IDK: Dua Puluh Lima
Sepanjang perjalanan, layar handphone Shalsa terus menyala menandakan ada yang menelepon.
"Kalo ada yang nelpon tuh, angkat."
"Males."
"Ga nangis lagi lo? Perasaan tadi di taman lo nangis kejer kaya orang yang abis di tinggal suaminya mati."
"Lo mau gue nangis lagi?"
"Jangan deh, ntar gue ga fokus nyetir. Sekarang aja lo udah mirip mak lampir. Ga tau deh gimana menyeramkannya lo kalo nangis lagi," ujar laki-laki yang sedang menyetir di sebelahnya itu.
"Sialan lo, orang lagi sedih malah di ejek. Turun gih, biar gue nyetir sendiri aja."
"Dihh.. Gitu aja ngambek. Lo ke rumah Andini kan?"
"Kok lo tau sih? Jangan-jangan lo fans gue?"
"Ga usah ke-GR-an deh lo. Gue nebak doang."
"Serah lo, gue lagi ga mood buat ribut sama lo."
Kemudian, keadaan di mobil hening seketika. Shalsa bergelut dalam imajinasi liarnya, sedangkan laki-laki itu fokus menyetir. Sesekali melirik ke arah Shalsa sambil tersenyum. Ia lupa sejak kapan rasa itu muncul.
***
Setibanya mereka di rumah Andini, ia mendapati Danish yang sedang duduk di atas motornya. Saat keluar dari mobil, Shalsa langsung berlari tanpa menghiraukan laki-laki yang tadi menyetir mobilnya dan tanpa mendengar teriakan Danish memanggil namanya. Untungnya pagar rumah Andini tidak di gembok, membuatnya mudah untuk masuk.
"Shafir, tunggu," teriak Danish.
Salsha mengabaikan teriakannya.
"Kita perlu bicara," teriaknya lagi.
Shalsa menoleh, mungkin jika tidak memikirkan rasa malu pada tetangga-tetangga Andini, Salsha tidak akan menghiraukan Danish.
"Ga ada yang perlu di bicarakan, semuanya udah jelas. Aku ga penting, aku mau masuk." ucap Shalsa.
"Tunggu, Shafir. Kita benar-benar perlu bicara."
"Ga denger ya? Semuanya udah jelas, jadi kita ga perlu bicara apa-apa lagi. Makasih buat semuanya," Shalsa langsung berlari sambil menangis ke dalam rumah Andini.
"Argghhh," ujar Danish geram.
Laki-laki yang sedari tadi menjadi penonton, berjalan mendekati Danish seraya berkata, "Udahlah, mending lo pulang aja. Dia perlu waktu buat tenangin diri."
"Lo ga tau apa-apa, jadi ga usah ikut campur."
"Iya, gue ga tau. Gue ga tau kalo Salsha nungguin cowo brengsek kaya lo sampai berjam-jam. Gue ga tau kalo Shalsa tadi nyetir mobil ngebut banget dan hampir aja nabrak orang. Gue ga tau kalo tadi Shalsa pas tadi hujan nangis kejer di taman. Gue ga tau itu," ucap laki-laki itu.
"Shut up!" Kemudian Danish mengambil motornya dan menarik gas kencang. Pikirannya kalut, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
***
Shalsa menangis sejadi-jadinya di kamar Andini. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya pada hubungan mereka. Dia benar-benar kecewa pada Danish, karena membiarkannya menunggu cukup lama dan kemudian membatalkannya. Jika Danish membatalkannya karena ada hal yang benar-benar masuk akal, mungkin Salsha tidak akan seperti ini.
"Apakah aku terlalu berlebihan dalam menanggapi hal ini?" pikirnya.
Andini yang duduk di kursi kamarnya tidak mau banyak bicara. Ia takut salah bicara, karena keadaan Shalsa yang sedang seperti ini membuatnya menjadi lebih sensitif.
"An, gue salah ga sih kaya gini?" Tanyanya tersedu-sedu, sambil berusaha menahan tangisnya agar tidak tumpah lagi.
"Coba jelasin dulu ke gue."
Kemudian Shalsa menjelaskan semuanya, sebenarnya Andini memang sudah tahu karena tadi ia ikut bersama laki-laki itu, ia hanya tidak mengetahui apa yang dikatakan Danish melalui telepon.
"Jadi? Dia lebih ngutamain Adel si ondel-ondel itu?" Tanya Andini, yang entag sejak kapan nama Adel berubah.
Shalsa hanya mengangguk sambil terisak, ia sedang berusaha menenangkan diri.
"Menurut gue sih lo wajar-wajar aja sih kalo kaya gini. Gue juga pasti bakal ngelakuin hal yang sama. Emangnya Si Ondel itu ga bisa nyiapin sendiri apa? Terus itu Si Balok Es ga jelas tuh kenapa juga dah? Udah tau bikin janji, malah dibatalin. Mending kalo bilang dari awal, lah? ini? Apa banget dah," Andini berceloteh panjang lebar saat melihat Shalsa sudah sedikit lebih tenang.
Salsha hanya diam, melamun.
Tiba-tiba Andini tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa, An?" Tanya Shalsa.
"Coba lo ngaca deh."
Kemudian Shalsa mengikuti perintah Andini, ia pun berjalan ke arah kaca.
"Huaaaaaaa," Shalsa menjerit melihat penampilannya yang sudah benar-benar kacau. Mata bengkak, hidung merah, dan rambut yang acak-acakan.
Tawa Andini semakin menjadi-jadi.
"Andiniiii, ga usah ngetawain gue!"
"Mau gue snapgram-in ga, Shal?" tanya Andini yang masih belum bisa menghentikan tawanya.
"Liat aja kalo lo berani," Ancam Shalsa.
"Cuci muka gih."
***
"Jadi? Gimana sama hubungan kalian?" tanya Andini.
"Ga tau deh, An. Kalo sekarang gue mah tergantung dia aja. Tadi aja udah keliatan kalo gue bukan prioritas buat dia."
"Gue sih berharap yang terbaik aja deh ya buat lo. Gue saranin, kalo dia mau ngajak lo bicara, mending lo dengerin dulu penjelasan dia. Biar ga jadi kesalahpahaman."
"Btw, sekarang udah pukul 2 malam, lo ga berniat mau tidur? Gue udah ngantuk banget nih," tambah Andini.
"Lo duluan aja."
Di tengah-tengah kesunyian dengan di temani suara detak jam yang tergantung di dinding kamar Andini, Shalsa merenung, di dalam benaknya ada ribuan kata-kata yang berisi tanda tanya, namun tak ada satupun cara untuk mengungkapkannya.
Sebenernya laki-laki itu siapa sih? Tunggu jawabannya di next part yaa :)Sedih nih hubungan Shalsa Danish mulai renggang :"
Jangan lupa vote and comment yaa😘😘, maafkan kalo ada typo 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Know - One love,two religions
Teen FictionPerbedaan itu indah bukan? Coba aja bunga di taman cuma ada satu warna, pasti kalian bosen kan ngeliatinnya? Itulah di perlukan adanya perbedaan, biar kita bisa tau bahwa perbedaan itu indah. Tapi, kadang perbedaan itu juga menyakitkan. Seperti hubu...