Satu minggu cuti menikah yang di ambil Aira benar-benar seperti di neraka. Radit selalu menyudutkannya dan membuat segalanya menjadi masalah.
Jika ada kesempatan sekecil apapun itu, maka Radit akan menghinanya. Tapi sekarang, Aira sudah kembali bekerja. Itu lebih baik.
Setidaknya Aira bisa mengalihkan emosinya dengan mengajar anak-anak muridnya. Jika bisa, Aira tidak mau menghabiskan waktu di ruangan yang sama dengan Radit.
"Mau kerja Bu?" Tanya Radit saat melihat Aira sedang sarapan memakai seragam kerjanya.
"Hmm"
Pasti ngehina lagi. Batin Aira.
"Mau ngajarin anak muridnya cara nyari uang pake jalan pintas ya?"
Tuh kan!
"Aku berangkat" Aira sudah jengah dan tidak ingin lagi mendengar ucapan Radit lebih lama lagi.
"Naik angkot aja yah. Jangan buang-buang duit naik taxi"
Aira menggertakan giginya. Dia sudah tidak tahan lagi.
"Permisi bapak Radit. Saya mau naik taxi, naik bus atau angkot, itu urusan saya"
"Maaf Ibu Aira, tapi uang yang anda gunakan itu uang keluarga saya. Saya nggak mau uang keluarga saya habis hanya untuk membiayai wanita yang mata duitan dan so polos seperti anda. Anda pikir, menikahi saya berarti anda mendapatkan kekayaan keluarga saya? Anda salah besar!"
Aira menyiram Radit dengan air putih yang ada di sampingnya. Membuat Radit membelalakan matanya mendapat perlakuan kasar dari Aira.
"Jaga mulut kamu!" Tegas Aira.
"Kenapa? Memang benar kan?"
"Kamu nggak tahu apa-apa" desis Aira.
"Nggak tahu apa-apa? Sudah jelas kamu menikahiku karena uang!"
"Ya! Aku menikahimu memang karena uang! Karena apa lagi? Memang apa yang membanggakan darimu? Benar aku menikahi kamu untuk melunasi hutang-hutangku. Tapi apa kamu lebih baik dariku? TIDAK SAMA SEKALI" tegas Aira.
"Apa?!"
"Bagian mana dari dirimu yang lebih baik dariku selain uangmu? Kamu sama saja denganku. Kita sama-sama menikah karena uang. Kamu bahkan lebih rendah"
Radit menggertakkan rahangnya, menahan amarahnya yang sebentar lagi akan memuncak.
"Kamu nggak usah khawatir, aku akan membayar kembali uang 50 juta yang orang tua kamu berikan, setelah itu kita akan bercerai"
Pernyataan Aira membuat Radit tertegun. Aira akan mengembalikan uang itu?
Setelah mengatakannya, Aira benar-benar pergi meninggalkan Radit yang masih tertegun. Bagaimanapun, ucapan Aira sangat benar. Radit juga menikahi Aira karena tidak mau kehilangan warisannya.
Radit menyeka wajahnya yang basah, akibat siraman dari Aira tadi.
"Chh sama? Sama apanya? Jelas-jelaa kita berbeda!" Gerutu Radit.
"Tapi kenapa dia semarah itu? Sebelumnya dia nggak pernah marah" tanya Radit pada dirinya sendiri.
"Apa aku udah keterlaluan yah? Sampe ngomong cerai gitu" pikir Radit.
Pikirannya teralihkan, saat ponselnya berdering. Radit merogoh saku celananya dan tersenyum senang melihat nama penelepon itu. Laura.
"Hallo, tumben nelepon pagi-pagi gini. Kangen ya" goda Radit.
Terdengar isakan Laura di seberang sana, membuat Radit melenyapkan senyumannya.
"Laura kamu kenapa?" Tanya Radit panik.
"Radit..." lirih Laura.
"K.. kamu kenapa? Kamu baik-baik aja kan?" Tanya Radit semakin panik.
"Dit kamu bisa ke tempat aku sekarang nggak? Aku lagi butuh teman"
"Oke aku ke sana sekarang!"
Detik itu juga, Radit bergegas pergi untuk menemui Laura.
***
Aira menghentikan langkahnya begitu melihat Dirga yang berjalan dari arah tang berlawanan dengannya.
Mereka pernah sangat dekat sampai semua orang mengira mereka berpacaran dan banyak juga orang-orang yang menjodoh-jodohkan mereka.
Kalau saja bukan karena halangan dari Tono, ayah Dirga sendiri yang menginginkan Aira, Dirga dan Aira pasti sudah hidup bahagia. Aira tidak perlu menikahi Radit, untuk melunasi hutang-hutangnya pada Tono.
Mereka berhadapan dengan canggung. Walaupun tidak pernah ada status hubungan di antara mereka, tapi mereka sama-sama mengetahui perasaan masing-masing.
"Mau ngajar?" Tanya Dirga.
"Iya"
"Maaf nggak datang ke pernikahan kamu"
"Iya nggak apa-apa"
Aira bahkan tidak bisa menatap mata Dirga.
"Aku ngajar dulu yah" pamit Aira.
"Iya"
Mereka berjalan ke arah yang berlawanan, seakan mengartikan ini benar-benar perpisahan mereka.
***
"Sabar Ra, namanya juga bukan jodoh" ucap Radit menyentuh bahu Laura.
"Davin jahat banget Dit, aku kurang apa sampe dia lebih milih cewek itu" isak Laura.
Aku juga kurang apa sampe kamu nolak aku dan lebih milih Davin. Batin Radit.
"Ya ambil hikmahnya aja Ra, mungkin ini cara Tuhan buat nunjukin ke kamu kalo Davin itu nggak baik buat kamu"
Laura menatap Radit dengan linangan air matanya.
"Aku nyesel waktu itu lebih milih dia daripada kamu Dit. Kalo aku tahu bakal gini jadinya... tapi sekarang udah terlambat" Laura kembali terisak.
Nah nyadar juga kan.
"Sabar Ra, nggak ada dari kita yang bisa tahu masa depan"
"Aku bener-bener nyesel Dit, kalo aja waktu itu aku milih kamu, mungkin kita udah nikah sekarang. Tapi, sekarang kamu nikah sama orang lain"
Radit tertegun. Tidak ada lagi kata penghiburan yang bisa diucapkannya pada Laura.
Cerita nggak yah..
"Kalo aja aku masih punya kesempatan, aku nggak akan pernah ngelepasin kamu lagi Dit. Tapi sayang sekarang semuanya udah terlambat"
Godaan beraaaaaat.
Laura merupakan sahabat Radit dan cinta pertama bagi Radit. Radit seperti orang gila saat mengejar cinta Laura. Tapi Laura lebih memilih Davin. Meski begitu, Radit tetap menjadi sahabat Laura dan tetap mencintai Laura.
"Aku.. sebenarnya.."
Ucapannya terhenti karena bunyi ponselnya. Radit melihat nama penelepon di layar ponselnya, lalu me-reject nya.
Saat Radit akan membuka suaranya kembali, ponselnya kembali berdering menampilkan pemanggil yang sama seperti sebelumnya. Aira.
"Ada apa?" Ketus Radit. "Apa?! Oke aku pulang sekarang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
AiRadit (SUDAH TERBIT)
Ficción GeneralKeduanya menikah karena uang. Yang satu menikah untuk membayar hutang keluarganya, dan yang satu untuk mempertahankan warisannya.