Part 9

284 39 2
                                    

Mendengar jawabanku tersebut, si pemilik rambut keperakan di sebelahku menoleh. "Apa yang ingin kau capai dari perjanjian ini?"

"Mencapai perdamaian, tentu saja. Aku ingin peperangan dihentikan, dan masyarakat kedua kerajaan bisa akur," balasku ceplas-ceplos.

"Kau tipe pro-rakyat, ya?"

"Tentu. Sudah jadi kewajiban, bukan? Lagipula tidak ada yang menyukai perang. Rakyat selalu dirugikan, suplai sandang dan pangan pun akan melemah."

"Ya, kau benar."

Suasana bergeming sesaat, sampai aku gantian bertanya. "Kalau boleh tau, Yang Mulia sendiri bagaimana?"

Raja William menjawab tanpa ragu, "Kurang lebih sama sepertimu. Aku sudah lelah dengan peperangan."

"Bahkan untuk seseorang yang juga dijuluki dewa kematian pun bisa lelah, ya?"

"Hei, aku ini bukan dewa."

"Hahaha, maaf."

"Seperti yang kau katakan, peperangan hanya membawa sengsara pada rakyat. Dan aku sudah mencapai apa-apa saja yang aku inginkan. Kekuasaan, kekayaan, wilayah ... kini sudah waktunya untuk fokus menjaga wilayah daripada memperluasnya."

"Ah, aku mengerti."

Raja William mengulas senyum. Ini pertama kali aku melihatnya tersenyum! Rasanya sedikit aneh, mungkin belum terbiasa dengan senyumannya. Seketika aura mencengkam yang menyelubunginya sirna bagai malam berganti pagi.

"Ini sudah larut, sebaiknya kau beristirahat. Terima kasih sudah mau berbincang denganku. Aku cukup menikmatinya," katanya.

"Tidak, aku yang harusnya berterimakasih. Kalau begitu aku pamit," balasku.

Sekali lagi Raja William tersenyum. Ia beranjak masuk ke dalam duluan. Namun sebelum ia benar-benar pergi, ia bertutur, dengan ramahnya, "Selamat malam, Putri [your name]."

Aku pikir, Raja William tidak semenyeramkan isue yang beredar. Mungkin kami bisa mengobrol santai di masa depan. Dan mungkin saja, dia benar-benar sudah lelah dengan perang.

***

Besok paginya aku dan Alex menemani Raja William sarapan. Oleh perihal momen spesial itu, maka aku berdandan layaknya seorang putri sungguhan. Gaun panjang hingga menutupi kaki, sepatu berhak lancip, perhiasan berlian, dan riasan wajah menghiasiku. Tidak lupa, hari ini aku juga menata rambut [hair color and lenght]ku.

Raven yang memilihkan pakaian serta menata rambutku. Jangan heran, karena memang sudah menjadi tugasnya untuk melakukan semua itu. Ialah penjaga yang merangkap sebagai pengasuh-maksudku pelayan pribadi.

Semua orang berkumpul di meja perjamuan istana. Hanya aku wanita di ruangan itu. Atmosfir di sini sangat tenang dengan tidak adanya seorangpun prajurit yang ikut serta, berbeda sekali dengan kemarin. Perjamuan berjalan sangat damai.

Kemudian, tibalah saat hingga Raja William menagih janji. Tepat seusai kami sarapan, Raja William bertanya, "Bagaimana dengan jawaban yang kalian janjikan kepadaku kemarin?"

"Saya menerima lamaran Yang Mulia," umumku tegas.

Seketika Raja William menyeringai. Agak menyeramkan di mataku, seolah dia baru saja menemukan mangsa yang tepat. Hal tersebut membuatku merinding.

"Kalau begitu sudah diputuskan," tuturnya, "kita akan menikah dalam waktu dekat. Dan aku ingin kau ikut ke negaraku untuk melakukan segala persiapan. Tidak apa-apa, kan, Raja Alexander?"

"Tidak masalah. [Your name] akan pergi ke Escalus. Dengan ini, akhirnya Nightford dan Escalus benar-benar akan berdamai," balas Alex akhirnya berbicara.

Raja William mengangguk. Dia membalas, "Tetapi tentu saja jika pernikahannya benar-benar terjadi. Sampai tanggalnya tiba, kita gencatan senjata."

Sepasang iris kebiruan itu lalu kembali menyorot kepadaku. Dengan seringai yang masih ia pertahankan, Raja William melanjutkan, "Tenang saja. Aku akan menjaga putrimu dengan baik."

Itulah yang dia katakan. Namun entah mengapa, aku merasakan firasat buruk dibaliknya.

Silahkan melanjutkan ke Part 11

Revisi: Beast Darlin [bahasa indo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang