sudah bisa di pastikan bahwa Danish tidak akan datang. Shalsa mencoba menelepon Danish sekali lagi. Namun, tetap saja nomornya tidak aktif. Dan bodohnya, Ia tetap saja menunggu. Karena ia yakin, Danish pasti akan mengabarinya jika tidak jadi.

Di pojok lain cafe itu, ada dua orang yang sedang mengamatinya. Tetapi, ia tidak menyadarinya.
  
   Sudah tiga jam berlalu, namun Danish tak kunjung tiba. Pengunjung cafe juga sudah semakin sepi, tapi Danish belum juga menunjukkan batang hidungnya.
   Ingin rasanya Shalsa menangis di sana, moodnya sudah benar-benar rusak, ia meletakkan uang di mejanya tanpa mengambil uang kembaliannya, dan kemudian keluar meninggalkan cafe itu.

   Shalsa menarik gas menuju taman yang biasa di kunjunginya. Di sana sepi, tak ada satupun orang. Shalsa menyadari bahwa kali ini, ia kecewa. Danish tidak menepati janjinya. Seharusnya ia membatalkannya dari awal jika memang tidak bisa. Sekali lagi, Shalsa mencoba menghubungi Danish dan akhirnya, di angkat.

"Halo," Danish memulai percakapan.

"Kalau emang ga bisa, kenapa ga di batalin dari awal aja, kak?" tanyanya. Ia membuat nada suaranya santai.

"Maaf Shafir, kakak ga bisa ngabarin. Tadi pas kakak udah siap-siap, Adel datang ke rumah, minta temenin beli persiapan untuk surprise nyokapnya. Jadi, karena kakak pikir itu lebih penting, kakak langsung ikut Adel buat beli bahan-bahan yang di butuhkan. Lupa kalo hp-nya ketinggalan, jadi ga bisa ngabarin."

"Aku ga penting ya, Kak?"

"Bukan gitu, Shafir. Kamu ngertiin aku dong. Aku sahabatan sama Adel udah lama, jauh sebelum kita kenal. Aku juga udah dekat sama orangtuanya, aku udah nganggap otang tuanya kaya orangtua aku sendiri. Jadi aku rasa, itu lebih penting. "

"Iya, aku ngerti, kak. Tapi, apa kakak gak mikirin gimana perasaan aku. Tiga jam itu ga bentar loh, kak. Aku tau Kak Adel emang lebih penting, aku mah apa? Tapi, setidaknya kakak juga mikirin gimana perasaan aku, kak. Nunggu tiga jam terus orang yang di tunggu ga datang-datang itu, sakit loh kak, hehe. Kenapa kakak ga pinjem hp Kak Adel aja buat ngabarin?"

"Kakak ga kepikiran soal itu, kamu sekarang dimana? Kakak ke sana ya?"

"Iya lah ga kepikiran, aku kan ga penting. Ga perlu ke sini, ga penting."

  Shalsa memutuskan panggilan sepihak, kemudian ia mematikan handphonenya. Ia tal bisa membendung tangisnya, akhirnya tangisnya tumpah.
"Apa gue terlalu berlebihan? Menurut gue tidak. Mengapa dia tidak mengabari dari awal? Apa gue emang bener-bener ga penting?" tanya Shalsa dalam benaknya.

   Shalsa tidak menyadari bahwa ada dua orang yang sedang mengamatinya sekitar dua puluh langkah dari tempatnya.

"Dia nangis, gue ga bisa biarin dia nangis sendirian. Tapi, gue ga bisa ke sana, untuk sekarang gue ga mau dia tau." ujar seorang laki-laki kepada seorang perempuan.

   Di bawah temaram bulan yang hampir di tutupi oleh awan, Shalsa menangis. Ia menangis kecewa. Embusan angin yang semakin kencang yang menerpa wajahnya, menimbulkan rasa dingin itu di abaikannya. Shalsa benar-benar kecewa, Danish ternyata menganggapnya tidak penting. Lalu? Apa maksud perlakuan Danish selama ini? Ntahlah, Shalsa juga bingung.

"Bentar lagi hujan, lo ke mobil, ambil payung. Abis itu lo balik lagi ke mobil, biar gue aja yang di sini," ujar laki-laki yang sedang mengawasi Shalsa.

   Setetes, dua tetes, tiga tetes, dan seterusnya. Air hujan mulai jatuh, hingga lebat, tapi tak di hiraukan Shalsa. Gadis itu masih menangis, memikirkan kejadian tadi. Memikirkan Danish yang tega memmbuatnya menunggu lama.

   Laki-laki itu sudah tidak tahan lagi, ia pun akhirnya berlari menggunakan payung untuk memayungi Shalsa. Shalsa menyadarinya dan menoleh ke belakang. Ia sedikit kaget, mengapa tiba-tiba ada laki-laki ini. Tapi, ia tidak mampu untuk mengeluarkan suara, lidahnya kelu.

"Lo ngapain kaya orang bego, sendirian. Udah tau ujan, bukannya neduh malah diam di sini," ujar laki-laki itu.

Shalsa masih diam, memilih untuk tidak bicara.

"Buruan ke mobil, gue antar deh, ya."

"Lo ngapain di sini?" akhirnya Shalsa mengeluarkan suara.

"Ntar aja gue jelasin, sekarang lo ke mobil dulu. Biar gue antar ke rumah Andini."

"Lo tau dari mana kalau gue ke rumah Andini?

"Udah ga usah banyak nanya, gue udah basah nih, dingin."

"Gue mau disini aja, mending lo pergi aja deh."

"Ga usah bego, ini hujan. Ntar lo sakit, buruan ke mobil! Apa perlu gue gendong?"

"Apa peduli lo? Lagian ngapain lo di sini? Lo ngikutin gue?"

"Gue ga peduli sih sebenernya. Ga usah geer, gue ga ngikutin lo. Kebetulan aja gue lewat, terus ngeliat cewe bego duduk sendirian, udah tau hujan malah ga neduh. Buruan ke mobil, hujannya makin deras."

"Gue ga penting. Jadi, mending lo pulang aja jangan mikirin gue."

"Lo mau gue gendong apa mau jalan sendiri?"

"Gue mau di sini aja!" Teriak Shalsa.

"Ohh, jadi lo mau gue gendong?"

"Batu banget sih, ya udah. Gue bisa jalan sendiri."

"Lo tuh yang batu."

Shalsa mengabaikannya dan ia berjalan ke mobilnya, di  susul oleh laki-laki itu.

Saat telah sampai di mobil Shalsa, "Mana kunci mobil lo? Biar gue yang antar."

Shalsa menyerahkan kuncinya kepada laki-laki itu.

***

Hayoooo, siapa ya cowo itu??? Secret admirernya Shalsa kah?

Gimana nih jadinya hubungan Danish sama Shalsa? Berlanjut atau udahan?

Hmm...

I Don't Know - One love,two religionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang